Saturday, June 04, 2005

upku yang kedua (sebelum di revisi)


BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra itu apa sih? Begitulah pertanyaan (retoris?) penyair Soni Farid Maulana dalam sebuah tulisan rutinnya pada suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat (edisi 19 Maret 2005). Kata-kata tersebut berawal dari pembicaraan mengenai booming chicklit yang tengah menjadi sebuah fenomena. Berbagai forum diskusi saat itu marak digelar untuk membicarakan posisi salah satu jenis fiksi ini dalam kaca mata kritik sastra. Di sisi lain, dalam tulisan yang sama, Soni juga menyinggung pernyataan seorang pengamat sastra bahwa tak ada puisi yang bisa ditemuinya saat ini di berbagai media masa. Kalaupun ada, kata pengamat sastra tadi, itu hanyalah berjenis puisi suasana (yakni hanya puisi-puisi dari Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad) yang, itupun, inferior (rendah diri) terhadap puisi-puisi asing. Hal-hal tersebutlah yang membuat Soni bertanya-tanya tentang “apa itu puisi?” dan (lalu) “sastra itu apa?”. Bahkan pengutipan pernyataan pengamat sastra tadi masih diulang Soni dalam rubrik yang sama di edisi yang berbeda.
Pertanyaan-pertanyaan Soni di atas menunjukkan betapa selalu hangatnya perdebatan dalam dunia kritik dan, hingga, teori sastra. Pembaharuan estetika seni oleh Pujangga Baru, Angkatan 45, sastrawan-sastrawan Lekra (serta resistensi kaum Manifest Kebudayaan, hingga peristiwa “Heboh Sastra” dan Pengadilan Puisi di Bandung pada tahun 1974, atau juga soal Kritik Sastra. Ganzheit dan Sastra Kontekstual, menunjukkan sejarah perdebatan panjang dalam khasanah kesusastraan di Indonesia. Yang masih sangat hangat hingga dewasa ini bisa dilihat paada perdebatan mengenai eksistensi puisi-puisi di berbagai media massa, seperti yang tersinyalir di atas tadi. Puisi-puisi penyair kontemporer dewasa ini dianggap belum (atau bahkan tidak) ada apa-apanya dibanding karya-karya penyair mapan (di masa lalu?). Bahkan Ahmadun Y. Herfanda (redaktur rubrik sastra Republika) pernah memberi label “sampah” pada media-media sastra di internet, seperti yang sering dikutip dalam berbagai diskusi sastra saat ini. Ini juga mengingatkan pada bagaimana pandangan Sutan Takdir Alisjahbana terhadap “pemberontakan puitik” Chairil Anwar atau bagaimana Putu A.T. Wirya dan S. Suharianto menyesalkan pemuatan (oleh media massa) puisi-puisi Sutardji C. Bachri yang, oleh mereka, disebut “kentut”, sebelum puisi-puisi tersebut sangat diakui mutunya seperti saat ini.
Maka cukup menarik untuk melihat pembicaraan tentang sastra di media massa ini. Seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum, media massa dianggap sebuah jalan bagi penyair-penyair dan prosais-prosais muda guna “mengiklankan kesastrawanannya”. Bahkan di kalangan para pengamat sastra telah muncul istilah “sastra koran” yang bahkan sering diungkapkan sebagai sebuah genre sastra baru. Terlepas dulu dari perdebatan soal mutunya seperti yang dipaparkan tadi, tak salah kiranya jika dilakukan penelisikan lebih jauh tentang ”genre sastra baru” ini. Apalagi dikaitkan dengan pelajaran (dari) sejarah bahwa media massa yang semula “tak dianggap” tersebut ternyata mampu menghasilkan wajah-wajah baru yang bisa mapan nantinya, atau dikaitkan dengan keinginan untuk lebih memperterang lagi segala perdebatan tentang mutu dan eksistensi sastra koran atau media massa tersebut. Kembali ke soal fenomena chicklit (dan juga) teenlit di atas, bisa dilihat posisi yang sama jenis “sastra” ini dengan sastra media massa berhadapan dengan perdebatan kritik sastra (yang berangkat dari, dan sekaligus, dalam rangka menyusun teori kesusastraan). Penyair dan esais Ahda Imran dalam artikelnya mengenai fenomena chicklit dan teenlit ini juga (yang dimuat di harian dan edisi yang sama dengan tulisan Soni di atas tadi), pernah mengutip pertanyaan penyair-kritikus Acep Iwan Saidi, akademisi Aquarini P. Prabosmoro, dan cerpenis-kritikus Joni Ariadinata: siapa sih yang memberi hak pada seseorang atau sebuah lembaga untuk menentukan itu bukan karya sastra dan ini karya sastra? Perdebatanpun terus memanjang.
