Friday, December 02, 2005

TRANSFORMASI PERWATAKAN TOKOH-TOKOH WAYANG

1. Pendahuluan
1.1Latar Belakang Masalah
Pada masa awal kemunculan sastra Indonesia modern, selain karya sastra yang lahir dari buah tangan sastrawan keturunan dan atau peranakkan Tionghoa, publikasinya disemarakkan oleh penerbit Balai Pustaka, yang dikontrol ketat oleh pemerintahan kolonial Belanda, yang umumnya menerbitkan karya-karya yang didominasi oleh penulis-penulis dari Minangkabau. Ciri berupa konflik antara pemikiran modern dengan adat kebiasaan (lama) menjadi bentuk utama, ditandai oleh novel berjaya Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Selanjut-selanjutnya, karya sastra Indonesiapun semakin mengarahkan pembicaraan kepada tema-tema pemikiran modern dan situasi kehidupan masyarakat Indonesia modern. Proklamasi kemerdekaan, dan semangat revolusi yang dicanangkan (hingga dipraktekkan) oleh Si Pemimpin Besar, membuat isu nasionalisme terus berhembus hangat-hangat tahi ayam. Karya-karya sastra ikut terbawa dalam isu-isu persatuan-kesatuandan heroisme perjuangan nasional selain juga tak lepas dari soal masuknya pemikiran modern tadi.
Pada sekitar tahun 70-an/80-an, yang merupakan masa-masa dimulainya era pembangunan (setelah konflik demi konflik antar berbagai fraksi anak bangsa yang, katanya, dulu sehati seperjuangan), mulai bermunculan karya-karya sastrawan-penulis Jawa yang isi ceritanya terinspirasi dan terkait dengan cerita wayang. Memang, di tengah semangat persamaan di zaman Orde Baru tersebut, muncul juga gejala mengangkat kembali unsur-unsur kedaerahan budaya asal pengarang yang, entah kenapa ya, umumnya kali ini sangat didominasi oleh wong Jowo. Salah satu karya sastra ‘berbau’ wayang itu muncul menjelang tahun-tahun akhir dekade 90-an, masanya dominasi politik dan kekuasaan Orde Baru yang serba main rupiah dan sangat mengampanyekan pembangunan fisik akan segera bangkrut gara-gara bermasalah dalam hal moneter (yak, keuangan pula). “Parta Krama” begitulah judul cerpen karya Pak Umar Kayam, profesor di bidang sosiologi dan dosen tetap pada UGM ini, ikut meramaikan khasanah pewayangan sastra Indonesia modern di pertengahan 90-an.
Cerpen ini memang sangat eksplisit terkait dengan cerita wayang yang berupa episode perkawinan Arjuna, sang kesatria ganteng dan sakti mandraguna dari klan pandawa, yang merupakan salah satu episode yang berkembang dari epos besar Mahabhrata. Bahkan pada bagian pertama cerpen ini episode tentang perkawinan Arjuna tersebut dikutip pula (dengan tidak mempersoalkan dulu variasi cerita yang ada) dengan sempurna, kembali. Baru pada bagian kedua ada fiksi tersendiri milik cerpen ini, yang tentu, terkait dengan cerita wayang yang dipaparkan tadi. Kaitan inilah yang disebut proses transformasi teks dalam wacana Intertekstual sebagai salah satu metode pendekatan untuk meneliti karya. Maka, untuk analisis atas cerpen tersebut dalam tulisan ini, akan digunakan teori Intertekstual sebagai landasan, dan untuk model penerapannya, akan digunakan klasifikasi yang dilakukan oleh Burhan Nurgiyantoro, akademisi cemerlang dari IKIP Malang, yang pernah melakukan penelitian terhadap model-model transformasi unsur pewayangan dalam fiksi modern Indonesia.