Sejarah sastra di media massa pernah mengalami masa keemasan pada sekitar tahun `50-an. Di tahun `80-an juga ada fenomena munculnya berbagai majalah yang mengusung jenis fiksi populer dan umumnya bertitel feminisme. Di saat sekarang ini muncul pula istilah sastra koran hingga sastra cyber. Bersamaan dengan penerbitan-penerbitan karya sastra dari pengarang-pengarang yang telah cukup diakui, karya-karya sastra dengan perantara media massapun ikut mengemuka. Karya-karya tersebutpun tak pelak ikut mewarnai segala diskusi sastra, mewarnai kritik sastra, yang kesemua berujung pada bagaimana mendefenisikan sastra, bagaimana membentuk teori sastra.
Sastra koran, sebagai bagian dari sastra di media massa tersebut, pada akhirnya membentuk ciri tersendiri pula. Para kritikus, berbagai forum diskusi, mulai membicarakan tentang karakteristik “genre sastra koran ini”. Salah satunya bisa dilihat pada tulisan jurnalis dan cerpenis Budiarto Danujaya dalam eseinya di buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2000. Seperti bicaraan berbagai pengamat lainnya, Budiarto juga memaparkan tentang bagaimana tipikal jenis sastra koran ini (konteks pembicaraannya khusus tentang cerpen) sangat akrab dengan realitas dan fakta teraktual yang digarap oleh koran sebagai sebuah media pemberitaan harian. Budiarto pun melihat sejumlah permasalahan dalam mengukur mutu sastra koran ini berkenaan dengan distansi dan diferensiasinya terhadap artikel berita. Menarik mengamati pembicaraan tentang ini jika selanjutnya dikaitkan dengan wacana tentang pembedaan fiksi dan non-fiksi dalam kritik dan teori kesustraan. Selanjutnya juga terkait dengan diskusi tentang mutu sebuah karya sastra serta segala macam kategorisasi dan defenisinya yang, lagi-lagi, berujung pada (seperti) pertanyaan Soni di awal tadi: karya sastra itu apa sih? Maka, sekali lagi, menarik dan cukup penting (!) untuk meneliti jenis sastra yang seperti itu.
Suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat merupakan salah satu wadah bagi karya-karya dengan media yang berupa media massa tersebut. Ada dua alasan untuk menjadikan karya-karya dalam suplemen tersebut sebagai objek penelitian. Pertama, posisi harian tersebut yang berbasis lokasi (baik secara geografis maupum sosial-budaya) yang sama dengan institusi tempat pengerjaan penelitian ini. Sebab itu, penting kiranya dilakukan penelitian, sekaligus dalam rangka apresiasi terhadap suplemen tersebut. Alasan kedua adalah pembicaraan mengenai posisi harian ini sendiri di tengah-tengah media sejenis lainnya dalam wacana kesusastraan di Indonesia. Sebagai media yang berbasis lokal (daerah) wajar kiranya jika prestise media kesusastraan dalam suplemen harian ini dianggap bukanlah di atas rubrik-rubrik susastra harian nasional lainnya yang memang berpusat di ibukota (yang sekaligus menjadi lambang bagi pusat kebudayaan nasional tentunya). Akan tetapi, fakta posisi geografis daerah basis harian ini (yang secara logis juga bisa dianggap memberi efek di bidang sosial-budaya hingga kesusastraan) bisa menjadi sebuah pertimbangan jika dibandingkan dengan media kesusastraan harian-harian daerah lainnya yang lebih “berjarak” dengan “pusat”. Apalagi jika harus dibandingkan dengan harian lain, berbasis pusat sekalipun yang tidak meyediakan ruang bagi bidang kesusastraan. Hal ini juga perlu ditambahkan dengan fakta bahwa ruang kesusastraan tersebut, dalam harian ini, diukur secara kuantitas halaman (secara tak tetap, sebab rubrik kesusastraan biasanya bercampur dengan bidang-bidang lain dalam kebudayaan), bahkan, bisa melebihi harian-harian berbasis pusat tersebut.
Jakob Sumardjo dalam sebuah artikelnya (Pikiran Rakyat, edisi 26 Juni 2003) pernah menyinggung betapa penting keberadaan suplemen “Khazanah” dalam peta kesusastraan di Indonesia. Ketika harian-harian lain mulai menyisihkan jenis ruang budaya seperti ini, harian ini tetap konsisten mempertahankannya (ruang budaya tersebut baru dinamakan “Khazanah” beberapa tahun berikutnya) sejak 1974, demikian Jakob memaparkan pengamatannya. Bahkan Jakob menyebut suplemen “Khazanah” sebagai satu-satunya ”majalah budaya” yang subversif di tengah-tengah kekosongan majalah kebudayaan. Jakob juga meyakinkan betapa tulisan-tulisan bermutu dan perdebatan-perdebatan budaya sering muncul di suplemen ini.
Berkaitan dengan fenomena “sastra koran” tadi, serta kaitannya dengan bidang keilmuan susastra, pentinglah kiranya dilakukan sebuah penelitian terhadap karya-karya sastra dalam suplemen budaya tersebut. Penelitian kali ini memang tak akan secara komprehensif mampu memikul segala permasalahan seperti yang diungkap sebelumnya tadi. Pertama, penelitian ini secara terbatas hanya akan meneliti salah satu saja dari produksi berlimpah jenis sastra koran tersebut dan inipun dibatasi lagi hanya pada satu periode tertentu. Kedua, pendekatan teoritik yang akan digunakan difokuskan pada aspek stilistik, baik dalam pengertiannya sebagai salah satu unsur pembangun struktur sebuah karya sastra maupun sebagai salah metode pendekatan dalam penelitian sastra.
Studi stilistika ini kiranya cukup tepat untuk digunakan dalam rangka mencoba mengurai segala permasalahan dan problematika dalam studi sastra seperti yang tergambar tadi. Dengan studi stilistika, bisa coba diuraikan ciri-ciri kesusastraan pada sastra media massa tersebut hingga bisa digunakan uintuk mengukur dan mendefinisikan nilai kesastraannya. Terkait dengan pembatasan objek penelitian serta periodesasinya, bisa juga menjadi sebuah gambaran bagi studi selanjutnya dalam kerangka teori pragmatik dan sosiologi karya.
Bahasa sebagai media komunikasi karya sastra, serta variasi pemakaiannya sebagai telisikan stilistika, membuat setiap analisis karya sastra tak pernah lepas dari aspek stilistik ini. Setiap esei pengantar pada berbagai buku-buku karya sastra hampir tak bisa melepaskan paparannya dari gaya kebahasaan pengarang. Bahkan cerpenis Seno G. Ajidarma dalam sebuah artikelnya, yang membahas sosok Doyok pada sebuah rubrik di harian Pos Kota (Kompas edisi 1 November 2002), bisa sampai pada simpulan bahwa karakter Doyok sebagai “potret kelas bawah Jakarta” juga tak bisa melepaskan pendekatannya dari aspek stilistik atau analisis data terhadap gaya kebahasaan sosok Doyok tersebut. Atau ketika penyair Medy Loekito sempat menciptakan perdebatan hangat mengenai isu moral dan sisi pragmatik-edukatif karya dalam karangan-karangan erotis beberapa pengarang perempuan dewasa ini, ia juga banyak berangkat dari analisi terhadap unsur stilistik karya. Ini sekedar meyebut beberapa contoh.
Soehanda Iskandar dalam artikelnya yang berjudul “Aspek Aspek Budaya Dalam Komunikasi Bahasa” (Pikiran Rakyat edisi 7 Mei 2005) memaparkan betapa pentingnya analisis dari sudut kebahasaan. Bahasa menunjukkan pandangan dan cara pikir masyarakatnya, demikian kira-kira Soehanda mengutip pemikiran Wilhelm von. Humboldt. Dalam konteks kesusastraan, bisa dilihat juga uraian panjang lebar Maman S. Mahayana dengan sebuah artikel yang berjudul “Pantun sebagai Representasi Kebudayaan Melayu” (Horison, edisi April 2005). Maman membuahkan sebuah hipotesis bahwa dengan mempelajari pantun, akan terbentang pemahaman tentang jagat kebudayaan Melayu. Analisis yang berbuah hipotesis ini juga tak lepas dari kajian terhadap ciri-ciri atau gaya kebahasaan. Atau, juga bisa dilihat pandangan strukturalisme genetik Goldman mengenai hubungan antara karya sastra dan masyarakatnya. Kemudian, perlu ditambahkan juga mengenai perkembangan keilmuan dalam lingkup analisis teks media massa. Seperti yang diutarakan Eryanto dalam sebuah bukunya, terjadi perkembangan paradigma pendekatan dalam model analisis teks media massa dari tradisi positivistik dan formalistik ke model analisis wacana kritis. Dalam model analisis wacana kritis tersebut diperlihatkan bagaimana kajian terhadap karakteristik berbahasa sebuah media massa sangat berguna dalam menghasilkan analisis yang lebih komprehensif dan total terhadap teks media massa tersebut. Model analisis terkini ini juga dipengaruhi oleh berbagai pemikiran filsafat kontemporer yang dalam hubungan lain juga sangat mempengaruhi perkembangan kajian sastra.
Hal-hal tersebut menunjukkan betapa studi dari sudut kebahasaan, dan gaya kebahasaan dalam konteks studi sastra, mempunyai peran yang cukup signifikan. Walaupun penelitian berikut ini tak akan berbicara lebih jauh mengenai hubungan karya sastra dengan masyarakatnya (baik dalam pengertian penikmat maupun dalam pengertian penciptanya), setidaknya studi terbatas dari sudut stilistik ini akan bisa membantu analisis-analisis dengan fokus lainnya. Selain juga (seperti juga telah dibicarakan sebelumnya), diharapkan hasil penelitian kali ini bisa membantu perkembangan studi sastra dengan segala perdebatan dan bermacam problematikanya seperti yang, sekali lagi, terpapar sebelumnya. Untuk itulah penelitian kali ini dilakukan.