1.2 Landasan Teori
1.2.1 Intertekstual
Pengertian paham, atau prinsip Intertekstual berasal dari Prancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme Prancis yang dipengaruhi oleh pemikran filsuf Prancis, Jaquaes Derrida, dan dikembangkan oleh Julia Kristeva (Ratih 2003: 125). Teori Intertektual memiliki asumsi bahwa sebuah teks sastra selalu terkait dengan teks-teks lain sebagai referensi maupun acuannya. Hubungan antar teks itu bisa kepada teks sastra lainnya, bisa juga hingga berupa tiruan atas alam semesta (dalam pengertian yang lebih luas). Salah satu bentuk klasifikasi yang dilakukan dalam teori ini adalah seperti yang dilakukan Riffaterre yang memunculkan istilah teks hipogram untuk teks sebagai acuan bagi teks hasil transformasinya yang disebut teks transformatif.
Karya sastra (sajak) baru bermakna penuh (lebih bermakna) setelah dihubungkan dengan karya sastra (sajak) lain karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respon (serapan, olahan, mosaik, kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain (Kristeva dalam Culler, 1977: 139). Respon dari teks hipogram yang berupa kata, frase. Kalimat, bentuk, gagasan, dan sejenisnya itu di dalam teks transformatif diolah secara kreatif sehingga kita (pembaca) sering tidak ingat lagi akan hipogramnya (Nurgiyantoro, 2003: 137). Dalam hubungan antara cerpen “Parta Krama” ini dengan episode parta krama atau perkawinan Arjuna dalam cerita wayang, kita bisa melihat dengan cukup jelas peristiwa transformasi tersebut. Apalagi dengan kenyatan bahwa dalam cerpen ini teks hipogramnya dikutip lagi sesuai kebutuhan teks transformasi (atau transformatif)-nya.

1.2.2 Model Transformasi Pewayangan Burhan Nurgiyantoro.
Meskipun mungkin ada cukup banyak tulisan yang membahas soal wayang dalam fiksi modern Indonesia (mulai dari buku yang baru beberapa hingga artikel-artikel atau esai-esai yang tentu lebih banyak, buku Nurgiyantoro dengan judul “Transformasi Pewayangan dalam Fiksi Indonesia Modern” adalah yang paling khusus meneliti pola hubungan atau model transformasi antara cerita wayang dengan fiksi Indonesia modern. Dalam bukunya tersebut, Nurgiyantoro membagi lima kategori yang ditransformasi: alur, penokohan, latar, masalah pokok dan tema, dan transformasi nilai-nilai. Setiap kategori dibagi lagi ke dalam satu hingga tiga tipe, ddan di antara, totalnya, sebelas tipe tersebut, ada sebagian yang dibagi ke dalam dua hingga tiga model. Selain itu, terkait juga dengan proses transformasi tersebut, Nurgiyantoro juga membicarakan tentang sikap dan niatan pengarang, yang menghasilkan ciri-ciri seperti wayang yang disakralkan atau malah di-desakralkan. Resepsi sastra dan intertekstual dijadikan oleh Nurgiyantoro sebagai landasan teori dalam menerapkan metode penelitiannya tersebut.

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam tulisan kali ini, dan sesui dengan judul tulisan untuk tugas mata kuliah ini, hanya akan dilihat hubungan interteks antara cerpen “Parta Krama” karya Umar Kayam dan cerita perkawinan Arjuna di pewayangan dalam hal transformasi penokohan, cerita wayang dengan segala variasi yang mungkin ada dan merujuk pula pada epos Mahabharata milik India sebagai asal cerita wayang tersebut. Dalam pandangan saya, unsur penokohanlah yang menjadi sisi yang ingin diungkapkan cerpen tersebut dan perihal penokohanlah yang paling terkait dengan tema (yang menyatukan cerita ‘tersendiri’ cerpen tersebut dengan cerita parta krama). Jelasnya nanti akan terlihat dalam pembahasan. Merujuk pada model transformasi dari Burhan Nurgiyantoro, maka analisis ini akan termasuk dalam tipe pe(n)-transformasian tokoh wayang ke dalam tokoh fiksi bukan wayang. Untuk model atau sub tipenya secara gamblang bisa digolongkan ke dalam model transformasi perwatakan tanpa penamaan. Namun model transformasi perwatakan tanpa penamaan bisa juga dikenakan pada analisis kali ini dengan alasan-alasan tertentu. Jelasnya akan terlihat dalam pembahasan.

1.4 Tujuan
Singkatnya, dalam analisis kali ini akan dilihat bagaimana bentuk transformasi tokoh wayang ke dalam tokoh fiksi sastra modern Indonesia dalam cerpen “Parta Krama” atas teks hipogramnya, yakni episode perkawinan Arjuna dalam cerita wayang sebagai salah satu episode dari epos Mahabharata.


2. Pembahasan
Dalam cerpen “Parta Krama” karya Umar Kayam ini, secara ekspilsit terdapat dua cerita yang eksplisit dipisah dalam perurutan. Bagian pertama adalah penulisan kembali episode perkawinan Arjuna seperti dalam cerita wayang. Pada bagian kedua baru ada cerita fiksi tersendiri novel ini, dengan konteks tentu terkait pada cerita pertama. Cerita pertama mengisahkan bagaimana Arjuna, ya Parta, ya Janaka, ya Permadi juga (ini menunjukkan variasi yang ada atas nama Arjuna dalam cerita wayang) jatuh cinta kepada Lara Ireng, atau Wara Sembadra, atau Sembadra, dan ingin mengawininya. Untuk terkabulnya keinginannya tersebut, melalui Kresna, Sembadra menyampaikan sejumlah permintaan sebagai jemputan. Meski berat, Arjuna cukup sakti untuk bisa mendapatkannya. Ia pun terbang ke surga tempat para dewa untuk (akan) mengabulkan keinginan Sembadra tersebut. Setelah ke-terbangan atau penerbangan Arjuna (yang melesat bagai kilat ke udara), cerpen ini kemudian berpindah ke bagian kedua. Di cerita Bagian kedua ada kisah tentang Drs.Herdjuna, seorang direktur bank yang kaya raya, yang merasa harus meluluskan permintaan istrinya, Ibu Lies, yang dijanjikan mobil dan sejumlah perhiasan mewah oleh tokoh cerita bernama Pak A Jouw A Jouw. Untuk itu, Drs.Herdjuna musti memuluskan proposal pengajuan kredit bernilai besar, pada bank yang dipimpinnya, oleh Pak A Jouw Jouw. Memuluskan yang berarti lebih cepat dari biasanya dan barangkali juga tanpa prosedur yang ketat seperti biasanya karena bukankah dengan hadiah yang dijanjikan tersebut akan ada ‘apa-apa’-nya. Dan teringat akan lakon Arjuna, drs.Herdjuna pun merasa bahwa ia pasti bisa, sebagai lelaki, mewujudkan impian sang istri.
Sekilas bisa dilihat bagaimana ada keterhubungan antara dua cerita dalam satu atap di atas. Namun sebelum masuk ke pembahasan resmi, baiklah akan dibicarakan dulu sedikit tentang variasi yang mungkin ada atas teks hipogramnya. Versi cerita wayang yang diketahui adalah kurang lebih serupa dengan apa yang dituliskan lagi oleh Umar Kayam. Tetapi dari epos Mahabharata tulisan P.Lal (1984) terdapat perbedaan cukup mencolok. Dalam versi ceritanya disebutkan bahwa Sembadra tak sempat mengajukan permintaan, seperti jemputan dio atas, pada Arjuna karena Kresna malah menyarankan Arjuna menculik Sembadra sebab khawatir Sembadra tak bersedia dilamar Arjuna. Dan Arjuna melakukannya. Dan Sembadra hidup berbakti pada Arjuna sebagai istri yang tawakal. Begitulah kata P.Lal. Meski ada perbedaan, yang barangkali sangat fundamental ini, dalam pembahasan tetap akan digunakan kedua versi tersebut sebagai hipogram dengan pertimbangan akan lebih memperkaya pemaknaan.
Sekarang pembahasan. Sebagaimana digariskan oleh subbagian pembatasan masalah sebelumnya, maka kajian ini akan memfokuskan bahasan utama pada transformasi perwatakan tokoh wayang ke dalam tokoh fiksi bukan Wayang cerpen “Parta Krama”. Tentu unsur-unsur lain mulai dari latar hingga sikap pengarang juga bakal disinggung, tapi dalam posisi sebagai hal terkait pembahasan utama ini. Bicara perwatakan malihat dilihat penamaan tokoh-tokohnya dulu. Drs.Herdjuna, bisa dilihat, terkait dengan ksatria Arjuna dalam wayang, Ny.Lies transformasi dari Sembadra. Inilah dua tokoh yang paling jelas, terlebih dahulu, proses transformasinya. Sesuai dengan cerita, Drs.Herdjuna mendapati persoalan yang sama dengan Arjuna. Mereka ditantang kelelakiannya untuk bisa mengabulkan keinginan sanjungan hati masing-masing mereka. Arjuna menyelasaikan persoalan dengan kesaktian dan kemandragunaannya sebagaimana konteks kehidupan zaman itu, zaman wayang yang penuh keajaiban akan kemampuan manusia. Drs Herdjuna punya kesaktian pula sesuai konteks masanya. Di zaman modern ini jabatan seorang direktur sebuah bank binafit adalah posisi yang tak kalah sakti mandraguna. Maka, dengan mengabulkan permohonan kredit Pak A Jouw Jouw, terpenuhilah pula hasrat istrinya akan gelimang harta dunia. Pentransformasian yang cukup bisa eksplisit pula didapat dari dua tokoh ini adalah peristiwa ketika baik Arjuna maupun Drs.Herdjuna sedang tertantang kelelakiannya. Keduanya sama-sama mengatakan: “eeeiit, lha dalahh...”
Proses transformasi Sembadra terhadap Ny.Lies adalah dalam hal peristiwa ketika mereka masing-masing meminta sesuatu kepada mereka masing-masing punya penggemar. Cuma derajat intensitas proses transformasi ini berkurang karena konteks permintaan ny.Lies berbeda dengan Sembadra yang disebabkan pelamaran Arjuna. Perbedaan konteks ini juga mengurangi intensitas keterkaitan Arjuna-Drs.Herdjuna. Dalam hal perwatakan, terdapat juga perbedaan kualitas transformasi Arjuna-Drs.Herdjuna dengan Ny.Lies-Sembadra. Karakter Arjuna yang diangkat terhadap Drs.Herdjuna meliputi dua hal: pertama keteguhan hati mereka sebagai lelaki yang menyenangkan kekasihnya dan kedua adalah dalam hal posisi mereka yang sama-sama ‘basah’ sesuai konteks zamannya dan tentu juga yang ini terkait dengan kemampuan kecerdasan masing-masing mereka. Terkait hal yang pertama sebetulnya juga ada serupa tapi tak sama lagi (dan bagaimanapun ini tentu akan mempengaruhi penilaian pada pembaca akan intensisitas keterkaitan keduanya). Yaitu, bahwa peristiwa ketika Arjuna gundah gulana dan Herdjuna sedang ada beban di kepala. Kegundahan Arjuna adalah sebelum ia melamar Sembadra dan sehabis terpesona oleh kemilau rupanya. Sedang stresnya Herdjuna adalah sudah karena permintaan wah dari istri, yang sudah dinikahi,-nya – yang pada peristiwa permintaan Sembadra, stres Arjuna tak terlalu terlihat. Apalagi setelah Kresna menyemangatinya. Dan ini tentu terkait juga dengan perbedaan plot cerita dimana kisah Herdjuna dimulai setelah ada peristiwa permintaan dari Ny.Lies (sedang bagian kisah Arjuna dalam cerpen ini dimulai ketika Arjuna sehabis ngintipin ke-ayu-an Sembadra yang memabuk kepayangkan), dan tetap berlanjut setelah bagian Herdjuna meyakinkan diri akan mengabulkan permintaan sang istri (yang merupakan akhir dalam bagian Arjuna). Namun secara umum pentransformasian pewatakan Arjuna-Herdjuna tetap lebih kuat dari Ny.Lies-Sembadra yang dari segi penokohan bukan tokoh utama sehingga tak terlalu besar ‘porsi’ masing-masing mereka dalam cerita , dan bisa jauh lebih kuat dalam hal bahwa permintaan Sembadra yang halus budinya itu tak sebanding dengan latar belakang keduniaan permintaan Ny.Lies yang serakah akan harta.
Dalam hal penamaan, merujuk lagi pada klasifikasi Nurgiyantoro, nama Herdjuna tidaklah bisa disamakan dengan nama Arjuna karena mirip tak berarti sama. Penyamaan nama Setadewa dalam Para Priyayi dengan tokoh Baladewa dalam wayang oleh Nugiyantoro adalah dengan alasan Baladewa juga punya julukan ‘seta’ yang berarti berkulit putih, sedang untuk tokoh dalam cerpen yang dibahas ini belum ditemukan alasan untuk menyamakannya. Barangkali dengan alasan proses kreatif berupa pemlesetan, antara nama Arjuna dan Herdjuna ini bisa saja dianggap sama sehingga tergolong pentransformasian nama juga. Tapi, alasan sekedar pemlesetan sekedar-kedarnya saja tentu tak cukup kuat untuk digunakan (barangkali kecuali bagi pemlesetan yang mempunyai intensitas efek pemaknaan yang cukup berpengaruh). Kemudian antara nama Ny.Lies dan Sembadra, ya, sudah jelas beda, terlihat maupun terdengarnya. Begitupun penamaan Pak A Jouw A Jouw dan penyebutan Mbak Yu Sri Klantangmimis. Satu-satunya penamaan tokoh wayang yang sama adalah pada penyebutan Pak Wisnu, Pak Siwa, Pak Narada, Pak Brahma, dan Pak Semar dalam percakapan Drs.Herdjuna dengan Pak A Jouw A Jouw. Namun tokoh-tokoh tersebut tak lah hadir bermain langsung dalam cerita. Dengan posisi kehadiran mereka yang tidak langsung di cerita, bolehlan dianggap ini penamaan apa adanya. Terkecuali hal itu penamaan dan perwatakan tokoh cerita dalam cerpen ini, berdasarkan pembahasan di atas, dapat dilihat adalah bisa dimasukkan dengan sejumlah kadarnya ke dalam klasifikasi pentransformasian tokoh wayang dengan perwatakan tanpa penamaan. Sedikit mengenai tokoh Pak A Jouw A Jouw dapat kita paralelkan dengan peristiwa ketika Kresna membesarkan hati Arjuna dan, sekali lagi, diparalelkan dengan Kresna yang memperlancar hubungan Arjuna Sembadra. Dalam hal sebatas itu, perwatakan A Jouw A Jouw bisa juga ditransformasikan, sekali lagi, secara sangat terbatas, kepada Kresna.
Terakhir, sekarang, akan dibahas pula kaitan yang telah terlihat di atas antara fiksi Herdjuna dengan wayang Arjuna dengan versi Arjuna kawin dengan Sembadra dari epos Mahabharata yang disini dijadikan rujukan. Seperti yang telah diungkap sekilas sebelumnya, dalam versi Mahabharatanya, disini poin perbedaannya, Sembadra tak sempat mengajukan permintaan pada Arjuna. Jika dicari garis transformasi Drs.Herdjuna dengan Arjuna dalam Mahabharata maka akan terlihat garis penentangan, sebagai salah satu bentuk transformasi yang ada dalam teori intertekstual. Dalam Mahabharata, Arjuna tak memberi kesempatan buat Sembadara mengajukan persyaratan macam-macam atas lamarannya. Gadis cantik dan baik budi itu keburu diculik terlebih dahulu, meski tetap happy ending. Drs.Herdjuna? Beliau tak kuasa menahan diri untuk tak menyerah pada kehendak sang istri, begitu jugalah dalam Arjuna tokoh wayang. Kemudian, dengan transformasi antara Kresna dengan tokoh Pak A Jouw A Jouw, kita juga akan melihat sebuah perbandingan yang berupa hubungan pertentangan. Kresna adalah orang (atau dewa) yang mengusulkan kepada Arjuna untuk menculik Sembadra (adiknya) karena kuatir Sembadra minta macam-macam dari mas Arjuna dan dia (Kresna) berpikir bahwa tak selamanya wanita tepat dalam mencari lelaki pilihan, padahal, seperti kata Kresna sendiri, Arjuna hanya Siwa yang mampu menandinginya. A Jouw A Jouw? Ia pastilah terus menyemangati Herdjuna untuk mengabulkan hasrat Ny.Lies, dan memang ia lah yang akan memenuhi permintaan tersebut, sebab ini terkait dengan ia punya proposal kredit. Sangat bertentangan dengan tindakan Kresna tadi. Sementara Kresna dalam wayang, tentu dalam posisi mirip Pak A Jouw Jouw tapi lebih netral dalam hal perbedaan konteks masing-masing cerita. Itulah hubungan menarik yang bisa diambil dalam penghipograman teks fiksi cerpen kepada versi Arjunanya dalam Mahabharata, pada salah satu teks.

3. Penutup
Begitulah pembahasan yang dapat dilakukan dalam hal transformasi pewatakan yang terdapat dalam “Parta Krama” Umar Kayam terhadap cerita perkawinan Arjuna, baik dalam versi wayang, maupun salah satu pustaka tentang Mahabharata. Disini kita lihat bagaimana cukup kuatnya intensitas transformasi perwatakan tokoh wayang ke dalam fiksi-cerpen demi dan tergantung pada kepentingan citraan dan pemaknaan fiksi-cerpennya itu sendiri. Maksudnya, dengan bermodal pemahaman umum pembaca akan perwatakan lalau alur cerita perkawinan Arjuna, dan mengacu pada itu, pengarang lalu menghadirkan kisah tersendiri yang terikat pada konteks masa bagi ceritanya, dan sekali lagi cukup tetap bisa mengaitkan diri pada cerita perkawinan Arjuna sebagai hipogramnya.
Berikut akan disinggung sedikit tentang niatan pengarang sebagaimana Nugiyantoro menempatkan poin ini dalam sistimatika akhir analisisnya dan betapa niatan pengarang menentukan bentuk tranformasi teks terhadap hipogramnya. Dalam yang dibahas ini, terlihat bahwa pengarang ingin berbicara tentang yang menjadi konteks kekinian mengenai tradisi kolusi, koneksi, dan nepotisme (sebagai, yang katanya, penyakit mendarah daging bagi bangsa relijius ini) dengan menggunakan penghipograman pada pakem cerita wayang yang telah dengan mapan dipahami masyarakat dengan harapan bahwa tujuan karya akan lebih mempunyai efek lagi dimaknai oleh pembaca ( yang juga telah besar dalam, atau setidaknya tahu, dengan tradisi pewayangan). Jika dalam wayang tokoh-tokoh yang dihipogramkan adalah contoh-contoh baik, dalam karyanya pengarang justru menghipogrami pada contoh-contoh buruk. Terdapat juga unsur dekonstruktif disini, yang mana terjadi pembalikkan terhadap pemahaman yang sudah mapan, dalam hal citra penokohan. Lalu itupun membuka kemungkinan buat unsur humor atau setidaknya proses pe(m)-parodian. Sehingga, wajar juga, Nurgiyantoro, yang besar dalam kekaguman pada para tokoh baik-baik wayang, mendefenisikan karakter transformasi interteks seperti ini sebagai, awalnya main-main, hingga, pelecehan. Itu dalam hal citraan tokoh. Namun tema dan amanat secara umum tetaplah mengandung nilai-nilai mulia dan peng-katarsis-an (tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra, menjadi cermin bagi pribadi kita).

Daftar Pustaka:
1.Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan Dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2.Ratih, Rina. 2003. “Pendekatan Intertekstual Dalam Karya Sastra” terdapat dalam Metodologi Penelitian Sastra. Jabrohim (ed.). hal: 125-133. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
3.Kayam, Umar. 1997. “Parta Krama” dimuat di KOMPAS, 23 Februari 1997.
4.Lal, P. 1984. Mahabharata. hal: 89-91. Jakarta: Pustaka Jaya.

1 comment:

Dosen said...

Wayang sebagai simbol atau cerminan/pantulan kehidupan manusia. Semakin realis wayang akan tampak pada nilai yang terkandung didalamnya. Saya sangat tertarik dengan tulisan Anda dalam blog ini. Transformasi dengan variabel tokoh dan nilai dan sudut pandang penulis dalam menempatkan tokoh wayang. Selain itu pula saya menggemari beberapa tokoh wayang. Saatnya wayang sebagai simbol kembali ditilik sebagai khasanah diskursus filosofis. Sastra mungkin bisa menjadi mesin penggeraknya. bagus dan kutunggu topik lainnya.