1.2 Batasan dan Identifikasi Masalah
Ada dua jenis karya sastra yang terdapat pada suplemen “Khazanah” tersebut, yakni puisi (yang dalam rubriknya diberi istilah sajak) dan cerita pendek. Dengan pertimbangan keutuhan penelitian terhadap aspek stilistik jenis sastra koran ini, penelitian akan mencakup keduanya. Seperti keterbatasan ruang yang dialami karya-karya sastra koran tersebut, keterbatasan ruang bagi skripsi ini juga membuat harus dilakukan pembatasan data. Umumnya pembatasan data dilakukan dengan teknik mengambil sampel yang dianggap sanggup mewakili. Guna menghindari persoalan validitas keterwakilan data pada sampel yang diambil, dalam penelitian kali ini akan diambil seluruh data dalam satu periode tertentu. Periode yang diambil adalah edisi sepanjang April 2005, dengan pertimbangan: waktu terdekat dengan saat dimulainya penelitian ini dan periode yang mutakhir ini cukup punya relevansi dengan berbagai problematika, seperti yang diungkap pada latar belakang masalah, yang menjadi titik tolak dilakukannya penelitian ini. Pemilihan data pada satu periode ini sekaligus juga bisa membatasi dengan jelas konteks hasil penelitian kali ini.
Sebagaimana paparan sebelumnya bahwa studi stilistika yang menjadi pendekatan dalam penelitian kali ini, maka analisis terhadap semua data akan berangkat dari aspek-aspek stilistik karya dan baru hanya akan membahas aspek stilistik karya tersebut. Hasil kajian dari sisi stilistik karya disini selanjutnya bisa menjadi bahan baik bagi studi pragmatik dan sosiologis maupun pembandingan ciri stilistik dengan objek lainnya hingga bisa membantu upaya pengkajian teoritik kesusastraan. Akhirnya, segala latar belakang penelitian, pemilihan objek penelitian, dan pemilihan pendekatan yang digunakan membuahkan identifikasi masalah sebagai berikut: seperti apakah ciri-ciri stilistik karya-karya dalam suplemen “Khazanah” tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian
Oleh karena itu, dapat dirumuskan baahwa stujuan penelitian ini adalah:
1.Memeriksa unsur-unsur stilistik pada masing-masing karya.
2.Menjabarkan penggunaan sarana estetik tersebut.
3.Merangkum ciri-ciri stilistik karya-karya dalam suplemen “Khazanah” tersebut dalam posisinya sebagai bagian dari karya sastra pada khasanah kesusastraan di Indonesia.

1.4 Metode Penelitian
Berdasarkan desain metodologi penelitian seperti yang dikemukakan Wuradji (dalam Jabrohim (ed.), 2003: 4-6), penelitian kali ini lebih tergolong sebagai content analysis. Pengertian jenis metodologi ini adalah penganalisisan dokumen untuk diketahui isi dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Jika dibandingkan dengan umumnya pendekatan lain dalam penelitian sastra, semisal struktural atau semiotik, yang tepat memiliki tujuan analisis seperti pengertian content analysis di atas, studi stilistika yang akan dilakukan kali ini memilki sedikit perbedaan model. Meski tetap akan terjadi proses analisis isi maupun proses pemaknaan dalam proses analisisnya, tetap tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa aspek stilistik dari objek yang diteliti. Oleh karena itu, hasil akhir analisisnya bukanlah isi dan makna keseluruhan dari objek yang dianalisis, melainkan serangkaian deskripsi data berdasarkan klasifikasi stilistik.

1.5 Sumber Data
Suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat terbit dalam periode mingguan. Dalam periode bulan april ini terkumpul data sebanyak 5 edisi (masing-masingnya terbit pada tanggal: 2, 9, 16, 23, dan 30 April 2005). Setiap edisi terdiri atas sebuah cerpen dan beberapa puisi, masing-masing dari seorang pengarang. Untuk keperluan sistematika penelitian, setiap puisi akan dikelompokkan menjadi satu bahasan berdasarkan edisi atau pengarangnya.
Berikut daftar seluruh karya yang akan diteliti:
Kelompok Puisi
1.Sajak-sajak Beni A Pamungkas (2 April)
a.Selamat Jalan Saudaraku
b.Di Bawah Bianglala
2.Sajak-sajak Sarabunis Mubarok (9 April)
a.Alif Minor
b.Di Musim Pancaroba
3.Sajak-sajak Usep Romli H.M. (16 April)
a.Ziarah Jerusalem
b.Malam Galilea
c.Sketsa Senja Betlehem
d.Palestina, untuk Sebuah Nama
4.Sajak-sajak Isbedy Stiawan Z.S. (23 April)
a.Beratus Kali Aku Mati
b.Awan tak Hanya Mengabarkan
c.Kususuri Masa Lalu
d.Asap dari Kuburku
e.Aku Masuki Kolammu
5.Sajak-sajak Moh. Syafari Firdaus (30 April)
a.layang-layang
b.delirium
Kelompok Cerpen
1.“Di Batas Senja” karangan Mutar Ibnu Thalab (2April)
2.“Bulan” karangan Dian Sandiana (9April)
3.“Anak Sampah” karangan Didin D. Basoeni (16April)
4.“Perempuan Senja” karangan Suhendra Juara (23 April)
5.“Laut dan Bibir yang Bertahi Lalat” karangan Aguk Irawan M.N. (30 April)



Daftar Pustaka
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Jabrohim (ed.). 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Keraf, Gorys. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yoyakarta: Hanindita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Van Luxemburg, Jan dkk.. 1991. Tentang Sastra. Terjemahan Akhadiati Ikhram. Jakarta: Intermasa.
van Zoest, Aart. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi Dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Welleck, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia.








Lampiran
DAFTAR ISI
RANCANGAN SKRIPSI
Halaman
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
1.2 Batasan dan Identifikasi masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Metode Penelitian
1.5 Sumber Data

BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Karya Sastra
2.1.1 Puisi
2.1.2 Cerita Rekaan
2.2 Studi Stilistika
2.2.1 Kajian Stilistik terhadap Puisi
2.2.2 Kajian Stilistik terhadap Cerita Rekaan
2.3 Definisi Berbagai Klasifikasi Gaya Kebahasaan dalam Studi Stilistika
BAB III ANALISIS DATA
3.1 Analisis Puisi
3.1.1 Analisis terhadap Sajak-sajak Beni A Pamungkas
3.1.2 Analisis terhadap Sajak-sajak Sarabunis Mubarok
3.1.3 Analisis terhadap Sajak-sajak Usep Romli H.M.
3.1.4 Analisis terhadap Sajak-sajak Isbedy Stiawan Z.S.
3.1.5 Analisis terhadap Sajak-sajak Moh. Syafari Firdaus
3.2 Analisis Cerpen
3.2.1 Analisis terhadap Cerpen “Di Batas Senja” karangan Mutar Ibnu Thalab
3.2.2 Analisis terhadap Cerpen “Bulan” karangan Dian Sandiana
3.2.3 Analisis terhadap Cerpen “Anak Sampah” karangan Didin D. Basoeni
3.2.4 Analisis terhadap Cerpen “Perempuan Senja” karangan Suhendra Juara
3.2.5 Analisis terhadap Cerpen “Laut dan Bibir yang Bertahi Lalat” karangan Aguk Irawan M.N.

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

No comments: