Sunday, December 04, 2005

makalah seminar

EFEK KATARSIS DALAM PEMBACAAN ATAS CITRAAN TERHADAP BUDAYA KORUPSI DI INDONESIA PADA CERPEN “TELEPON DARI ACEH” KARYA SENO GUMIRA AJI DARMA
Wemmy al-Fadhli
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pada perkembangannya, penelitian sastra pun mulai bergerak ke arah penelitian yang berorientasi pada pembaca. Hal ini mulai mendapat bentuk secara sistematik dan metodologik lewat tangan Jauss dan Iser, keduanya dari Jerman, pada sekira tahun ­’60-an (Junus, 1985). Berbeda dengan pendekatan struktural terhadap karya sastra, dengan bentuk yang paling radikalnya seperti yang dilakukan aliran New Criticism di Amerika atau juga Formalisme di Rusia, pendekatan pada pembaca ini mulai menyangsikan otonomi pemaknaan yang mutlak hanya didapat dari teks karya. Menurut pendekatan ini, karya sastra sejak terbitnya selalu mendapat beragam tanggapan dari pembacanya dan tanggapan dari pembaca tersebut adalah tidak sama (pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya) sepanjang masa atau dalam seluruh golongan masyarakat (Abdullah, 2003). Dan ini adalah fakta yang diketahui oleh semua orang (ibid). Sebab itu, pendekatan ini penelitiannya adalah berupa pemeriksaan proses pembacaan teks oleh pembaca dengan segala variable pembeda tersebut, berbeda dengan analisis struktural murni yang secara terbatas hanya berangkat dari otoritas penilaian terhadap apa yang terdapat pada teks. Pendekatan inilah yang dikenal dengan istilah resepsi sastra, atau ada juga yang menyebut dengan istilah estetika resepsi sebagai terjemahan dari rezeptionaesthetik.
Jauh sebelum konsep tentang resepsi sastra ini dikembangkan oleh Jauss dan Iser, Mukarovsky, yang dikenal dengan sistem semiotiknya guna mengembangkan kekakuan analisis struktural klasik terhadap karya sastra atau juga dikenal sebagai salah seorang tokoh pengembang pendekatan strukturalisme dinamik, pada tulisan-tulisannya sejak sebelum Perang Dunia Kedua juga telah menyinggung-nyinggung soal proses penerimaan pada pembaca ini (Junus, 1985). Selain itu juga bisa disebut sederet kritikus sastra lain yang juga menyinggung persoalan pentingnya peran pembaca, mulai dari Vodicka, Ingarden, Riffaterre, hingga Warning dan Segers yang telah mendapat pengaruh pemikiran Jauss dan Iser. Foulkes, salah seorang kritikus sastra juga, menyatakan bahwa penelitian karya sastra dalam rangka model semiotik mau tak mau harus mencurahkan perhatian penuh pada situasi pembaca sebab pembaca penting dari dua segi, sebagai subjek dan sebagai objek (Teeuw, 1984). Sebagai subjek, dialah yang membaca, menafsirkan, dan menilai karya sastra ; dalam proses interpretasi, dia selalu berada dalam tegangan antara textual structure, sebagai sesuatu sesuatu yang diberikan secara objektif di luar dirinya, dengan “persediaannya” yang subjektif untuk memasuki hubungan estetik dengan teks, yang sebagian ditentukan oleh konvensi-konvensi sastra, sebagian lagi oleh faktor-faktor di luar sastra (ibid). Hal terakhir tadi lah yang dimaksud oleh Foulkes dengan situasi pembaca sebagai objek: dia, sadar atau tak sadar, terkena berbagai pengaruh dan kekuatan sosial, politik, dan budaya (ibid).
Bagaimanapun, pendekatan resepsi sastra ini pun sebetulnya bukan terlepas sendiri dari jenis pendekatan yang lain, struktural misalnya. Seperti halnya dekonstruksionisme, pendekatan ini pun adalah bagian dari pengembangan terhadap dasar penelitian sastra yang berangkat dari stuktur otonom teks tersebut. Pengkajian stuktural dan (yang kemudian dilanjutkan dengan) pengkajian semiotik, dianggap sudah menggambarkan situasi total dalam upaya mengkaji teks sastra (Faruk, 1999), meski segala pertumpang tindihan tetap harus dikembalikan pada fokus pembatasan masing-masingnya. Resepsi sastra adalah bagian dari pengkajian semiotik tersebut (ibid), sebuah penelitian tentang sistem tanda-tanda yang seperti tak ada batasnya.
Model pendekatan dalam resepsi sastra ini menarik perhatian saya, apalagi setelah dihubungkan dengan posisi sastra dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan serta hasil kebudayaan manusia lainnya seperti yang sering disinggung Darma dalam berbagai makalahnya. Darma (1989) mengungkapkan bahwa di dunia ini kita bisa golongkan dua jenis kekuatan. Pertama, kekuatan.arus atas yang meliputi hal-hal semacam kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Kedua, kekuatan arus bawah yang meliputi unsur-unsur budaya seperti sastra dan filsafat. Secara langsung, nasib dunia memang banyak ditentukan oleh arus atas. Sesuai kodratnya, kekuatan arus bawah sering tak tampak dan kurang terasa sebab hakiki arus bawah adalah abstraksi. Namun Darma mengingatkan, mengabaikan kekuatan arus bawah berarti mengabaikan sebuah totalitas. Sekian banyak istana, kuil-kuil, dan benteng dari zaman Yunani Kuno sana memang telah runtuh, tetapi puisi-puisinya Homer tetap hidup dan (Darma mengutip perkataan Francis Bacon) akan tetap hidup. Marcuse (1977, lewat Marwoto “Seni dan Subversi”) pernah menyatakan bahwa seni memang tidak dapat mengubah dunia, tetapi ia dapat menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia yang dapat mengubah dunia.
Dan sarana yang digunakan oleh karya sastra, sebagai salah satu bagian dari kekuatan arus bawah dan juga sebagai bagian dari seni, untuk berhubungan dengan (dan juga mengubah) dunia tersebut adalah unsur amanat, atau moral, atau pesannya. Sudah umum anggapan bahwa karya sastra yang baik adalah yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan selalu membawa pesan kepada pembaca untuk berbuat baik (Darma, 1984) meski dengan segala perdebatan mengenai defenisi moral tersebut di belakangnya. Seperti juga filsafat dan agama, sastra juga mempelajari masalah manusia (ibid). Dengan cara yang berbeda-beda, sastra, filsafat, dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanitat, yaitu jiwa yang halus manusiawi dan berbudaya (ibid). Disinilah dapat kita lihat peran sastra bagi totalitas peradaban manusia.
Salah satu hasil dari amanat (pesan moral) sebuah karya sastra yang bernilai tersebut adalah efek katarsis. Hal ini, sejauh pengamatan saya, sebetulnya cukup sering disinggung dalam berbagai pembicaraan atas nilai-nilai yang didapat dari karya sastra terhadap pembaca, namun sepertinya masih jarang yang menuliskannya secara fokus dengan sistematika dan metodologi tertentu sebagai bagian dari penelitian ilmiah dan akademis terhadap nilai-nilai dalam karya sastra. Contoh efek katarsis ini kejadiannya dapat kita lihat pada peristiwa pertunjukkan drama tragedi (ibid). Pada pertunjukkan drama tragedi tersebut penonton dipersilakan untuk menikmati berbagai peristiwa-peristiwa yang sebetulnya tak dibenarkan oleh moral, yaitu berbagai adegan pembunuhan, penipuan, pengkhianatan, dan sebagai hal lainnya yang berhubungan dengan banjir darah, sementara pada akhirnya penonton akan dibawa ke titik kemuakan terhadap apa yang terjadi, setelah sebelumnya mereka dipuaskan untuk bersenang-senang menyaksikan (ibid). Pada titik tersebutlah penonton dibuat mengalami katarsis, “pembersihan” di dalam dirinya, dan pembersihan ini mendorong untuk tidak meniru terhadap apa yang baru saja disaksikan di atas panggung (ibid). Jadi katarsis sebetulnya berawal dari pancingan terhadap nafsu primitif penonton sendiri, yakni keinginan untuk menyaksikan adegan-adegan yang mengerikan, yang berlawanan dengan moral (ibid). Disinilah keunikan sarana estetik penyampaian pesan moral karya sastra, untuk menuju moral, penonton harus melalui proses menyaksikan adegan-adegan yang tidak sejalan dengan kepentingan moral (ibid).
Keunikan estetika karya sastra tersebut bisa bekerja disebabkan oleh berbagai faktor yang terkait sifat kemanusiaan. Para pemikir, seperti Ficino dan Pico, mengatakan bahwa Tuhan telah memberkati manusia dengan instink ke-humanitat-an, keinginan untuk menciptakan nilai-nilai yang baik, keinginan untuk memperbaiki dirinya, untuk tidak menjadi vulgar dan apalagi barbar (ibid). Faktor ini juga mendukung kemampuan manusia untuk bersimpati dengan apa yang terjadi dalam karya sastra dan juga empati (yaitu merasa secara langsung terlibat dalam karya sastra tersebut) (ibid). Hal ini juga terkait dengan konsep tentang manusia sebagai makhluk pembanding (homo comparativus) seperti yang dikemukakan Darma (1989). Dan kerja membandingkan adalah bagian dari proses mencari kebenaran. Terkait juga dengan resepsi sastra sebagai pengembangan terhadap analisis terbatas strukturalisme, Selden (1991) mengutip perkataan Bleich dari sebuah bukunya yang berjudul “Kritik Sastra Subjektif” (yang dikatakan Selden sebagai sebuah argumen yang canggih yang setuju dengan pergeseran dari paradigma objektif ke paradigma subjektif dalam teori kritik): “Kritik Sastra Subjektif mendasarkan diri pada perkiraan bahwa tiap motivasi yang paling penting bagi manusia adalah memahami dirinya sendiri.” Melalui kerja membandingkan dan lewat proses empatik tadi manusia pun mengidentifikasikan dirinya pada “manusia-manusia lain” yang dicitrakan oleh karya sastra.
Identifikasi terjadi jika pembaca menyatukan diri dengan tokoh-tokoh yang didenotasikan oleh teks dengan pikiran, perasaan, dan penalaman mereka (Zoest, 1991). Identifikasi tersebut timbul dikarenakan gambaran yang dihadirkan teks, bukan sebab, cuma karena, kenyataan yang berada di belakakangnya (bdk ibid). Seperti yang kita lihat pada peristiwa dalam pertunjukkan drama tragedi tadi, atau berbagai faktor humanitat manusia, tadi juga, wajar Zoest menyarankan agar interpretant teks sastra melancarkan himbauan yang kuat pada wilayah emosionil (afektif) pembaca (ibid). Dengan inilah kemudian efek katarsis diharapkan bisa terjadi pada pembaca karya sastra. Kemampuan karya sastra untuk berperan dalam totalitas peradaban umat manusia inilah yang menggoda saya untuk melibatkan diri dalam sebuah penelitian, kali ini, yang akan banyak berhubungan dengan apa yang diperbincangkan dalam pendekatan resepsi sastra. Untuk itu, saya bertemu dengan sebuah karya sastra yang memperbincangkan dengan sangat estetik sebuah “isu budaya” yang dalam masyarakatnya sedang selalu “hangat-hangatnya”. Karya tersebut adalah sebuah cerpen yang berjudul “Telepon Dari Aceh” karangan Seno Gumira Ajidarma dan isu budaya yang dibicarakan adalah mengenai korupsi, di Indonesia.
Mengenai budaya korupsi di Indonesia, saya kira bagi kita bukanlah “barang yang baru” lagi, bahkan hal ini telah jadi “lagu usang” rasanya. Beberapa kali republik ini selalu masuk ke peringkat teratas untuk urusan korupsi. Transparancy International, sebuah lembaga independen internasional, pernah memasukkan Indonesia sebagai negara paling korup bareng-bareng sama “adiknya” kota Jakarta sebagai kota paling korup di dunia (data ini didapat dari artikel Peter Rosler Garcia, seorang pengamat politik dan ekonomi internasional yang tinggal di Jerman, yang dimuat di Harian KOMPAS edisi 1 Maret 2005). Bagaimana awal mula budaya korupsi muncul di Indonesia telah dibicarakan panjang lebar oleh Kwik Kian Gie, seorang ekonom senior, dalam sebuah buku mininya yang berjudul Saya Bermimpi Menjadi Konglomerat (1995). Juga bagaimana sangat dahsyatnya akibat laku budaya bernama korupsi tersebut bagi negeri ini, terutama anak-cucu kita nanti, juga diuraikan dengan cukup rinci oleh Kwik dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan”. Yang perlu saya kemukakan disini dari kedua tulisan Kwik tersebut adalah bagaimana orang-orang yang melakukan korupsi tersebut, pada tingkatan paling parah, disebut Kwik sebagai telah “sakit jiwa”. Dan Kwik memberikan sekian argumen yang cukup kuat untuk simpulan yang diambilnya itu. Berikut saya kutipkan salah satu paparan Kwik tentang korupsi di Indonesia:
Kapitalisme dan liberalisme yang de facto berlangsung di negara kita, seperti halnya kapitalisme dan liberalisme abad ke-19 di Eropa, selalu mengandung ekses praktek-praktek yang merugikan rakyat banyak. Di Eropa, ekses-ekses tersebut sudah dapat dibendung dengan cukup memadai melalui keterbukaan dan berbagai peraturan dan pengaturannya. Di Indonesia para pelaku bisnis sedang asyik-asyiknya mempraktekkan semua trik dan akal-akalan kotor secara penuh, seolah-olah semuanya itu sah-sah saja dan penemuan barunya yang brilyan (Kwik, 1995).
Sebagaimana pola hubungan antara karya sastra dengan masyarakatnya seperti yang dibahas tadi, atau lebih fokusnya bagaimana peran karya sastra dalam menyampaikan kesadaran humanitat pada masyarakatnya, menanamkan (atau barangkali lebih tepat disebut mengingatkan) tentang nilai-nilai moral pada pembaca, saya berkeinginan dalam penelitian kali ini untuk melihat bagaimana ciri estetik karya sastra sehingga dengan unik ia mampu menyentuh jiwa humanitat pembacanya. Kwik, dalam simpulannya terhadap penyakit jiwa berupa perbuatan korupsi di republik ini tadi, pun menganjurkan kemampuan berpikir abstrak sebagai sarana menyadarkan para koruptor tersebut. Dan sastra, sebagaimana bidang-bidang lain yang menjadi – seperti diistilahkan Darma tadi – kekuatan arus bawah dunia, memang berkecimpung dalam berbagai abstraksi nilai-nilai. Suwondo (2003) mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi, instuisi, dan abstraksi kehidupan.
Sastrowardoyo (1992) menuliskan bahwa di Barat telah ada apa yang dinamakan sebagai Psycopoetry sebagai bagian dari Psychoterapy. Memang kebudayaan masyarakat Barat telah menjadikan terapi psikologi atau kejiwaan tak kalah pentingnya dibanding kesehatan fisik, dan, meski mungkin masih sangat minim, terapi kejiwaan lewat pembacaan dan penulisan puisi (yang merupakan salah satu genre karya sastra) merupakan salah satunya. Terapi puisi tersebut bertujuan memudahkan pasien untuk menjelajahi perasaan-perasaan dan sangkutan pikiran yang timbul dari sajak yang merangsangnya (ibid). Kembali ke seperti apa yang diteriakkan Kwik di atas, bahwa para koruptor tersebut sedang sakit jiwa, saya tambah tergoda untuk melakukan analisis kali ini. Terpikir sebuah kemungkinan tentang bacaan sastra yang menjadi sarana penyadaran, pada suatu hari nanti, di penjara-penjara yang, mudah-mudahan segera, dipenuhi para koruptor. Maka, sebab itulah kajian kali ini akan dilakukan.
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Objek yang ingin diteliti disini adalah berkenaan dengan sarana estetik karya sastra yang dinilai mampu memberi gugahan emosionil sehingga bisa menghasilkan efek katarsis pada pembaca. Disini akan diteliti bagaimana kemampuan teks untuk menciptakan narasi fiktif dalam membicarakan budaya korupsi di Indonesia dengan mendaya gunakan sarana estetiknya tersebut. Berbicara mengenai sarana estetik, tentu, dalam pengertian sempit, penelitian juga akan berangkat dari hasil kajian stilistika. Sarana-sarana gaya bahasa yang dipergunakan dalam teks yang dibahas akan dilihat hubungan referensialnya dengan wacana dan konteks pembicaraan serta kemungkinan pengaruhnya pada pembaca. Sebab referensi sangat minim yang saya miliki tentang psikologi pembaca dalam penelitian sastra (barangkali juga teks referensi seperti ini memang sangat minim pula) maka pembicaraan mengenai pembaca akan masih sangat mengambang dan umum dan belum bisa masuk terlalu detail. Jika bertitik tolak dari sistematika penelitian resepsi Iser, maka secara terbatas penelitian kali ini akan menekankan pemeriksaan skema atau sudut pandang karya. Batasan yang dimaksud adalah hanya memeriksa sarana estetik karya yang dianggap berhubungan dengan wacana tentang budaya korupsi sebagai isu kontekstual yang menjadi bahasan. Langkah kedua Iser soal konkretisasi pembaca, seperti yang dikatakan tadi, akan dengan cukup terbatas pula selanjutnya dilakukan. Sehingga dengan fokus ini, meski pembicaraan tentang pembaca akan sangat general, tujuan penelitian yang ingin melihat kemungkinan karya sastra untuk menghasilkan efek katarsis pada pembaca bisa dicapai.
3. Tujuan Penelitian
a. Memeriksa dan menunjukkan sarana estetik yang digunakan teks yang dianggap memberi pengaruh yang berujung pada efek katarsis pada pembaca.
b. Menganalisis sarana estetik teks tersebut: melihat pemosisian (pewujudan) sarana estetik teks tersebut dalam kesatuan wacana naratif karya, memperlihatkan hubungannya dengan konteks pembicaraan, dan menyimpulkan keunggulan estetika yang dimiliki karya tersebut.
c. Memperkirakan pengaruh teks atau kemungkinan tanggapan pembaca (untuk menunjukkan keunggulan retorika yang dimiliki teks sastra).
4. Metode Penelitian
Berdasarkan penggolongan desain metodologi penelitian yang dilakukan Wuradji (dalam Jabrohim, 2003) maka penelitian yang akan saya lakukan kali ini lebih mendekati pengertian content analysis. Namun penganalisisan dokumen yang dilakukan dibatasi (juga ditambahi) dengan apa-apa yang telah dipaparkan dalam pembatasan masalah dan tujuan penelitian. Amanat, sebagai salah satu unsur intrinsik karya sastra, adalah landasan pertama penganalisisan yang dilakukan. Karena kaitan pembicaraan kali ini yang menghubungkan unsur amanat tersebut dengan efek pada pembaca, maka sedikit banyak analisis kali ini juga mempunyai pola seperti apa yang dilakukan dalam kerja penelitian resepsi sastra, cara kerja Iser utamanya. Untuk proses pemaknaan teks, sedikit banyak juga cara kerja dipengaruhi model analisis kajian semiotik mengenai sistem tanda, yang bagaimanapun diperlukan untuk menotalitaskan analisis terhadap sebuah teks sastra. Kajian stilistika berfungsi sebagai alat bantu klasifikasi terhadap sarana estetik yang digunakan teks. Satu hal yang kurang, sebagaimana telah disebutkan tadi, adalah landasan teoritik mengenai psikologi pembaca, sehingga barangkali pembahasan tentang tanggapan pembaca masih akan sangat subjektif.
Mekanisme kerja sendiri taka ada salahnya saya pikir untuk melakukan analisis teks seperti apa yang dilakukan Goldman, yakni secara dialektik (Faruk, 1999). Dalam kerangka strukturalisme genetik, metode dialektik bekerja dengan cara pemahaman bolak-balik antara struktur sosial dengan teks sastra yang diteliti (ibid). Analisis bisa berangkat dari teks yang selanjutnya diujikan pada kenyataan sosialnya, atau sebaliknya, dan hal ini berlangsung terus menerus hingga didapatkan koherensi total struktur teks yang dihadapi (ibid). Seperti penyesuaian yang dilakukan oleh Faruk dalam menggunakan metode tersebut pada kerangka semiotik (ibid), seperti itu jugalah yang musti dilakukan disini dan dalam kerangka penelitian kali ini. Namun secara sistematika penulisan, saya akan berangkat dari analisis terhadap sarana estetik teks sastra yang akan diuji dengan analisis konteks pembicaraan lalu tanggapan pembaca, hingga: didapatkan pemaknaan total(?)nya.

II. PEMBAHASAN
1. Paparan Sarana Estetik Teks, Posisi dan Korelasi Dengan Keseluruhan Karya, Acuan Terhadap Konteks, dan Kemungkinan Tanggapan Pembaca
Ada berbagai sarana estetik yang terdapat pada cerpen ini yang saya asumsikan mampu menggugah kesadaran pembaca – yang saya istilahkan efek katarsis – terhadap isu yang diangkat atau disikapi dalam teks, yakni mengenai perbuatan korupsi. Secara sempit, sarana estetik tersebut dengan cukup memadai telah dipelajari dalam studi stilistika. Disini pengertian “gaya bahasa” perlu lebih diperluas dengan analisis sarana estetik kesatuan-kesatuan wacana. Sementara sebab kajian yang akan banyak mengaitkan hasil analisis gejala kebahasaan teks tersebut dengan unsur konteks dan sikap pembaca, kajian disini, sekali lagi perlu ditekankan, bukanlah sekedar analisis murni gaya bahasa. Inilah yang membedakan bahasan kali ini dengan studi stilistika, apalagi dengan segala pembatasannya dan tujuan analisis seperti yang telah dipaparkan pada bagian pendahuluan. Bahasan kali ini akan dilakukan secara acak dengan berangkat dari unsur-unsur estetik yang terdapat pada satuan wacana teks, hubungan yang barangkali ada dengan satuan yang lain, mengaitkan dengan konteks wacananya, dan megirakan tanggapan yang mungkin ada bagi pembaca. Dari sini nanti, dibagian kedua, bisa dikirakan kesatuan efek estetik karya, secara keseluruhan, yang memungkinkan terjadinya pencerahan pada pembaca.
Sarana estetik yang utama dapat kita lihat pada penggunaan gaya ironi. Bagaimana bisa disebut sebagai yang utama, nanti akan jelas (serta dijelaskan) setelah detil pembahasan. Saya membagi dua jenis model pengironian disini: antar bagian teks dan antara teks dengan acuannya konteksnya. Bagian kedua paling cocok dengan pengertian ironi dalam studi sitilistika sebab disini apa yang dipaparkan teks akan terlihat ironis jika dibandingkan dengan realitas yang sebenarnya. Sedang pada bagian pertama, efek ironik yang muncul disebabkan oleh pertentangan, atau oposisi, antar satu bagian teks dengan bagian teks yang lain. Efek ironik yang ditimbulkan oleh pertentangan antar bagian teks ini dapat kita lihat pada perbedaan suasana yang kontradiktif antara suasana di ruang makan keluarga tokoh bapak yang seorang koruptor dengan keadaan mencekam pada peristiwa penemuan dan penggalian kuburan masal di Aceh. Efek ironik ini dibantu oleh berbagai sarana bahasa, semisal hiperbolisasi utamanya, yang dilakukan oleh pengarang untuk menggambarkan keceriaan acara makan-makan keluarga tersebut dan segala ke-serba bahagiaannya dibandingkan pada ke-serba suraman suasana penemuan mayat-mayat di Aceh.
Salah satu oposisi yang cukup menonjol (dalam kerangka oposisi di atas) dan akan sangat menyentuh pembaca adalah antara tulang belulang ayam dan ikan, yang berserakan di meja makan, hasil santapan sang koruptor beserta keluarganya vs tulang belulang tengkorak manusia yang digali di Aceh. Disini, di satu sisi juga telah terjadi paralelisasi atau penyejajaran. Akibatnya, pembaca bisa saja berimajinasi dan menghubung-hubungkan bahwa seolah-olah koruptor bersama keluarganya yang sejahtera raya tersebut sedang menikmati hidangan mayat-mayat manusia yang menderita di Aceh sana. Ini didukung oleh fakta tekstual bahwa pengarang menggunakan kata `bagaikan ladang pembantaian` untuk menunjuk keadaan penuh serakan segala macam sisa-sisa santapan di meja makan keluarga koruptor tersebut. Sebuah metafor yang sangat dahsyat saya kira.
Kemudian ada simbol-simbol lain yang cukup menambah getaran metafor tersebut pada teks ini. Sewaktu tokoh koruptor menyedot otak kepala ikan, digambarkan oleh pengarang sebagai: bagaikan sedotan kilang-kilang minyak yang menembus lautan yang bergelora. Di akhir bagian pertama cerita bisa kita ketahui bahwa latar bagi rumah keluarga sang koruptor adalah Jakarta. Ini perlu saya tambahkan dengan fakta bahwa si koruptor tersebut adalah dari zaman orde baru, seperti dipaparkan di awal sekali cerita (oposisi yang menarik juga bukan?). Kemudian sebagaimana diketahui, salah satu isu penting dalam pemberontakan di Aceh terhadap pusat adalah penyedotan pusat terhadap kekayaan alam Aceh yang berupa kilang-kilang minyak, seperti kilang Arun di Lhoksumawe contohnya. Banyak kalangan yang menilai bahwa hasil eksplorasi terhadap milik Aceh tersebut amat minim yang dibagi kembali bagi kepentingan pembangunan di Aceh. Salah satu penyimbolan terhadap kenyataan ini adalah bagaimana kontrasnya kemegahan kawasan kilang Arun di Lhoksumawe tersebut dibanding rumah-rumah gubuk masyarakat miskin di sekitarnya. Sementara itu juga ada fakta mengenai operasi militer di Aceh yang tak sedikit harus dibayar dengan korban nyawa. Di Aceh ada yang dinamakan bukit tengkorak saking banyaknya yang mati (secara masal) di sana, di Aceh juga ada kampung janda sebab para istri tersebut telah kehilangan para suaminya. Oposisi pada realitas antara pusat atau Jakarta, atau bisa juga disimbolkan pada Orde Baru vs Aceh, dengan segala kekayaan alamnya yang disedot pusat serta para pemudanya yang harus mati ditangan orang-orang pusat ini menjadi sangat menggetarkan ketika disimbolkan oleh pengarang dengan peristiwa yang sangat ‘sadis’: seorang koruptor zaman Orde Baru menyedot dengan sangat nikmat otak kepala ikan bagai sedotan kilang minyak dalam samudera yang menggelora. Terakhir, metafor ini diperkuat ke-bergetarannya oleh sebuah fakta tekstual lagi bahwa gulai ikan tersebut merupakan masakan Aceh dan bahwa istri sang koruptor, ibu dari anak-anak sang koruptor, berasal dari Aceh (dan juga bahwa salah satu mayat yang ditemukan di Aceh tersebut adalah saudara kandungnya sang istri koruptor).
Hubungan-hubungan dan oposisi-oposisi yang disimbolkan dengan cantik oleh sebuah teks sastra inilah yang memberi kemungkinan penyentuhan sisi emosi pada seorang pembaca. Teks bukan sastra tentu tak dapat dengan seenaknya saja menghubung-hubungkan antara acara makan-makan gulai ikan dengan kegiatan politik dan ekonomi yang berupa eksplorasi oleh pusat terhadap sumber daya alam di daerah. Dengan penyimbolan yang saya kira cukup berhasil menghadirkan suasana sadis tersebut, pembaca akan mengalami guncangan pada sisi emosinya. Tentu ketersentuhan seorang pembaca juga akan terkait dengan wawasan faktual yang dimilikinya mengenai persoalan Aceh dan Jakarta tersebut. Tanpa pernah tahu bahwa di Aceh memang betul-betul ada kuburan masal, atau tak pernah punya pengetahuan akan ekses-ekses dari operasi militer disana, pembaca mungkin tak akan sanggup menghasilkan imajinasi seperti disebutkan di atas. Tapi bagaimanapun, sebuah teks sastra, seperti yang terjadi dalam cerpen ini, telah membawa fakta-fakta persoalan di belakangnya ke dalam sebuah tatanan nilai-nilai (moral) yang banyak berurusan dengan emosi pembaca. Minimal, dengan segala tingkat kemampuan mereferensikan teks oleh pembaca, teks sendiri telah membentuk sebuah nilai-nilai emotif berdasarkan fakta yang diceritakannya. Minimal, pembaca tetap bisa menhadirkan metafor sadistik tersebut sekedar berbekal informasi (cerita) dari teks. Hal ini juga terkait ciri genre sastra yang memberikan kemungkinan timbulnya imajinasi yang liar (berupa oposisi-oposisi ironistik di atas) pada pembaca.
Jenis ironi yang kedua, sebagaimana dikemukakan tadi, adalah antara teks dengan referensi pada realitas. Penggambaran kondisi keluarga koruptor yang selalu bahagia sentosa raya, sebagaimana disimbolkan oleh acara makan-makan yang sangat nikmat tersebut, tentu akan menimbulkan situasi miris bagi pembaca dengan segala citraan moral dan hukumnya atas seorang koruptor. Memang wajar, seorang koruptor yang kaya raya oleh sebab peraihan korupsinya hidup nikmat dan berbahagia seperti.apa yang terjadi pada cerita cerpen ini. Sejauh ini, dan dari segi ini, memang tak ada kontradiksi antara teks dengan referennya. Cuma, lebih jauh lagi kita bisa merasakan apa yang timbul dibenak pembaca ketika berhadapan dengan fakta cerita yang seperti ini, apalagi mengalami hiperbolatisasi (serta unsur-unsur estetik lainnya), sementara seorang pembaca telah memiliki seperangkat alat penilaian moral dan hukum tersebut (tentang dosa seorang koruptor). Berbeda citra yang timbul dari pengacuan seorang koruptor kepada keadaan yang kaya raya dengan pengacuan pada sangsi hukum dan moral yang mesti diterimanya. Akibat pemaparan teks yang serba indah tentang sang koruptor (yang penuh dosa) tersebut, sementara di satu sisi pembaca telah memiliki penilaian yang buruk – dan hendaknya juga terjadi sesuatu yang buruk – pada seorang koruptor, menghadirkan ketidak senangan pembaca. Jadi bentuk ironi yang terjadi disini adalah kontradiksi antara kehidupan mewah dan berbahagia keluarga sang koruptor vs apa yang menurut kaidah moral dan hukum semestinya terjadi padanya. Penjara tentunya. Apalagi di awal cerita dijelaskan bahwa sang koruptor tersebut berhasil lolos dari hukuman yang seharusnya menimpanya. Kemudian hal ini tentu juga terbantu oleh relasinya pada oposisi intern teks di atas tadi.
Ironisme juga dapat ditangkap pada oposisi antara suasana makan-makan di rumah keluarga sang koruptor tersebut (yang serba nikmatnya) vs materi omongan (atau sebut saja petuah) sang bapak (si koruptor) dihadapan keluarganya. Ini bisa dimasukkan ke oposisi intern juga, namun tidak dipisahkan oleh satuan perurutan cerita seperti bahasan pertama. Petuah panjang lebar si bapak kepada anak-anaknya tersebut, yang terdapat pada paragraf kedua cerpen ini, saya kira merupakan pusat gugahan emosionil pada cerpen ini. Kata-kata si bapak tersebut sarat dengan unsur satire, paradoks, penyimbolan, titik kunci maksud cerita, dan sebagainya, yang kesemua berpusat pada ironisme yang menjelaskan tujuan cerita. Inti oposisi yang timbul adalah bagaimana si koruptor, atau si bapak, mengakui dosa-dosanya di depan keluarganya. Pengakuan dosa yang biasanya diikuti oleh perenungan dalam cerpen ini tak terjadi. Suasana yang seharusnya getir dan penuh duka lara tak terjadi. Sambil terus mendengarkan kumandang dosa-dosa tersebut, seluruh anggota keluarga tetap berbahagia raya menikmati hidangan yang lezat-lezat dan terus dengan sarana hiperbolis digambarkan malah tambah semangat. Lebih dahsyatnya lagi, sang bapak itu pun setali tiga uang dengan yang lainnya, pelaku utama dosa itu pun tak kurang larut dalam menikmati kelezatan santapan mereka sekeluarga.
Dan penggambaran suasana di ruang makan yang penuh kebahagiaan tersebut pun dilakukan pengarang dengan sangat luar biasa. Dengan penggunaan diksi-diksi yang dengan sangat dibuat berlebih-lebihan meggambarkan kenikmatan yang tengah terjadi dalam acara bersantap tersebut, pengarang semakin membuat genting tegangan oposisinya dengan acara pengakuan dosa korupsi sang bapak. Dengan asumsi seperti sebelumnya, bahwa berdasarkan nilai-nilai moral dan hukum pembaca tentu menganggap sang koruptor tersebut harus disiksa atas dosa-dosanya pada negara (bagian ini kembali terjadi pengacuan eksternal), sementara kenyataannya cerita malah memaparkan situasi yang sangat kontras dibanding harapan tersebut, tentu akan timbul rasa muak pembaca terhadap kisah enak yang terjadi pada sang koruptor (dan keluarganya) tersebut.
Kemudian, satu hal lagi yang perlu dibahas terkait dengan sarana estetik berupa ironi ini adalah mengenai perwatakan tokoh bapak, atau lebih tepatnya sikap yang dimunculkan pada sang koruptor tersebut, selama membawakan isu tentang korupsi dalam cerpen ini. Seperti disebutkan sebelumnya, pusat kegetiran cerita ini (atau saya sebut juga dengan istilah titik kunci maksud cerita) terdapat pada paragraf dua yang merupakan uraian panjang lebar dari sang bapak tentang perbuatan korupsi yang dilakukannya. Paragraf yang berupa ujaran langsung dari sang bapak yang koruptor ini sangat kental nuansa satirenya. Banyak sekali unsur-unsur yang paradoksial sehingga menimbulkan ironi. Kalimat pertamanya saja sudah akan membuat pembaca miris sekalian geleng-geleng kepala. Kata bersyukur yang normalnya identik dengan amal baik, disini malah digandengkan dengan keberhasilan lolos dari jerat hukum. Ini juga terkait teknik pengarang memproduksi kesan ironistik pada pembaca terhadap keseluruhan teks. Maka, hal yang terkait watak si bapak yang menghadirkan kesan ironis, yang terdapat pada paragraf dua ini, adalah paradoksial atau pencampur adukkan jalan pikiran sang koruptor tersebut.
Pada paragraf dua ini dapat kita temukan pasangan-pasangan yang oposisional dari sebuah urutan alur jalan pemikiran. Pada ucapan-ucapan sang koruptor, atau dengan bahasa lain petuahnya kepada anak-anaknya, terjadi penggunaan secara bersama antara nilai-nilai yang sebetulnya bertentangan. Sebut saja kita beri kerangka moral yang berupa nilai-nilai positif vs nilai-nilai negatif. Pertama, perbuatan korupsinya dibenarkan oleh si bapak dengan alasan bahwa bagaimanapun itu semua demi keluarga. Tapi kemudian nilai positif yang berupa demi keluarga ini, yang lalu dikuatkan secara sejajar dengan anak-anaknya yang bisa sekolah keluar negeri, rumah yang mewah, mobil yang tak cuma satu, dan memiliki tabungan di bank, dipertentangkan lagi dengan kata-kata bahwa bunga bank tersebut sanggup membuat mereka (anak-anaknya) hidup ongkang-ongkang kaki. Hal terakhir ini kembali bernilai negatif, dan secara kualitatif, dengan berurutan, telah dimulai sejak kata memiliki rumah yang mewah. Berbeda dengan menyekolahkan anak keluar negeri yang bercitra positif.
Kemudian citra positif tokoh si bapak yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri ini bersambung dengan kata-kata demi kehormatan, kebesaran, dan keselamatan keluarga (sebagai kalimat penyokong atas alasan sang koruptor bahwa ia tak korupsi buat diri sendiri), dan pernyataan si bapak agar anak-anaknya sekolahlah yang bener. Namun lalu sederet citra positif ini beroposisi lagi dengan pernyataan berikutnya, yaitu saran si bapak agar dalam sekolah anak-anaknya tersebut tak perlu repot-repot menjadi pemikir sebab yang penting mereka mampu untuk bisa korupsi dengan lebih aman lagi. Sekolah hanya dijadikan sarana untuk anak-anaknya agar mampu melakukan korupsi dengan lebih canggih dan sistematik. Setelah itu timbul lagi nilai-nilai positif dalam ujaran sang koruptor tersebut ketika menyarankan agar korupsi tak perlu besar-besaran karena akan merugikan rakyat kecil. Ia juga menyarankan cucu-cucunya nanti untuk bisa berusaha (meski dengan modal korupsi yang telah ia kumpulkan) secara baik-baik (tak melanggar hukum seperti si koruptor) nanti. Ketegangan memuncak, semakin menghadirkan suasana ironis bagi pembaca dalam menyikapi tokoh si bapak yang koruptor tersebut, ketika sang kepala keluarga dari keluarga yang kaya raya dari hasil korupsi tersebut menutup ujaran, ya pengakuan, ya nasehat panjang lebarnya dengan kata-kata: biarlah Bapak yang menjadi tumbal, biarlah bapak menanggung dosa dan masuk neraka, yang penting anak cucu Bapak menjadi orang yang mulia. Dan sambil melahap segala santapan lezat dengan teramat nikmat, si bapak, sang koruptor, dan seluruh keluarganya terus beriang gembira.
Ketidak sejalanan jalan pikiran pada ucapan-ucapan sang koruptor ini dapat diklasifikasikan pada perannya sebagai koruptor, dengan segala citra jalan pikiran yang kotor, dan peran sebagai seorang bapak atau seorang kepala keluarga dengan segala citra positifnya. Perpaduan dua karakter yang yang memiliki nilai sangat bertolak belakang ini akan menghasilkan sebuah ironi bagi pembaca dan memperkuat berbagai ironisme sebelumnya. Disamping itu akan timbul pula simpati pada pembaca terhadap keadaan sang koruptor tersebut sebab diantara logika penjahatnya yang negatif ternyata toh tetap ada nilai-nilai positif sebagai seorang bapak padanya terselip.
Secara keseluruhan, gaya ironi memang merupakan sarana stilistik yang utama dalam cerpen ini. Baik sebab dominasinya secara kuantatif maupun kualitatif, juga perannya sebagai sarana penyampai maksud cerita atau yang akan menghasilkan sebuah amanat bagi pembaca, yang ujungnya nanti juga menyangkut datangnya efek katarsis pada pembaca. Namun sesungguhnya sarana-sarana stilistik yang lain juga berperan. Sebab dominasi gaya ironi dalam cerpen ini, sarana-sarana stilistik yang lain tersebut menjadi lebih berfungsi sebagai penguat efek ironik yang yang dihasilkan. Atau dalam bahasa lain, sebagai penjelasan atas apa yang di awal pembahasan saya tangguhkan tadi, sarana-sarana stilistik lainnya berperan untuk menyokong efek ironi. Sedikit banyak sebelumnya telah diperlihatkan bagaimana metafor dan hiperbol berfungsi menguatkan kesan ironi.
Metafor paling segar, sekaligus sangat sadistik, telah saya perlihatkan contohnya sebelum ini yakni mengenai korelasi tulang belulang daging santapan keluarga sang koruptor dengan puluhan (atau bisa jadi lebih) tengkorak manusia yang ditemukan di Aceh. Hiperbolisasi juga sangat kerap terjadi. Sebelumnya juga telah saya beri contoh pada peristiwa sedotan sang bapak terhadap otak kepala gulai ikan yang oleh pengarang dianggap ibarat sedotan kilang minyak di tengah samudera (sekaligus disini juga terjadi sebuah upaya pemetaforan). Hiperbolisasi yang sangat dominan adalah usaha pengarang untuk melebih-lebihkan gambaran suasana rumah sang koruptor, lewat penggunaan diksi-diksi yang sangat nakal dan humoris, guna semakin menegangkan oposisinya terhadap situasi yang berkebalikan di Aceh. Kemudian juga terdapat sarana (gaya bahasa) repetisi yang dapat kita lihat pada pengulang-ulangan kata makan di paragraf tiga, selesai wejangan panjang lebar sang koruptor, yang juga memiliki peran dalam membangun kekontrasan suasana. Sarana simbolisasi atau pelambangan juga terjadi ketika si bapak menyebut dirinya sebagai koruptor kelas teri atau ketika ia menyarankan anak-anaknya untuk lebih memilih menjadi tikus saja ketimbang seekor singa. Terakhir, paradoksial dan kontradiksi-kontradiksi yang dihadirkan sarana ironi dalam cerpen ini bertambah lengkap dengan penggunaan kata-kata formal dan berat, atau serius, vs kata-kata non-baku dan ringan secara bersamaan (hal yang sudah menjadi gaya Seno dalam karangan-karangannya). Semua sarana stilistik tersebut pada akhirnya mendukung gaya ironi sebagai style utama.
Demikianlah hal-hal yang relevan untuk dibahas sesuai batasan dan tujuan penelitian kali ini. Sebagai sebuah kajian yang utuh terhadap karya, apalagi mengacu pada defenisi analysis content sebagaimana dikemukakan pada bagian metodologi, memang hal tersebut tak terjadi disini. Masih ada hal-hal lain yang terdapat pada cerpen yang dibahas disini tak saya bahas. Sebagai contoh, di bagian akhir cerita terjadi sebuah hiperbolisasi berupa peristiwa hujan darah (yang menurut hemat saya, menurut daya rasa saya sebagai pembaca, di satu sisi mengurangi kedahsyatan karya ini sebab hal tersebut merupakan hiperbolitas yang sudah tak koheren lagi) atau bagaimana peristiwa telepon dari Acehnya sendiri tak saya singgung (kecuali sekilas mengenai fakta tekstual bahwa salah satu mayat yang ditemukan di Aceh adalah saudara kandung tokoh istri sang koruptor). Hal ini karena hal-hal tersebut saya pandang tak (minimal tak terlalu) relevan lagi bagi tujuan kajian kali ini. Satuan-satuan wacana dan estetik karya yang telah dibahas di atas saya pandang telah memadai untuk dikemukakan. Selanjutnya yang perlu dibicarakan adalah mengenai pembaca dan kemungkinan efek katarsis, sekali lagi, sebagaimana tujuan penelitian.
2. Pembaca dan Efek Katarsis
Pembahasan di atas telah menunjukkan bagaimana sarana ironi digunakan oleh teks cerpen yang dibahas dalam penyampaian pandangannya, penyikapannya, atau bicaraannya atas budaya korupsi yang menggejala dan sudah menjadi wacana umum di Indonesia. Dengan sarana estetika berupa gaya ironi, teks sastra (cerpen tersebut) telah menghadirkan sebuah cara penyikapan yang unik dalam membicarakan wacana realitas dan realistis di luarnya. Dan dengan cara unik tersebut pula, teks telah menghadirkan sudut pandang baru bagi seorang pembaca dalam upaya meyikapi dan memahami wacana real (tentang budaya atau perbuatan korupsi) tersebut. Sudut pandang baru tersebut tentu memberi peluang pula untuk hadirnya penyikapan serta pemahaman dengan nilai-nilai baru. Kemampuan memunculkan nilai-nilai baru dengan penghadiran sudut pandang baru oleh teks sastra (dengan segala ciri dan keunikan sifat estetiknya) inilah yang saya asumsikan mampu memberi pencerahan.
Sebagaimana efek katarsis yang terjadi pada drama-drama tragedi, yang bekerja melalui prosedur membawa penonton ke titik puncak rasa muak (sehingga akhirnya timbul penilaian buruk terhadap apa yang pada awalnya dianggap menyenangkan), seperti ini jugalah efek ironi pada cerpen yang saya bahas ini bekerja pada pembaca. Upaya hiperbolitisasi kesenangan dan kemakmuran keluarga sang koruptor akan membuat pembaca muak sebab referensi pada realitas memberi tahu pembaca bahwa sang koruptor tersebut semestinya menerima hal yang sebaliknya. Pembaca tentu tak akan menerima bahwa seorang koruptor yang semestinya meringkuk di sengsaranya kehidupan penjara malah sedang hidup dengan sangat damai, tentram, mapan, bahkan penuh kefoya-foyaan di tengah-tengah keluarganya. Bagaimana bisa diterima kesenangan hidup yang dilakoni sang koruptor dan keluarganya tersebut jika realitas memberitakan bahwa perbuatannya, yang dinikmati oleh segelintir orang dalam lingkup keluarganya tersebut, telah menyengsarakan kesejahteraan orang banyak, telah merugikan kepentingan negara, dan telah merusak sistem sosial yang semestinya normal berjalan. Telah membuat, seperti bunyi salah satu sajak Taufik Ismail, setiap bayi yang lahir menanggung hutang rupiah sepuluh juta. Lalu, silakan kau beri penataran juga, belum selesai mulutmu bicara, kau sudah dikencinginya.
Kemudian ironisme yang mengoposisikan sekaligus mengorelasikan antara peristiwa di Jakarta (atau acara makan-makan di rumah keluarga sang koruptor) dengan kejadian di Aceh (beserta detil oposisi tulang belulang dan segala konteks wacana di belakangnya) bisa diperkirakan akan sangat kuat secara emosionil menggugah perasaan pembaca. Bagaimana mungkin pembaca tak akan tersentuh dengan imajinasi sadistik bahwa seolah-olah sang koruptor, beserta keluarga besarnya (apalagi sang istri terkait dengan bagian kejadian di Aceh), dimetaforkan sedang menyantap tubuh-tubuh tertindas orang Aceh di meja makannya. Dan peristiwa bersantap ria ini digambarkan sangat serba hiperbolis pula. Betapa akan sangat mualnya pembaca. Begitu juga, kemualan pembaca akan bertambah, pada paradoksal yang terjadi antara suasana bersantap yang serba ceria dengan materi omongan sang koruptor yang berupa acara pengakuan dosa korupsinya. Juga pada ketidak konsistenan nilai-nilai dalam materi pembicaraan, yang berupa petuah seorang bapak kepada anak-anaknya tersebut. Disini logika berpikir yang jahat sebagai seorang koruptor bercampur aduk dengan petuah bijak dan positif sebagai seorang bapak atau sebagai seorang kepala keluarga.
Efek pencerahan pada pembaca, yang berawal dari kemuakan terhadap laku yang ditampilkan oleh ironisme cerita, ini dapat diterangkan lewat proses identifikasi. Dalam menghadapi cerita pembaca akan meleburkan dirinya, sebagai subjek non-fiksional (dan berada di dunia realitas), ke dalam kisah dan tokoh-tokoh pada teks fiksi. Pembaca dimungkinkan untuk menjadikan tokoh sang bapak atau sang koruptor, yang merupakan pusat cerita, sebagai citraan dari dirinya sendiri. Tingkatan kepekatan pencitraan ini tentunya dipengaruhi dan ditentukan oleh sekian faktor yang menjadi latar belakang pembaca sendiri. Salah satunya pembaca sebagai seorang yang juga koruptor misalnya. Namun sekian faktor tetap akan saling tumpang tindih mempengaruhi intensitas pencitraan diri pembaca. Pembaca dengan latar belakang sebagai seorang koruptor pun bisa dilemahkan proses identifikasi dirinya terhadap tokoh dalam teks disebabkan kondisi psikologisnya yang memiliki tingkat kemampuan berempati yang rendah atau latar belakang pemikiran yang sangat kuat memandang perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang sama sekali tak salah. Maka sekian faktor latar pembaca sendiri akan saling berperan dalam menentukan proses identifikasi ini.
Bagaimanapun analisis kali ini belum mengompetensikan diri untuk membicarakan sekian kerumitan latar belakang pembaca secara detail. Pembicaraan tentang pembaca disini masih sangat bersifat umum. Salah satu landasan teoritik yang dapat saya pergunakan dalam tataran yang masih umum tersebut adalah sisi humanitat manusia. Dengan, sekali lagi, segala tingkatan dan varian dari sisi humanitat (atau kemanusiaan) manusia tersebut, bisa diperkirakan bahwa selalu ada tempat buat seorang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya pada cerita tersebut. Dan dengan analisis umum ini pula telah bisa disimpulkan tentang beberapa faktor yang menunjang identifikasi tersebut, serta efek pencerahan sebagai hasilnya, yakni meliputi latar belakang sosial dan ideologi (pemikiran) pembaca serta tingkat kemampuan melibatkan diri secara emosionilnya.
Kemampuan berempati seorang pembaca dan tingkat kedalaman ketersentuhan emosionilnya sudah tentu akan mempermudah ketergugahannya pada ironisme yang dihadirkan cerita tersebut. Yang berefek pula selanjutnya pada kemampuannya untuk menemukan nilai-nilai pencerahan yang dihadirkan oleh teks. Sedangkan mengenai latar sosial-pemikiran pembaca, yang bagaimanapun dipengaruhi oleh sisi humanitat pada dirinya, pengaruh cerita dapat dilihat dari sudut pandang baru serta wawasan baru yang dihadirkan teks. Dengan sudut pandang baru tersebut, pembaca dibawa juga oleh teks ke arah pencerahan pada dirinya. Seseorang barangkali sebelumnya tak memiliki pikiran bahwa korupsi ada hubungan juga dengan orang-orang yang ditindas rezim penguasa. Butuh pemaparan panjang secara non-fiksional untuk fakta tersebut. Dan teks sastra dengan cantik mengemasnya. Secara singkat dan estetik, sarana ironi yang digunakan cerpen tersebut langsung menyentuh emosi pembaca.
Pengenalan pembaca akan kemasan teks sastra ini, selain pengetahuan akan konvensi tentang genre sastra, juga menyangkut wawasan kontekstual dan daya analisis wacana pembaca. Sebagaimana pembahasan konteks cerita di atas, oposisi-oposisi dan relasi-relasi dalam sarana ironi teks (bagian acuan teks pada realitas) cerpen tersebut bukanlah tanpa landasan konteks realitas di belakangnya. Namun segala kerumitan kontekstual dibelakangnya tersebut disederhanakan oleh teks ke dalam bentuknya yang estetik. Dalam bahasa lain bisa kita sebut pemadatan, yang sebagaimana dipaparkan tadi juga: lebih efektif menyentuh sisi emosi pembaca. Dan kehadiran estetik teks tersebut di satu sisi membantu pembaca menguraikan dan memahami latar konteks di belakangnya. Di sisi lain, pembaca untuk memahami teks membutuhkan referensi kontekstual pula. Dengan wawasan akan konteks tersebut pulalah pembaca melakukan proses konkretisasi atas skema atau pandangan yang dihamparkan teks. Dan faktor ini juga mempengaruhi proses identifikasi dan, selanjutnya, pencerahan pada pembaca. Namun, bagaimanapun, walau seorang pembaca menghadapi teks dengan sarana kontekstualnya (wawasan pembaca) yang minim sekalipun, cerita tersebut tetap mempunyai daya gugah terhadap pembaca dengan sekedar berangkat dari fungsinya yang memberikan informasi baru pada pembaca.
Kembali mengenai sisi humanitat manusia, terkait pengaruh teks cerpen tersebut pada pembaca, ada baiknya sekarang kita perhatikan bagian pembahasan tentang inkonsistensi perwatakan sang koruptor. Pertumpang tindihan nilai-nilai, positif dan negatif (yang bisa dikorelasikan secara sistematik pada peran sang tokoh sebagai seorang bapak dan sebagai seorang koruptor), tersebut sesungguhnya memberi kesan tersendiri pula pada pembaca. Selain kontradiksi yang dihadirkan, tapi juga terkait sarana ironi yang digunakan, inkonsistensi ujaran sang koruptor tersebut sesungguhnya memberikan kesan bahwa seburuk-buruknya manusia tetap saja masih ada nilai-nilai kebaikan yang masih tersisa padanya. Jadi analisa ini berangkat dari sudut pandang yang berbeda dengan pencitraan negatif terhadap inkonsistensi perwatakan sang koruptor. Sebab adanya sisi humanitat pada sang koruptor, maka penilaian pembaca tak akan sepenuhnya buruk padanya. Sebagian ucapan-ucapannya yang positif akan membuat pembaca terharu akan posisinya.
Kalimat terakhir pada bagian tersebut, yang sebelumnya telah saya sebut sebagai puncak ketegangan (ironi cerita) dan saya pikir sangatlah mengharu-birukan (meski di sisi lain kesannya sangat konyol penuh humor), bisa kita sebagai contoh yang memuncak untuk hal ini. Betulkah ada orang yang memang sudah merelakan diri untuk masuk neraka? Apalagi itu semua buat orang lain (atau bisa dibaca: cucu-cucunya) yang nanti bakal hidup mulia? Apakah para cucu tersebut tak akan merasa bersalah dengan pengorbanan (bahkan saya pikir ini sangat jauh lebih dari sekedar berkorban) kakeknya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan beruntun memberondongi pembaca. Betapa tingginya rasa pengorbanan sang koruptor. Sampai titik ini, yak, empati pembaca akan timbul. Namun lebih jauh timbul pertanyaan: betulkah sang koruptor tersebut mau begitu? Semuanya cukup dijawab bahwa beginilah ironisme dan paradoksal yang dihadirkan teks sastra, yang memang lebih berfungsi untuk mengaduk-aduk emosi pembaca.
Kesatuan utuh dan akhir cerita tak selalu mampu menghapus efek emotif terpisah dari satuan-satuan estetik di dalamnya. Meski pembaca, pada penilaian akhir menganggap apapun perkataan positif yang diucapkan sang koruptor adalah kebohongan, tetap saja teks yang telah membuat sang koruptor juga mampu berpikir positif, memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, telah membekas dalam kesan pembaca. Dan segala tebaran kesan dari teks tersebut kemudian dikristalkan oleh pembaca ke dalam kesatuan pemaknaan. Hal yang dapat kita lihat pada pemeriksaan resepsi sastra: teks memberikan pengaruhnya pada pembaca, namun tetap pembaca menyelesaikan penilaian dengan horison penerimaannya sendiri. Sebab kajian kali ini yang lebih menekankan bagaimana sarana estetik teks akan mempengaruhi pembaca, pembahasan juga telah memperlihatkan bagaimana sudut pandang yang diberikan oleh teks sendiri cukup kuat guna membentuk nilai-nilai pemaknaan pada pembaca.
Selanjutnya, untuk lebih mengukuhkan hasil analisis ini dari segi keilmiahan yang terukur lewat sebuah sistematika, saya mengajukan konsep sintagmatik-paradigmatik Saussure sebagai alat pengujinya. Dengan menggunakan konsep koherensi dan korelasi sintagmatik (yang tetap tak bisa dilepaskan dari konteks acuan teks atau wacana pembicaraanya) bisa kita ukur apakah cerpen tersebut masih akan memiliki daya gugah yang sama seandainya terjadi penggantian pada salah satu konstituennya. Sebagai contoh, andai kata tulang tulang makanan di meja makan tak dikorelasikan dengan mayat-mayat di Aceh. Lalu lakukanlah pengujian dari segi diferensiasi paradigmatik. Apakah sentuhan emosionil cerita yang sangat sadistik pada contoh tersebut masih akan terasa andai satuan wacana mayat-mayat di Aceh diganti dengan hal lain. Contoh yang saya kemukakan ini, sementara, saya pikir cukup guna dipaparkan dalam analisis kali ini. Pengujian atas koherensi-korelasi sintagmatik dan, secara, diferensiasi paradigmatik atas contoh tersebut saya anggap sudah mewakili pengujian atas satuan-satuan estetik lainnya. Dan, sebab, bagaimanapun pengujian ini dikembalikan pada tujuan analisis kali ini yang membicarakan kemampuan memberi pencerahan oleh teks, dengan sarana estetiknya (yang berupa gaya ironi), pada pembaca, kemampuan untuk memberikan efek katarsis, pencerahan yang berawal dari kemuakan.
Terakhir, saya kira penelitian teks sastra dengan pendekatan pada pembaca ini cukup penting untuk disemarakkan. Dalam analisis terhadap teks media sendiripun (yang tidak lebih multi-interpretable dibanding teks sastra) telah ada model pendekatan analisis wacana kritis yang mulai memperhitungkan peran penafsiran teks oleh pembaca (Eryanto, 2001). Analisis kritis ini sebagai alternatif yang diajukan bagi kekurangan dalam tradisi analisis wacana positivistik dan formalistik (ibid). Kemudian mengenai pembaca ini kita memang sedang berhadapan dengan kenyataan rendahnya selera sastra masyarakat (Jatman, 1985). Justru disini pulalah tantangan bagi karya sastra untuk membentuk selera masyarakat tersebut (ibid). Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Pratt (Teeuw, 1984) tentang assertion (pernyataan). Di satu sisi ada assertability yaitu sifat sebuah pesan yang menarik dikarenakan relevansi persoalannya, yang kedua ada tellability yaitu kemenarikan pesan sebab kebaruan dan keluar biasaannya. Seandainya teks sastra sangat tidak menarik sebab kerumitan bagi pembaca mengenal relevansi persoalan yang dibicarakannnya, setidaknya lewat sebuah kebaruan, lewat keunikan sarana estetiknya, teks sastra akan menjadi sesuatu yang menarik bagi pembaca.


III. SIMPULAN
Dengan menggunakan sarana stilistik berupa ironi, hiperbolisasi, metafor, dan sebagainya, terlihat bagaimana cerpen yang dianalisis kali ini mempunyai keunggulan pengaruh tekstual dengan serangan “halus”-nya terhadap sisi reaktif emosionil pembaca. Kekuatan pengaruhnya tersebut ditunjang oleh kemampuan teks mengatur relasi-relasi koheren maupun kontradiktif antar unit satuan wacana dan pemilihan referensi kontekstual yang dimungkinkannya untuk dimaknai oleh pembaca. Dengan pengecualian pembicaraan terhadap unsur-unsur lain dalam teks yang tak dibahas disini, cerpen tersebut terlihat cukup memiliki kepaduan afektif yang memadai guna memberikan efek pencerahan pada pembaca. Memang, sekali lagi, masih terdapat kekurangan pembahasan tentang ragam penyikapan pembaca. Dari upaya generalisasi terhadap posisi pembaca tersebut dapat dilihat faktor-faktor yang menentukan tingkat efektifitas keterpengaruhan pembaca oleh teks yakni: kemampuan mengenal sarana estetik teks sastra, wawasan tentang wacana yang dibicarakan teks, kondisi psikologis berupa tingkat kemampuan berempati dan hal-hal lain terkait keterlibatan emosional seorang individu, dan latar belakang pembaca yang membentuk penyikapannya terhadap teks (semisal ideologi yang dianut).
“Kita ini manusia sampah,” kata Bambang Q-Anees dalam sebuah artikelnya yang berawal dari keprihatinan terhadap musibah longsoran sampah yang menelan korban jiwa di sebuah TPA “strategis” di Jawa Barat. Dengan renungan dan penalaran filosofisnya Anees sampai pada kesimpulan bahwa musibah tersebut sebetulnya mengingatkan kita, manusia, bahwa kita tak kalah busuknya(!) dibanding sampah-sampah tersebut. Eksistensi sesuatu yang baik justru lebih mencolok jika dikonfrontasikan dengan hal yang sebaliknya (Nurgiyantoro, 2000). Sastra yang adiluhung tidaklah membuat kita menjadi seorang narkisus, tetapi malah menampilkan betapa bobroknya makhluk bernama manusia (Darma, 1984). Sebab itulah diperlukan rasa mual terhadap diri sendiri seperti yang terjadi pada Fanton Drummond dalam Olenka. Sebelum menuju pencerahan. Sebab apa? Sebab kita ini memang manusia sampah! Maka, iqra!­ Berkacalah…eh, bacalah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Imran T.. “Resepsi Sastra: Teori dan Penerapannya”. Dalam Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Darma, Budi. 1984. “Moral Dalam Sastra”. Dalam Sejumlah Esei Sastra. Jakarta: Karya Unipress.
---------. 1989. “Konstelasi Sastra: Homo Comparativus”. Dalam Wahyudi, Ibnu (ed). Konstelasi Sastra. Kumpulan makalah-makalah yang disajikan pada Pertemuan Ilmiah II Hiski di Denpasar.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS.
Garcia, Peter Rosler. “Indonesia Tahun 2020”. Dimuat dalam KOMPAS 1 Maret 2005.
H.T., Faruk. 1999. Hilangnya Pesona Dunia: Sitti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial Kolonial. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Jatman, Darmanto. 1985. Sastra, Psikologi, dan Masyarakat. Bandung: Alumni.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia.
Kian Gie, Kwik. 1995. Saya Bermimpi Jadi Konglomerat. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. . Teori Pengkajian Fiksi.
Q-Anees, Bambang. “Kita Ini Manusia Sampah”. Dimuat dalam Pikiran Rakyat 26 Maret 2005.
Sastrowardoyo, Subagyo. 1992. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yoyakarta: Hanindita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
van Zoest, Aart. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi Dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Wuradji. 2003. “Pengantar Penelitian”. Dalam Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Tentang Awal dan Mira

Sebuah Tanggapan Atas Drama Awal dan Mira Karya Utuy Tatang Sontani

Lagu-lagu cinta dari abad ke abad, masa ke masa berseliweran di telinga kita. Mulai dari kisah cinta klasik antara The Great Alexandre dan Cleopatra atau kisah yang sangat popular di kalangan suku Arab yaitu berupa cerita Laila Majnun, hingga lagu-lagu cinta yang dipopulerkan oleh grup-grup musik semacam Westlife, AirSupply, hingga Dewa dan sebangsanya di Republik Indonesia. Ya, tema cinta memang sejauh nasab hingga Adam dan Hawa, inspirasi yang bisa digali di dalamnya pun bak seluas samudera hindia, seolah tak pernah habis meski kita tahu yang dibahas tak pernah lebih sepeutar itu-itu saja, dan ya, omongan begitu-begitu juga. Dalam cerita pada drama Awal dan Mira karangan sastrawan Utuy Tatang Sontani ini, kita pun disuguhi lagi dengan tema serupa itu. Drama ini mengisahkan tentang betapa berat dan sangatnya seorang pemuda bernama Awal mencintai saudari Mira.
Tak pelak lagi, yang akan kita ketemui adalah semacam umbaran-umbaran kata-kata penuh gelora asmara dari seorang jejaka kepada wanita dambaannya. Begitulah dalam drama ini, Awal kerap mengeluarkan jurus-jurus cumbuan mayutnya berupa kata-kata yang sangat hiperbolis guna meruntuhkan hati seorang Mira. Diperlihatkan pula, layaknya memang untuk sebuah cerita cinta, sang gadis pun terlihat seolah jual mahal terhadap maksud hati sang pria. Kebetulan sang Gadis memang terkenal kecantikannya, sehingga jadi semakin tak gampanglah si Awal untuk tanpa persaingan bakal mendapatkannya. Tapi, ibarat judul sebuah film, ada yang tak biasa. Jika kita anggap bahwa drama ini adalah sama adanya dengan sejumlah karya sastra yang dianggap picisan dan konvensionil, saya kira taklah terlalu tepat pula. Ada sejumlah perihal dalam pengaluran atau penyebaban dalam kisah drama ini yang cukup membuat kita bisa menilai bahwa kisah tak dibuat semena-mena begitu saja, alias biasa-biasa saja, alias tak orisinil atau cuma mengulang plot yang sudah umum dalam kisah serupa. Ada keistimewaan tersendiri dalam drama ini untuk memandangnya sebagai sebuah karya sastra, meski dengan tema umum dan klise cinta, namun….
Pertama adalah sebab-sebab kondisi psikologis tokoh Awal yang memungkinkan dan melebih logiskan baginya untuk mampu mengucapkan ucapan-ucapan yang sangat dahsyat dan berlebihan dalam mengutarakan cintanya pada Mira. Ia adalah seorang keturunan Menak yang dianggap mengalami tekanan psikologis ketika berada di jaman revolusi atau perang seperti pada settingan latar drama ini. Asal usulnya itu juga memungkinkan buat dia menjadi seorang yang cukup cerdas dan terampil berbahasa, juga kemampuan dia dalam memberikan penilaian terhadap berbagai persoalan-persoalan hidup. Meski penilaiannya terlihat sinis, namun jangan-jangan ia memang telah punya kemampuan akademis untuk itu. Kemudian yang kedua adalah alasan bagi Mira untuk terlihat seolah menghindar dari Awal. Terakhir baru kita ketahui bahwa ia ternyata seorang gadis cantik berkaki buntung.
Akhirnya, setidaknya dua fakta ini dapat kita jadikan alasan untuk membedakan kisah cinta Awal dan Mira ini dari kisah-kisah yang lain yang terlihat lebih klise dan dibuat-buat. Sebab itu juga drama ini menjadi lebih rasional terlihat kuat dari segi bahasa. Terlepas dari segikekurangan dalam hal lain.***

esei Media Katarsis

MEDIA KATARSIS DALAM KARYA SASTRA, SEBUAH PENGENALAN SINGKAT MANFAAT PENDEKATAN RESEPSI SASTRA
Seorang koruptor zaman Orde Baru yang lolos dari pengawasan Indonesian Coruption Watch bersantap malam bersaama keluarga besarnya. Sambil menyantap makanan yang lezat-lezat, sambil seluruh anggota keluarganya melahap sepuas-puasnya semua hidangan yang serba nikmat, sang koruptor berbicara panjang lebar tentang perbuatan korupsi yang dilakukannya, yang bagaimanapun itu demi kesejahteraan dan kemakmuran keluarga. Yang bagaimanapun, untuk itu ia bersedia menanggung semua dosa. Demi modal hidup baik-baik anak cucunya kelak. Sementara, acara makan-makan yang serba lezat terus berlangsung dengan sangat nikmatnya. Tulang belulang segala macam daging berserakan di piring-piring. Sehabis itu, giliran puding, karamel, berbagai rupa pencuci mulut, meluncur ke meja makan. Sementara di luar, hujan turun dengan derasnya. Dari Aceh sampai Jakarta. Di Aceh, di tengah-tengah derasnya hujan, di antara suara guntur dan halilintar yang bersambung-sambungan, orang-orang sedang bekerja keras membongkar sebuah kuburan masal yang baru ditemukan. Satu persatu tengkorak-tengkorak dan tulang belulang tersebut diangkat kepermukaan. Pada waktu yang sama, di Jakarta, sang koruptor dengan sangat nikmat sedang menyedot otak gulai kepala ikan bumbu aceh. Sedotannya bagai sedotan kilang-kilang minyak di tengah lautan yang bergelora.
Cuplikan pada para paragraf di atas saya ambil dari sebuah cerpen karangan sastrawartawan Seno gumira Ajidarma berjudul Telepon Dari Aceh. Sungguh teramat memikat gaya ironi yang dihadirkan Seno pada cerpen yang pernah dimuat dalam buku kumpulan cerpen terbaik KOMPAS tahun 2000 ini. Dengan mengkontraskan suasana acara bersantap dengan hidangan serba nikmat yang terjadi di Jakarta (di rumah sang koruptor) dengan kejadian pembongkaran kuburan (bisa kita tafsirkan sebagai korban DOM) di Aceh, cerita ini telah berhasilkan menghadirkan kesan miris pada pembacanya. Paling eksplisit bisa kita lihat pada korelasi oposisional yang mungkin timbul antara tulang belulang segala macam daging santapan keluarga sang koruptor tersebut dengan tulang belulang mayat-mayat yang ditemukan di Aceh. Seno tepat sekali sama-sama menggunakan pilihan kata tulang belulang bagi kedua hal yang sebetulnya berbeda tersebut. Apabila hal ini kita hubungkan dengan pemaknaan yang bisa hadir bahwa sang koruptor zaman Orde Baru itu adalah simbol dari Jakarta atau Pemerintah Pusat yang dianggap menindas daerah, dalam hal ini rakyat Aceh, maka bisa saja timbul metafor yang sangat sadistik di benak pembaca: sang koruptor dan keluarganya tersebut sebetulnya sedang menikmati tulang belulang korban DOM di Aceh(!), dengan sangat nikmat dan tanpa rasa bersalahnya.
Banyak sekali fakta-fakta tekstual dalam cerpen ini yang bisa lebih dikupas lagi untuk menunjukkan kesan ironistiknya yang akan mengakibatkan sentuhan estetik pada sisi emosi pembaca. Daya sentuh terhadap emosi pembaca inilah yang diharapkan akhirnya berujung pada efek katarsis pada setiap pembacanya, pencerahan yang didapatkan setelah melewati tahapan kemuakan terhadap apa yang terjadi. Tentang bagaimana efek katarsis bekerja dalam “dunia sastra”, Budi Darma pernah memberi contoh pada peristiwa “banjir darah” dalam pertunjukkan drama tragedi. Pertunjukan tersebut pada akhirnya “mendidik” penonton agar tak melakukan apa-apa yang baru saja mereka saksikan di atas panggung.
Pada sekira akhir tahun 70-an, model pendekatan dalam kritik sastra ikut diramaikan oleh teori estetika resepsi, atau dalam posisinya di antara macam pendekatan lain dalam analisis teks sastra lebih umum dikenal dengan istilah resepsi sastra. Ada dua tokoh yang pertama kali secara sistematis dan metodologi(k) merumuskan model pendekatan ini, yakni Jauss dan Iser, keduanya dari Jerman. Setelah tulisan-tulisan mereka dikenal oleh dunia, mulailah terlihat bagaimana model analisis teks dan teori-teori sastra mendapatkan kesegaran dan sudut pandang baru. Pengaruh paling radikal setidaknya terlihat pada sebuah buku yang berjudul “Kritik Sastra Subjektif” (karangan David Bleich) yang dikomentari Selden sebagai sebuah argumen canggih, yang setuju pergeseran paradigma kritik sastra objektif ke kritik yang bersifat subjektif. Apalagi jika hendak dibicarakan bagaimana pengaruhnya pada aliran dekonstruksionisme yang sedang hangat-hangatnya disoroti pada zaman paska-modernisme ini.
Point paling penting dalam pendekatan resepsi sastra adalah bagaimana peran (setiap) pembaca (dengan segala persamaan dan perbedaan cirinya) dalam menafsirkan teks (sastra) mulai diperhitungkan. Antara Jauss dan Iser sebetulnya terdapat perbedaan konsepsi tentang analisis resepsi ini. Jauss lebih membicarakan tentang penerimaan aktif (pembacaan yang diikuti oleh penciptaan karya baru oleh pembaca itu) sehingga membentuk garis kesinambungan sejarah penerimaan (lebih jauh bisa dilihat pertemuannya dengan pendekatan dan teori intertekstualitas), sedangkan Iser lebih menekan-kan model analisisnya pada kemampuan atau cara teks (dan penulis) mempengaruhi (penafsiran) pembaca atau dirumuskan oleh Iser dengan konsep tentang efek (wirkung). Sebab pembicaraan tentang pembaca (yang mahaluas) inilah barangkali yang mengakibatkan kemandeg-an usaha pengembangan model pendekatan ini. Sesuatu yang cukup “beresiko” untuk menjelaskan (secara ilmiah) sebuah objek yang sangat besar macam variabelnya, dan tambah pula, sangat tinggi tingkat mobilitasnya, manusia, yang hidup, berpikir, mempengaruhi, dan dipengaruhi. Upaya generalisasi sepertinya juga sulit untuk diterapkan. Berbeda dengan kajian-kajian sosial lainnya, kajian sastra memiliki tuntutan tersendiri yang berupa “penghargaan yang besar” terhadap “segala keunikan satuan estetik”-nya.
Jauss sebetulnya juga telah berusaha menghindari kesemrawutan identifikasi pembaca tersebut dengan fokus penelitiannya pada penerimaan yang bersifat aktif (sehingga ada pembuktian secara interteks). Begitupun Iser mengemukan klasifikasi tentang pembaca dengan membedakan antara pembaca sebenarnya (real reader) dengan pembaca yang disarankan oleh teks (implied reader). Dan yang terakhir ini dapat kita temui pada pembaca ahli (yang bagaimanapun, pasti dengan segala “keterbatasannya”), sebab ia melakukan penafsiran teks telah dibekali oleh seperangkat “alat” analisis, tak sekedar sudut pandang impresi dan “latar belakang subjeksi”-nya, sehingga diharapkan “sudut pandang” yang dihadirkan oleh teks (barangkali untuk kali ini perlu dipisahkan dari “niat semula” pengarangnya) dapat ditangkap dengan sebaik-baiknya.
Dengan sangat terbatas, apa yang dilakukan Iser tersebutlah yang coba saya terapkan pada cerpen di atas sehingga saya berani mengambil kesimpulan tentang efek katarsis (pencerahan) yang mungkin dihadirkan olehnya pada pembaca (dengan penyesuaian pada segala variabel pembaca untuk menentukan intensitas pengaruh teks tersebut). Ada benarnya, dalam analisis sudut pandang atau skema yang dihadirkan oleh teks cerpen tersebut dilakukan sebuah kajian semiotik (yang sebab upaya pengorelasiannya terhadap referensi peristiwa dan hal-hal real di luar teks juga secara terbatas memasuki lingkup kajian sosiologi sastra). Namun, seperti yang dikatakan oleh Faruk bahwa resepsi sastra adalah bagian dari teori semiotik, saya kira semiotikpun adalah “hanya” salah satu pendekatan yang dibutuhkan dalam rangka analisis estetika resepsi yang menekankan efek karya (baca: cara karya yang memproduksi efek) ini.
Saya melihat masih banyak karya-karya sastra lain, yang secara feeling dianggap menyentuh emosi dan kesadaran seorang pembaca, bisa digarap dengan teori wirkung-nya Iser ini. Salah satunya (yang saat menulis ini tiba-tiba terlintas di kepala saya) adalah naskah drama “Orang Malam” karangan Soni FM. Menarik jika kita menyimak sudut pandang dalam pengangkatan sebuah tema pada drama itu, dibandingkan dengan kecenderungan tematik “karya-karya sastra” dalam sebuah rubrik mingguan yang diasuh Soni. Apalagi jika hendak dihubungkan dengan latar sosiologis-“nya”. Dan lebih-apalagi lagi, jika dihubung-hubungkan dengan niat membentuk “watak-kebudayaan” masyarakat sebagai upaya pembuktian bahwa karya sastra berperan dalam membentuk nilai-nilai pada masyarakatnya. Perlu saya tambahkan disini bahwa ada sebuah buku menarik, karangan George W. Burns, yang memperlihatkan bagaimana cerita (metafora) bisa dimanfaatkan sebagai sarana psikoterapi. Bahkan, seperti yang pernah dilansir Subagyo Sastrowardoyo, di Amerika sana telah ada yang dinamakan Psikopoetry, sebagai sebuah alternatif terapi kejiwaan.
Barangkali ini memang upaya yang mulai bergerak ke arah pragmatisme, ke pemikiran yang mulai “membicarakan” peran sastrawan dan karya sastra di “tengah-tengah” masyarakatnya, (te)tapi apa salahnya `ku kira. Kita bisa melihat betapa “kering”-nya teks-teks sastra maupun analisis-analisis teks sastra yang tak memiliki wawasan di luar “sastra untuk sastra”. Apalagi dalam analisis wacana teks media (yang tak se-prismatik teks sastra) juga telah berkembang analisis yang mulai memperhitungkan peran penafsiran pembaca (misalnya upaya pengklasifikasian unsur analisis teks media oleh Sara Mills yang dikenal dengan kritik feminisnya), meninggalkan kekakuan tradisi analisis formalistik dan positivistik. Apa yang coba saya lakukan pada cerpen Seno tadi masih sangat awal dari upaya “ambisius” pendekatan resepsi sastra, masih tak terlalu memperhitungkan tingkat variasi pembaca. Dan tulisan saya kali inipun sangat bertendensi untuk memancing tanggapan reseptik berikutnya. Walau begitu, walau dengan baru dikit-dikit kenal semiotik, saya memberanikan diri sedikit* berbeda pendapat dengan Pak GM (dalam kata pengantarnya pada buku kumpulan cerpen Kompas yang memuat karya itu) tentang efek horor karya Seno tersebut. Bukankah kita sama-sama pembaca, sekaligus merupakan pembaca yang berbeda, Pak Goen…?

Catt:
*)semua yang bergaris miring dan diberi tanda kutip memerlukan barang-sedikit penjelasan “tertentu”, khusus yang diberi tanda asteris ini: sangat memerlukan uraian khusus.
+buat Pak AH, juga Pak ANS, juga sekalian Ssph Bdd, mohon maaf jika dipandang terlalu banyak “kutipan” dan pemiringan, atau kalimat-kalimat yang kurang sederhana dipolakan, sebab: “udah sedikit terlupa dari pelajaran tatabasa dan pemberian contoh kalimat di kala daku masih duduk dibangku SD, SMP, dan SMA. Bapak-bapak…kenyataan sekarang membuat aku, saya, ikut-ikutan ngikut gila!”

Friday, December 02, 2005

LAPORAN PEMBACAAN ATAS ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK-SEMIOTIK FARUK TERHADAP ROMAN SITTI NURBAYA



1. Latar Belakang Penelitian
Roman “Sitti Nurbaya” sudah dikenal sebagai karya sastra yang sangat populer pada masanya. Beberapa ahli dan kritikus sastra telah sering membahasnya. Apalagi di kalangan pembaca umum, sudah jamak diketahui tentang kepopuleran karya yang satu ini. Satu bukti lagi adalah keberhasilan roman tersebut menduduki jajaran teratas frekuensi peminjaman buku di perpustakaan, setidaknya untuk sekian puluh tahun dari masa penerbitannya. Dalam persaingan untuk bisa menduduki peringkat atas tersebut, tak ada satu karya sastra Indonesia lain yang menandinginya. “Sitti Nurbaya” hanya bersaing dengan novel-novel terjemahan yang populer pula.
Berangkat dari inilah peneliti berminat melakukan kajian atasnya. Peneliti mengandaikan roman tersebut sebagai sebuah karya besar, berangkat dari keberhasilan karya tersebut merebut perhatian pembaca dan para kritisi novel seperti dipaparkan tadi.
Seperti disebutkan tadi juga, beberapa ahli dan kritikus sastra telah mengadakan penelitian dan melakukan pembahasan atas novel besar tersebut. Namun berdasarkan pandangan peneliti: tidak seorang pun di antara mereka yang mencoba memberikan deskripsi yang terperinci dan bersistem mengenai roman tersebut. Menurut peneliti lagi: hasil pembahasan para ahli dan kritikus tersebut juga banyak mengandung kelemahan baik dari segi teoritik maupun empirik.
Analisis John yang menyatakan bahwa karya tersebut realistik, sebagaimana syarat bagi sebuah novel dalam konsep realisme formal Ian Watt, mengandung kelemahan dari segi kenyataan empirik meski memganalisis dengan menggunakan kerangka teori yang kuat. Begitu juga simpulan Aveling bahwa “Sitti Nurbaya” merupakan kesatuan cerita yang tidak integratif, meski kuat dari segi kerangka teori pendekatan, juga lemah dari segi fakta empirik. Kemudian pengkajian oleh Usman, Rosidi, dan Siregar dinilai peneliti sama sekali tidak sistemik dan tidak mempunyai dasar teoritik. Terakhir peneliti juga mengutip pandangan Teeuw bahwa roman tersebut cocok dengan selera sastra barat sementara tak dijelaskan defenisi selera sastra barat tersebut.
Maka dari pada sebab itu, peneliti mengajukan pertanyaan: bagaimana koherensi struktur roman “Siti Nurbaya” sebagai karya yang besar, yang jauh lebih menonjol dari karya-karya sezamannya? Inilah yang memacu peneliti untuk meneliti.
Dalam bahasan sebelumnya mengenai fakta kebesaran roman tersebut, peneliti menghubungkan sebab musababnya dengan pendapat Goldman mengenai keberhasilan sebuah karya sastra. Menurut Goldman, karya sastra yang besar dan sahih adalah karya yang mempunyai stuktur yang terpadu, mempunyai kepaduan internal, sebagi akibat dari ketepatan pandangan dunia yang ditangkap dan diekspresikan oleh pengarangnya. Dari ini, peneliti mendapatkan sebuah jalan untuk mencoba mencari faktor-faktor yang membesarkan roman tersebut. Dengan pembatasan pada: koherensi struktur karya, seperti yang dirumuskan lewat sebuah pertanyaan tadi.

2. Landasan Teoritik.
Walhasil, peneliti memilih kajian stuktural dinamik (yang menggabungkan analisis struktural dengan kajian semiotik) beserta stukturalisme genetiknya Goldman sebagai landasan teoritik upaya pengkajiannya terhadap roman besar, sukses, dan populer tersebut. Metode pengkajian strukturalisme dinamik diperkenalkan oleh Jan Mukarovsky, yang seperti dikatakan oleh peneliti: tidak percaya pada otonomi teks (karya). Sebab itu Mukarovsky melanjutkan analisis stukturalnya (terhadap karya) dengan kajian semiotik. Pendekatan struktural sendiri sudah jamak digunakan sebagai metode pengkajian karya sastra otonom-komprehensif (intern) dengan analisis formalistik sebagai bentuk paling ekstrimnya. Konsep strukturalisme ini berasal dari konsep teoritik Ferdinand de Saussure dalam mengkaji bahasa.
Konsepsi semiotik ditelurkan oleh teoritikus C. S. Pierce dari Amerika. Dalam strukturalisme Saussure sendiri sebetulnya pun telah ada konsepsi semiotik ini dengan mempergunakan istilah semantik. Untuk analisisnya terhadap “Sitti Nurbaya”, peneliti menggunakan kerangka dasar teoritik semiotik dari Umberto Eco sebab dipandang lebih (cenderung) bersifat general dan komprehensif. Eco, pertamanya, melihat karya sastra dari dua segi: sebagai sistem signifikansi dan sebuah sistem komunikasi. Sistem signifikansi adalah sistem yang memungkinkan tanda tertentu mewakili sesuatu yang lain, sementara sistem komunikasi merupakan proses pemanfaatan signifikansi itu guna mencapai tujuan-tujuan praktis. Jika sistem signifikansi menyangkut aturan-aturan, maka sistem komunikasi menyangkut proses. Sistem komunikasi karya sastra melibatkan banyak sekali faktor, seperti faktor pengarang, pembaca, dan sebagainya sehingga persoalannya menjadi sangat kompleks. Sebab kompleksites sistem komunikasi ini, dan sebab: bagaimanapun dasar dari analisa sistem komunikasi tersebut haruslah berangkat dari sistem signifikansi terlebih dahulu atau dalam bahasa lain, menjadi dasar bagi sistem komunikasi, peneliti membatasi analisisnya pada sistem signifikansi tersebut.
Berdasarkan penggolongan teori sastra yang menonjol sejak abad XX, yang terdiri atas: teori stukturalisme-formalisme, sosiologisme, estetika resepsi, dan semiotik (yang dianggap sudah menggambarkan situasi total karya sastra), peneliti menilai pengambilan pendekatan strukturalisme dinamik dan stukturalisme genetiuk sudah mencakup semuanya. Semiotik atau pendekatan strukturalisme dinamik dianggap sudah mencakup strukturalisme-formalisme, estetika resepsi, dan bahkan unsur sosilogis dalam batas-batas tertentu. Lalu untuk lebih mencakupi lagi kajian sosiologis karya, digunakanlah strukturalisme genetiknya Goldman.

3. Tata Kerja
Metode yang digunakan oleh peneliti dalam mengkaji roman tersebut, supaya bisa menghasilkan hasil yang lebih berhasil, komprehensif, berlandaskan konsepsi teoritik yang kuat, dan meyakinkan adalah metode dialekti yang dirumuskan oleh Goldman. Dalam kerangka strukturalisme genetik, metode dialektik bekerja dengan cara pemahaman bolak balik antara struktur sosial dengan teks sastra yang diteliti. Hal tersebut dapat dimulai dari mana saja, baik dari stuktur sosial maupun teks sastra. Apabila dimulai dari teks, pemahaman mengenainya akan membuahkan semacam hipotesis yang harus dicek kembali ke dalam kenyataan sosial yang sesungguhnya. Begitupun sebaliknya. Upaya tersebut akan berlangsung terus menerus sampai ditemukan koherensi total (?) stuktur teks sastra yang dianalisis.
Sebab pengkajian terhadap “Siti Nurbaya” yang akan dilakukan bukan sepenuhnya berangkat dari stukturalisme genetik, peneliti pun memodifikasi metode dialektik Goldman tersebut atas dasar hubungannya dengan pembacaan semiotik. Maka mekanisme kerja dialektik yang terjadi adalah antara teks dengan kode atau sistem sastra. Dengan upaya koherensi terus menerus seperti tadi.
Hasil dari pengkajian ini, peneliti menyusun sistematika buku kajiannya terhadap “Sitti Nurbaya” dengan landasan teori semiotik-strukturalisme genetik secara deduktif dan sekaligus induktif. Pertama, diuraikan dulu secara garis besar mengenai latar belakang kesusastraan dan sosial-kultural novel “Siti Nurbaya”, yakni masyarakat dan kebudayaan di Minangkabau. Selanjutnya, dilakukan pembacaan semiotik yang meliputi: pembacaan heuristik (hal-hal yang diacu teks dan hubungan antara unit-unit mimesis teks), lalu pembacaan semiotik. Pembacaan semiotik setelah memalui pembacaan heuristik tersebut terbagi atas: organisasi internal teks, sistem semantik teks, dan hubungan penanda dengan makna. Terakhir, peneliti baru memaparkan kajian secara strukturalisme genetik, yang bahasannya meliputi: karya dan pengarangnya, karya dan sistem hubungan pengarang-pengayom, karya dan struktur sosial zamannya. Dari semua analisis tersebut barulah diambil simpulan tentang faktor-faktor (koherensi teks karya sastra tersebut) yang membuatnya menjadi karya besar dan populer seperti yang dipaparkan sebelumnya.

4. Simpulan
Pembahasan yang dilakukan oleh peneliti, dengan metode dialektik dan landasan teoritik semiotik plus strukturalisme genetik tersebut terhadap “Siti Nurbaya”, pada akhirnya cukup berhasil mengungkap faktor-faktor semiotik maupun referensi sosio-kultural teks yang mendukung kesuksesan roman tersebut. Dalam budaya Minangkabau sendiri memang terdapat semacam konsepsi pandangan hidup sekaligus tatanan sosio kemasyarakatan yang paradoksial (di satu sisi, sekaligus) juga ada harmonisasi. Hal seperti itu juga tergambarkan dalam roman “Siti Nurbaya”. Peneliti mengungkapkan bahwa ketepatan mengekspresikan pandangan dunia masyarakatnya merupakan salah satu faktor yang menentukan kebesaran dan popularitas roman tersebut. Sementara kunci keberhasilan karya itu sendiri terdapat pada kajian semiotik yang berhasil meungkapkan konsep disharmoni (sekaligus harmonisasi juga seperti disebutkan tadi) dan kajian sosio-kulturtal yang memperlihatkan sikap demitifikasi karya terhadap nilai-nilai yang berlaku sebelumnya.

LAPORAN PEMBACAAN ATAS ANALISIS HEDDY TERHADAP “SRI SUMARAH, BAWUK, DAN PARA PRIYAYI”


1. Latar Belakang Penelitian
Berawal dari permintaan panitia pelepasan Umar Kayam sebagai guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, peneliti ‘mulai iseng mengothak-athik’ tiga karya Kayam, yakni dua buah cerita pendek, “Sri Sumarah” dan “Bawuk”, dan sebuah novel, yaitu: “Para Priyayi”. Selesai membaca, peneliti sebetulnya juga belum mendapatkan ide tentang apa yang akan ditulisnya atas itu. Secara kebetulan, peneliti mendapatkan sebuah artikel Kayam tentang proses kreatif penciptaan karya-karya sastranya dari sebuah bundle majalah Basis edisi tahun 1983. Disana peneliti mendapatkan kisah tentang kegalauan seorang Kayam atas keterlibatannya selama ini dalam proses politik Orde Baru membersihkan unsur-unsur PKI. Kayam merasa bimbang tentang siapa yang “harus” dan siapa yang “tak harus” menjadi korban atas proses politik, semacam inkuisisi, tersebut. Sebab hal itulah kemudian lahir tiga karya Kayam seperti yang disebutkan di atas.
Terkait hal ini peneliti kemudian teringat pada dua buah buku yang masing-masingnya berjudul Five Families dan La Vida. Kedua buku ini ditulis oleh seseorang bernama Oscar Lewis berdasarkan penelitian lapangan tentang individu-individu dan keluarga-keluarga di Puerto Rico. Bagi peneliti, membaca buku tersebut rasanya tak berbeda dengan membaca karya-karya sastra, meski cerita dalam buku tersebut bukan fiktif karena individu-individu dan keluarga-keluarga dalam buku Lewis tersebut betul-betul ada. Peneliti kemudian menghubungkannya dengan cerita-cerita karangan Kayam di atas. Peneliti juga mempertanyakan – berdasarkan kisah kegundahan Kayam atas sebuah proses politik seperti yang disebutkan sebelumnya tadi – kenapa kayam, dengan kapasitasnya sebagai seorang sosiolog, tidak malah melakukan penelitian ilmiah. Kenyataannya, Kayam lari ke karya fiksi. Hal ini lalu dikaitkan dengan konsep mengenai mitosnya Claude Levi-Strauss.
Dalam salah satu bukunya Strauss mengatakan bahwa kehadiran mitos dalam kehidupan manusia adalah untuk mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia. agar dapat memahami kontradiksi tersebut nalar manusia kemudian memindahkan kontradiksi-kontradiksi ini ke tataran simbolis sedemikian rupa, sehingga elemen-elemen yang kontradiktif kemudian dapat diothak-athik, dan kemudian terciptalah sistem simbol yang tertata apik dan rapik. Melalui sistem simbol semacam inilah manusia kemudian memandang, menafsirkan, dan memahami realitas empiris sehari-hari, sehingga realitasyang tampak kontradiktif, amburadul, dan tak terpahami lantas juga tampak tertata apik dan rapi, tidak mengandung kontradiksi ataupun hal-hal yang tidak masuk akal.
Maka, atas dasar kegalauan Kayam tadi dalam menuliskan dua buah cerpen dan sebuah novel tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan kajian terhadap karya-karya Kayam tersebut dengan berangkat dari pemikiran-pemikiran struktural-antroplogi Jauss. Artinya, peneliti pun memperlakukan karya Kayam tersebut sebagai sebuah mitos atau dongeng, sebagaimana pula dengan alasan yang dipaparkan tadi. Kemudian, Kayam dalam proses kreatifnya terhadap tiga karya tersebut telah menempatkan dirinya sebagai orang yang terlibat. Berbeda dengan karya-karya Kayam lain, semisal: "Orang Orang di Bloomington", yang mana Kayam hanya berposisi sebagai orang yang menceritakan dan tak terlibat di dalamnya. Jika seandainya Kayam mengambil posisi sebagai pihak di luar cerita tersebut, tentulah Kayam akan menulis sebuah paper ilmiah sesuai dengan kapasitasnya sebagai sosiolog. Lagi pula, seperti yang dirasakan peneliti ketika membaca buku Oscar Lewis seperti yang disebutkan di atas, makin memungkinkanlah memperlakukan karya Kayam ini sebagai sebuah mitos.

2. Landasan Teori
Pendekatan Strukturalisme yang dikembangkan oleh Strauss dijadikan landasan teori sekaligus model awal penelitian. Strauss telah cukup bisa dengan ampuh membuktikan model pendekatannya dalam menganalisis mitos-mitos yang terdapat pada suku-suku Indian di Amerika, meski dengan kritikan disana sini. Dengan menganggap karya-karya Kayam yang akan dianalisis juga merupakan sebuah mitos, peneliti memulai pengkajian. Sebagaimana hasil-hasil yang didapat dari pendekatan Strauss ini pada analisis terhadap mitos-mitos di Indian Amerika tersebut, peneliti juga berharap ada hasil-hasil menarik yang bisa didapat dengan menerapkannya pada karya Kayam.
3. Tata Kerja
Model analisis yang dilakukan peneliti sendiri sebetulnya tak sepenuhnya menerapkan metode Strauss. Tapi dasar sistematikanya tetap berangkat dari pendekatan yang dilakukan Strauss. Pertama peneliti mengarahkan perhatiannya terhadap bagian-bagian tertentu yang didalamnya berkaitan dengan peristiwa Gestapu 1965. Hasilnya, fokus analisis adalah pada tokoh Tun dalam "Sri Sumarah", Bawuk dalam "Bawuk", dan Harimurti atau Hari dalam "Para Priyayi" sebab tokoh inilah yang tak penuh terlibat dalam aktivitas PKI. Sekali lagi ini terkait dengan apa yang menjadi latar belakang penulisan karya, yakni tentang kegundahan Kayam tadi tentang siapa yang harus atau yang tak harus menjadi korban proses politik pembebasan PKI, maupun latar belakang dan tujuan penelitian sendiri. Selain itu, ketiga tokoh tersebut menjadi "jalur benang merah" antaraketiga karya yang akan dianalisis.
Setelah itu dilakukan proses penyusunan ceriteme-ceriteme yang ada didalamnya secara sintagmatis dan paradigmatis. Istilah ceriteme ini digunakan sendiri oleh peneliti dengan tetap merujuk pada istilah mytheme-nya Strauss. Ceriteme tersebut diberi defenisi oleh peneliti sebagai kata-kata, frase, kalimat, bagian dari alinea, atau alinea yang dapat kita tempatkan dalam relasi tertentu dengan ceriteme yang lain sehingga dia kemudian menampakkan makna tertentu. Kemudian makna-makna yang didapat berdasarkan tafsir dan analisis atas ceriteme-ceriteme tersebutlah yang menjadi tujuan penelitian ini. Peneliti mengatakan bahwa dengan pemaknaan yang didapat atas analisis dengan cara ini, bisa dijawab pertanyaan Kayam tentang siapa yang harus dan siapa yang tak harus menjadi korban peristiwa 1965 tersebut.

4. Simpulan
Hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti dengan berangkat dari metode analisis structural-antropologisnya Strauss ini akhirnya menghasilkan hal-hal sebagai berikut. Pertama dari pendeskripsian sekaligus pengklasifikasian cerita pada unit-unit ceriteme akhirnya didapatlah jawaban dari pertanyaan Kayam tentang siapa yang harus dan siapa yang tak harus menjadi korban atas peristiwa Gestapu 1965. Tokoh-tokoh Tun, Bawuk, maupun Hari adalah orang-orang yang tak sepenuhnya terlibat dalam peristiwa tersebut. Kedua, analisis berhasil mendapatkan dua jenis struktur, yakni struktur sejarah kehidupan dan stuktur segitiga tegak, yang bisa menjelaskan posisi ketiga tokoh dan mengapa mereka akhirnya bisa terkait dengan peristiwa Gestapu tersebut. Struktur-struktur inipun kemudian dihubungkan secara mimetik dan atau sosio-kultural dengan nalar orang Jawa.
Dari itu kemudian didapat hal yang ketiga, yakni bahwa pengarang ternyata terpengaruh dan dibentuk oleh latar sosio-kulturalnya, yang berupa nalar Jawa tersebut, dalam memproduksi karyanya. Dan hal terakhir yang dipaparkan peneliti adalah bagaimana proses transformasi nilai-nilai, atau nalar Jawa, tersebut kepada karya. Diperlihatkan betapa karya sangat dibentuk oleh yang diistilahkan nalar Jawa tersebut.
Berangkat dari analisis yang telah berhasil dikerjakan oleh peneliti terhadap tiga karya Kayam tersebut, dengan berlandasan teori pada strukturalisme antropologi Strauss, peneliti menyarankan bahwa teori ini ternyata tampaknya bisa juga dijadikan pisau analisis yang memadai atas karya sastra, minimal dengan kesesuaian pada model karya yang dianalisisnya. Meski metode pendekatan teoritik secara strukturalisme antropolgik sendiri sebetulnya oleh Strauss dipandang hanya tepat digunakan pada bentuk sastra dongeng dan mitos dan dianggap kurang memadai untuk menganalisis karya-karya kontemporer sebab kelebih kompleksannya, peneliti telah memperlihatkan betapa di antara karya kontemporer tersebut ada juga yang bisa dianalisis secara structural antropologis. Tentunya landasan pendekatan yang dilakukan oleh peneliti, yang mengasumsikan karya-karya Kayam yang dipilih tersebut sebagai sebuah dongeng dan atas dasar mitos, merupakan sebuah pembatasan. Minimal sementara.

UNSUR SOSIAL-PSIKOLOGIS DALAM “ATHEIS” KARYA

UNSUR SOSIAL-PSIKOLOGIS DALAM “ATHEIS” KARYA
ACHDIAT K MIHARDJA DAN “OLENKA” KARYA BUDI DARMA;
SEBUAH ANALISIS INTERTEKSTUAL
1. PENGANTAR
Karya sastra tidak lahir dari situasi kosong budaya (Teeuw, 1980: 11). Dalam kajian intertekstual, hal ini lebih dipersempit lagi dalam hal hubungan antar teks. Suatu teks itu penuh makna bukan hanya karena mempunyai struktur tertentu, suatu kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain (Dra. Rina Ratih, S.S. dalam “Pendekatan Intertekstual dalam Pengkajian Sastra”, terdapat dalam: Jabrohim (ed), 2003: 125). Jadi dalam intertekstual kita melihat bagaimana suatu teks bisa dilihat garis hubungan, dalam hal isi maupun bentuk, dengan teks lainnya. Hal ini sangat diharapkan bisa membantu pemaknaan terhadap sebuah karya sastra sebagaimana yang ditujukan dalam sebuah penelitian ilmiah ilmu sastra. Julia Kristeva (dalam Culler, 1977: 139) mengatakan bahwa karya sastra (sajak) baru bermakna penuh (lebih bermakna) setelah dihubungkan dengan karya sastra (sajak) lain karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respon (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain.
Meski defenisi tentang intertekstual lebih dipersempit lagi dengan pengandaian suatu teks merupakan hipogram dari teks transformasinya, seperti yang diajukan Kristeva, dalam analisis ini saya hanya akan menampilkan hubungan yang lebih sejajar antara Atheis dan Olenka, walau, secara faktual Atheis memang diterbitkan lebih dahulu 34 tahun sebelum Olenka. Hal ini disebabkan saya melihat hubungan antara kedua novel ini lebih menarik dikaji dengan metode perbandingan dibanding peng-hipogram-an satu teks atas teks lain. Walau sangat tentu tak tertutup kemungkinan bahwa terjadi proses transformasi satu teks atas teks lainnya, pengoposisian yang seimbang antar keduanya akan menghasilkan kajian yang lebih kaya. Itu berarti disini tak dituntut bahwa satu teks meng-hipogram-i teks lainnya secara searah, sebagaimana logika perurutan waktu hanya memungkinkan bahwa Budi Darmalah yang dalam mengarang Olenka mungkin terpengaruh Atheis, melainkan dengan teknik perbandingan ini kita hanya akan memandang hubungan wacana antar teks tanpa harus dalam kerangka latar sejarah perurutan waktu penerbitan karya. Sehingga hubungan yang bisa digali pun akan lebih luas tanpa pembatasan pada logika realitas sejarah kelahiran karya tersebut. Dan defenisi dasar tentang intertekstual, yani hubungan antar teks (isi teks, bukan dunia nyata tempat kelahiran teks), memberi ruang untuk menggunakan metode penerapan analisis seperti ini.
Sistematika penulisan berikut adalah dengan melakukan sinopsis, penggalian aspek mimetik, pemaparan latar belakang pengarang, dan refleksi sosial budaya pada masing-masing novel terlebih dahulu, baru terakhir simpulan yang akan menggabungkan bahasan atas kedua novel tersebut. Penggalian aspek mimetik adalah pemaparan tentang latar dunia nyata (termasuk dunia ide yang hadir di dunia nyata tersebut – dan defenisi ‘dunia nyata’ disini adalah terkait dengan isi teks bukan realitas kehidupan yang diluar wacana teks) yang dianggap mengambil peran utama dalam karya, sebab, seperti yang diteorikan M.H. Abrams, ada pendekatan mimetik sebagai salah satu cara mendekati (mengkaji) karya sastra. Pendekatan mimetik tersebut menganggap karya sastra sebagai tiruan alam, kehidupan, atau dunia ide. Bagian refleksi sosial budaya merupan proses penggalian karya berdasarkan unsur mimetis dan latar belakang pengarangnya yang telah terlebih dahulu dipaparkan. Dalam bagian ini karya lain juga bisa disinggung dalam posisi sebagai pembanding untuk tujuan pembahasan novel yang dibahas pada bagian tersebut. Namun pembandingan secara setara dan menyeluruh adalah pada bagian simpulan.
2. SINOPSIS NOVEL
2.1 ATHEIS
Hasan, seorang pemuda yang masih tergolong berada dan punya tingkat stratifikasi sosial yang tinggi di desa asalnya, meninggalkan kedua orang tuanya dan memulai kehidupan baru di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah. Kehidupannya sehari-hari masih berjalan normal sebagaimana dari sejak dahulu ia menjalani kehidupan hingga ia bertemu Rusli dan Kartini. Berawal dari ajakan Rusli, kawan masa kecilnya dulu yang secara tak sengaja bertemu lagi sekarang setelah lama berpisah, untuk bertamu ke rumahnya dan yang terlebih lagi ada perasaan tertentu yang menghinggapinya kala dengan Kartini, yang merupakan kawan Rusli, pertama kali berjumpa, Hasan jadi sering mampir ke tempat Rusli. Dan mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.
Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah menyangkut sisi relijiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya. Semakin sering ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan mereka, mulai semakin tak perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis akan sangat menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak berlangsung mudah. Pada awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tekadnya suatu kali untuk menyadarkan Rusli guna kembali ke jalan yang benar. Dengan semangat ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat. Rusli digambarkan sebagai sosok yang sangat cerdas dan pintar berwacana, tidak sebanding dengan Hasan yang masih sederhana wawasan maupun pola pikirnya. Hasan menyerah, ia terus menggabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus tambah terpengaruh. Sewaktu suatu saat kembali ke rumah orang tuanya di desa Wanaraja, kebetulan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia bahkan berani berteus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya. Dan tentu saja untuk itu Hasan harus membayar dengan perpisahan untuk selamanya.
Namun ditengah keterus menceburan Hasan ke dalam lingkungan Marxis, ia sebetulnya juga tak sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideologi tersebut. Keberadaan seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus ada di komunitas yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai saling lempar wacana yang ada. Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu, tak lama pula, datanglah juga masa sengsara, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar. Dan pertengkaran inipun berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya, ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah. Dalam keterlibatan ia berkecimpung di dunia pemikiran kaum “atheis”, ia masih sangat mendekap erat pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan, yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadap dengan penderitaan fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.
Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa Kartini, dalam marah, ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara Jepang yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru dan mengucap takbir, sisa-sisa relijiusitas yang terpendam dihatinya selama ini keluar juga akhirnya. Ia mati di penjara sebab dikabarkan tak sanggup menahan siksa. Kartini sangat sedih dan terpukul begitu mendengar kabar kematian Hasannya tercinta.
2.2 OLENKA
Pada suatu hari, Fanton Dummond – seorang pria yang hidup sendirian di sebuah apartemen bernama Tulip Tree di Bloomington, India, Amerika Serikat, secara kebetulan, bertemu seorang wanita, yang bernama Olenka, yang mencuri perhatiannya. Pertemuan pertama tersebut menjadi inspirasi bagi Fanton untuk mengusahakan kembali bisa bertemu Olenka, tetapi ternyata diusahakan dengan sengaja untuk bertemu, Dummond malah kehilangan jejak Olenka. Memang dia sudah memastikan bahwa Olenka juga tinggal di apartemen tersebut bersama Wayne, suami, dan Steven, anaknya, namun ia memutuskan untuk melakukan pertemuan yang dirancang untuk terlihat kebetulan saja. Dan Fanton gagal. Tetapi secara kebeulan pula, ia malah bisa bertemu dengan Olenka setelah Olenka juga dengan sengaja mengusahakannya. Singkatnya mereka saling kenal dan bahkan sampai bisa tidur berdua. Wayne tahu sebetulnya tapi cuek saja. Dummond pun saling kenal dengan Wayne. Dan ada perang terselubung di batin masing-masing mereka. Sementara hubungan Fanton dengan Olenka pun banyak diwarnai percakapan-percakapan ‘tingkat tinggi’ namun dibuat santai bahkan seperti asal saja. Memang hidup Dummond dipenuhi pula oleh pikirannya yang selalu mencoba menelusup ke jalan pikiran orang lain.
Hingga suatu hari Olenka menghilang. Wayne santai saja. Fanton kalang kabut. Namun dalam situasi itu Dummond malah jadi sering berhubungan dengan Wayne, bahkan Fanton sempat membantu Wyne dalam memberi saran pekerjaan, dan Wayne menikmati pula pekerjaan hasil saran Dummond. Tapi di dalam pikirannya, Fanton teramat sangat memusuhi Wayne begitupun sebaliknya ia membaca pikiran Wayne terhadap dirinya. Dan ditengah keanehan sikap antar keduanya ini, ia sempat meninju muka Wayne yang ternyata juga malah tersenyum saja seperti sudah memperkirakan dan memaklumi tindakan itu yang membuat Fanton Dummond semakin membenci Wayne dalam pikirannya. Olenka tiada juga berkabar, Dummond mulai melakukan pencarian mengikuti instingnya dari suatu tempat ke tempat lain dan entah kenapa, tanpa alasan yang jelas, ia hampir berhasil. Ia mendapat informasi bahwa Olenka di Chicago, dan berdasarkan pengetahuannya akan pengalaman Olenka yang memungkinkan ia sedang bergaul dengan seniman-seniman jalanan di kota tersebut, Fanton ‘menggelinding’ ke sana. Tetapi di Chicago ia juga tak betul-betul serius merencanakan mekanisme kerja dalam investigasi akan keberadaan Olenka. Dummond malah sibuk berwisata ria dengan dua perempuan, M.C. dan M.B., yang secara kebetulan pula dikenalnya. Meski masih dalam bayang-bayang akan pencarian terhadap Olenka, M.C. mulai mencuri perhatian Fanton.
Terus dalam bayang-bayang Olenka dan tanpa pertimbangan yang kuat, Dummond melamar M.C. M.C. menolak dan ternyata ia harus segera kembali ke rumahnya di Pensylvania. Fanton balik menggelinding ke Tulip Tree dan di sana telah menunggu surat dari Olenka. Olenka bercerita banyak namun tak ada jalan untuk sebuah pertemuan. Dummond juga terkenang terus pada M.C. dan membuatnya terinspirasi untuk membuat lima surat masturbasi. Ditulis untuk seseorang namun dibalas sendiri. Ditengah pikiran tentang M.C. itu, Fanton semapat dua kali menerima surat dari Olenka dan dalam membaca surat tersebut ia seperti sedang bercakap-cakap seperti biasanya dengan Olenka karena Olenka juga seperti tahu perikehidupan Dummond selama ia tinggalkan. Kemudian, secara kebetulan juga, Fanton mengetahui tentang kecelakaan pesawat yang menimpa M.C. Tanpa alasan yang jelas ia pergi mengunjungi M.C. Lalu ia pun tinggal disana. Mengulangi pinangannya, tapi kemudian Dummond malah pergi, tanpa alasan yang pasti, sebelum perkawinan jadi.
Sepergi dari tempat nona M.C. yang telah cacat itu, Fanton berencana kembali ke Tulip Tree, manatahu ada surat lagi dari Olenka selama sekian waktu Tulip Tree ditinggalkan, pikirnya. Namun, secara kebetulan, di sebuah bandara – sebelum sempat pulang kembali, Dummond membaca sebuah surat kabar yang memberinya informasi tentang keberadaan Olenka di Washington D.C. Fanton pun memutuskan menggelinding ke sana. Setiba di Washington, Dummond pun tak menyegerakan diri mencari Olenka, sempat dulu beliau main-main ke suatu tempat. Dalam keinginan yang tak begitu kuat untuk menemui Olenka, yang ia ketahui kemungkinan sedang di rawat di rumah sakit, ia mendapat informasi dari perawat rumah sakit bahwa Olenka baru saja keluar dari sana. Fanton tak segera pula mencari Olenka. Dummond merasa telah menderita nausea. Ia ingin remuk dan hilang bentuk, seperti burung phoenix yang lebur dulu di udara untuk kemudian kembali menjelma. Menjadi yang baru.
3. ASPEK MIMETIK KARYA
3.1 ATHEIS
Yang menjadi latar realitas bagi novel ini kondisi Bandung, lebih luas lagi Indonesia, dan lebih luas lagi: dunia, pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Ada latar yang berupa perkembangan pemikiran dan situasi perpolitikan saat itu, ada juga berupa pelataran tempat berupa suasana kehidupan di kota Bandung waktu itu. Kemudian pelataran lain yang tak perlu dibahas terkait fokus kajian tulisan kali ini ada juga bisa kita sebut berupa keadaan daerah Garut atau bagaimana cara berpakaian orang dan permainan anak-anak tempo doeloe.
Pada masa-masa penjajahan Jepang, arus pemikiran barat yang telah mulai merasuk sejak zaman kesusastraan pujangga baru, semakin mengakrab di kalangan cendikia-cendikia bangsa. Salah satu yang beroleh tempat itu adalah ideologi marxis yang dilahirkan sebagai sebuah konsep pemikiran untuk melawan ketidak adilan cara hidup masyarakat kapitalis oleh seorang Jerman bernama Karl Marx dan kemudian ternyata dipraktekkan dengan sangat kejam lewat tangan besi Lenin setelah melalui formula komunisme dari Lenin. Di Indonesia, gerakan komunis, yang bercampur pengertian dengan ideologi marxis, mengawali gebrakan-nya lewat pemberontakan Madiun 1948. Bisa dipahami bahwa pada masa-masa penjajahan Jepang, sebagaimana pula cerita novel Atheis ini, merupakan gerakan-gerakan awal dari komunitas mereka yang masih berupa aksi kecil-kecil dan forum-forum tukar pikiran demi membina kemapanan pemahaman ideologi.
Pada masa-masa itu juga paham keagamaan tradisional masyarakat kala itu mulai berhadapan dengan gaya hidup barat yang sangat terbatas dikenalkan oleh Belanda dan ideologi komunis yang, sebaliknya, sangat merakyat disebarkan oleh pemikir-pemikir muda. Namun sejarah membuktikan bahwa kemudian komunis dihancurkan, seperti, untuk selama-lamanya dari tanah pertiwi tercinta yang masyarakatnya, katanya sih, patuh taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, berujung di peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Namun sepertinya berpangkal lagi sejak era reformasi dan tumbangnya rezim orde baru dengan bentuk yang masih malu-malu kucing lewat usungan ideologi sosialis-nya saja. Ya, tentu. TNI kita masih akan dengan sangat kuat menjaga pancasila dan dengan sangat hebat pula mempertahankan penguasa.
Tentunya ragam pemikiran yang berkembang sangat lebih variatif dewasa ini. Pada sekira tahun 40-an dulu bisa dilihat betapa akan masih sangat keras benturan yang terjadi antara pemahaman keagamaan tradisional muslim, yang menjadi mayoritas minor di negeri yang kaya ini, juga latar belakang keterdidikkan masyarakat masa itu terhadap arus pemikiran marxis yang seperti nggak neko-neko dan amat sadis. Namun yang lebih megemuka masa itu adalah wacana nasionalisme kemerdekaan Indonesia, dan pertentangan tak ada ujung antara kaum relijius bangsa dengan kaum komunis pun dibungkus aman dalam ikatan nasionalisme kebangsaan.Suasana kehidupan di kota Bandung waktu itupun terkait erat dengan suasana umum pergolakan perjuangan bangsa. Modernitas mendapat tempat di kota-kota, dibawa Belanda, namun kondisi perang memang tak ada yang nyaman dimana-mana juga. Tapi tentu saja sebagian aktifitas harian masyarakat biasa terus berlanjut di tengah-tengah situasi tersebut. Termasuk sarana hiburan grup-grup sandiwara yang katanya pada masa itulah mengalami masa-masa keemasannya.
3.2 OLENKA
Untuk novel ini, sebagai karya pengarang Indonesia dan berlatar Amerika – terkait dengan ciri-ciri perikehidupan masing-masing keduanya, saya akan membagi unsur mimetik utama karya ini pada dua hal: latar tempat, perihidup, dan jalan pikir manusia Amerika (barat) dan kedua, ciri ke-Indonesia-an pada novel tersebut.
Amerika Serikat adalah perlambang kebebasan bagi dunia barat. Sebagai sebuah negara, sejarah mereka dimulai oleh kedatangan para perantau dari bumi Inggris Raya yang tak mau tunduk pada kemapanan aturan hidup, baik oleh negara maupun gereja, yang ada di tanah asal mereka. Sekumpulan koboi-koboi liar, begitulah gambaran tentang karakter manusia-manusia yang anak cucunya nanti akan membikin negara tersebut begitu ber-Adi kuasa. Selain ada juga unsur ras lain yang minoritas seperti negro, latin, dan asia di sana, termasuk kaum Indian sebagai penduduk aslinya. Dan setelah Perang Dunia II terlihatlah kebesaran the Amerika. Sebagai negara modern yang besar, disanalah tempat berbiaknya pertumbuhan pemikiran hingga perikehidupan modern. Gaya hidup makhluk modern yang diidentifikasikan sebagai individual, hasil oposisi dari ciri kehidupan tradisional yang lebih terikat dalam hubungan kesatuan sosial, pun dicapkan pada kehidupan ala Amerika. Pun, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan dan kemapanan ekonomi dan kemajemukan berpikir, jadi ciri tempat itu pula. Dalam novel Olenka, secara eksplisit dimasukkan realitas sejarah pada tempat-tempat latar novel tersebut yang bersetting sekira akhir tahun 70-an. Alhasil beberapa kejadian aktual waktu itupun dijumpai dalam novel ini, semisal berita yang sedang hangat waktu itu, dan hal ini bisa diujikan pada kejadian sebenarnya. Hal ini semakin mengukuhkan kehadiran kehidupan ala Amerika dalam novel ini.
Unsur kedua adalah mengenai unsur ala Indonesia sebagai tanah kelahiran pengarang novel ini, lebih sempitnya lagi adalah bagian filosofi Jawa sebagai ras pengarangnya. Dibanding living style of Americans, cara hidup dan olah pikir orang Indonesia masih cukup terhubung dengan perihidup masyarakat tradisional. Dalam menjelang kemodernannya, unsur-unsur yang bersifat metafisis dan relijiusitas adalah masih kuat posisinya, setidaknya jika dibanding, sekali lagi, living style of Americans. Unsur-unsur metafisis yang masih cukup kuat inilah yang membuat makhluk Indonesia tak (mau) jatuh dalam materialistis sempurna sebagai tujuan hidup manusia modern harapan Barat sana. Jika dalam relasi sosial di Amerika (dan Barat) menyerahkan sepenuhnya segala perhitungan untung rugi pada logika dan kebutuhan dunia (dengan memisahkan dulu pembicaraan tentang relijiusitas yang tentu juga ada di sana karena bagaimanapun sistem sekuleritas membungkusnya), di Indonesia relasi sosial masih sangat kuat dipengaruhi petuah-petuah lama dan tentu, katanya, petunjuk agama.
4. LATAR BELAKANG PENGARANG
4.1 ATHEIS
Achdiat K. Mihardja dilahirkan di Cibatu, Garut, Jawa Barat pada 6 Maret 1911. Pendidikan formalnya adalah AMS Solo bagian A dan Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia (1948 – 1950). Beliau pernah bekerja sebagai: guru Taman Siswa, Redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1959 – 1961) dan sejak 1961, hingga sekarang, menjadi dosen Kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra. Beliau juga pernah menjadi redaktur harian Bintang Timur dan beberapa majalah, antara lain: Gelombang Zaman (Garut), Pujangga Baru, dan Konfrontasi. Beliau juga aktif di berbagai organisasi, antaranya: Wakil Ketua Organisasi Pengarang Indonesia, anggota BMKN, anggota Partai Sosialis Indonesia. Pernah juga beliau menjadi wakil Indonesia dalam Konggres PEN Club Internasional di Lausanne, Swiss (1951). Novelnya Atheis sendiri, yang diterbitkan tahun 1949, mendapat Hadiah Tahunan Pemerintah RI tahun 1969. Kemudian kumpulan cerpennya, Keretakan dan Ketegangan (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN TAHUN 1957. Karya-karyanya yang lain adalah: Bentrokan dalam Asrama (drama, 1952), Kesan dan Kenangan (kumpulan cerpen, 1960), Debu Cinta Bertebaran (novel, 1973), Belitan Nasib (kumpulan cerpen, 1975), Pembunuh dan Anjing Hitam (kumpulan cerpen, 1975), dan sebagai editor dalam Polemik Kebudayaan (1948). Beliau juga pernah menerjemahkan Religi Susila karangan M.K.Gandhi ke bahasa Indonesia pada tahun 1950. Novel Atheis-nya ini diterjemahkan oleh R.J.Maguire ke bahasa Inggris (st.Lucia, Queensland, 1972). Boen S. Oemarjati pernah melakukan studi terhadap roman Atheis ini dengan buku yang berjudul: Roman Atheis, Sebuah Pembicaraan (1962). Setelah lama tak muncul di mata publik Indonesia, baru-baru ini ia muncul dalam rubrik tokoh Harian Umum KOMPAS pada suatu hari minggu di bulan Desember 2004. Kebetulan saat itu beliau sedang berkunjung kembali ke tanah airnya tercinta: Indonesia Raya, setelah lama berdiam di Australia. Pada harian tersebut beliau mengungkapkan rencana untuk menerbitkan sebuah karya baru, yang penuh perenungan teologis-filosofis, di usia sangat sepuhnya ini.
4.2 OLENKA
Budi Darma, pria jawa tulen kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937 ini dikenal sebagai pembawa corak baru dalam penulisan cerpen pada tahun 1970-an, bersama penulis-penulis inkonvensional lainnya seperti Putu Wijaya, Danarto, dan Iwan Simatupang. Ia menyelesaikan studi program S1-nya di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada pada tahun 1963. Beliau juga pernah memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat dari tahun 1970 samapai 1971. Kemudian ia meraih MA dari Universitas Indiana, Bloomington, AS (1976) dan menyelesaikan disertasinya juga dari universitas yang sama. Perikehidupannya selama di Bloomington ini pulalah yang melatari lahirnya Olenka (diterbitkan untuk pertama kali tahun 1973), juga kumpulan cerpennya; Orang Orang Bloomington pada waktu yang hampir sama. Diceritakan bahwa ia menyelesaikan novelnya ini justru ditengah-tengah masa penggarapan kumpulan cerpennya itu. Karya-karyanya yang lain adalah: Kritikus Adinan (kumpulan cerpen), Rafillus (novel, 1989) dan Ny. Talis juga novel pada tahun 1996. Pada novel yang terakhir ini sebagian pengamat sastra menilai kualitas kesastraan Budi justru pula malah menurun dibanding karya-karyanya sebelumnya. Tapi ‘greget’ Darma tetap terlihat hingga tahun-tahun belakangan, walau tak sering, lewat cerpen-cerpennya yang umumnya dimuat di Harian KOMPAS dan sering terpilih jadi karya pilihan yang dibukukan. Terakhir berhembus kabar burung bahwa beliau juga sedang mau menyelesaikan sebuah novel teranyar, yang tentu saja cukup dinantikan dengan harap-harap cemas oleh para pecinta sastra bermutu. Selain karya berupa fiksi Budi juga menerbitkan dua kumpulan ‘esei’ yang masing-masingnya bertitelkan Harmonium dan Solilokui. Pada karya-karyanya ini, Darma pun unjuk gigi dengan kapasitas intelektual keakademisannya. Sehari-hari Budi Darma mengisi dengan menjadi pengajar tetap pada IKIP (atau sekarang bernama Universitas Negeri) Surabaya. Sempat juga beliau menjabat sebagai dekan disana. Selain itu tentu beliau juga mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan ilmiah baik di dalam maupun luar negeri, seperti suatu seminar di India yang menghasilkan pula sebuah cerpen bermutu berjudul Derabat yang tentu juga terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan KOMPAS. Kemudian beliau juga terlibat sebagai anggota pleno Dewan Kesenian Surabaya dan juga terlibat dalam Dewan Kesenian Jakarta sebagai dewan fatwa khasanah kesustraan Indonesia. Salah satu berita terhangat adalah keterlibatan beliau sebagai dewan juri dalam Lomba Penulisan Roman DKJ yang hasilnya banyak menuai kritik disana-sini. Filosofi hidup yang mengalir seperti air, mengikut guratan takdir, pernah diungkapkan oleh Budi Darma ketika diwawancara KOMPAS tentang prinsip kesusastraanya, prinsip kehidupannya.
5. REFLEKSI SOSIAL BUDAYA DAN POSISI PENGARANG
5.1 ATHEIS
Pengarang dalam novel ini ditempatkan sebagai orang ketiga yang berhubungan langsung dengan tokoh Hasan sebagai tokoh utama. Maka Hasan pun menjadi pencerita dalam sebagian besar cerita lalu setelah kematiannya pengaranglah yang meneruskan dengan cara menelusuri berbagai cerita tentang kehidupan Hasan yang tak sempat diketahuinya. Sebagai, secara real, pengarang juga tinggal ditempat yang sama dengan latar cerita, berasal dari tempat yang sama dengan tokoh utama cerita, dan juga punya latar belakang pergelutan ideologi seperti tokoh yang diceritakannya, bisa dipahamai betapa sangat tidak berjarak cerita dalam novel ini dari kehidupan pengarangnya sendiri. Novel ini menggambarkan situasi sosial (dalam) pada masa itu (sehingga ia juga berupa rekaman sejarah dalam beberapa hal), dan memperlihat suatu kondisi psikologis yang ada pada sebuah individu yang hidip pada masa itu. Diceritakan dalam novel bagaimana tokoh Hasan menderita beban pikiran sebab ia mulai dirasuki pemikiran marxis yang bertentangan dengan keyakinan tradisionalnya selama ini. Juga kemudian bagaimana ia harus pula mewujudkan semai-semai bunga cintanya pada Kartini yang membuat ia memaksakan diri untuk tetap bergabung dalam komunitas tersebut. Lalu, ternyata mendapatkan Kartini pun tak membuat happy ending bagi kisah Hasan. Sebagai makhluk yang ternyata tetap tak bisa menghilangkan cara pikir konservatifnya, Hasan berpisah dengan Kartini. Namun, belum berpisah dengan ke-marxis-annya.
Situasi seperti ini menggambarkan pula bagaimana salah satu episode kemelut hidup yang mungkin dihadapi oleh seorang anak bangsa pada masa itu. Sejarah menceritakan bagaimana marxis dihabisi di ini bumi pertiwi dan perikehidupan orde baru tak memberi tempat bagi kekalahan cara pikir tradisional seperti yang terjadi dalam novel ini. Akhir hidup tragis yang dialami oleh tokoh Hasan barangkali dijadikan suatu alasan bagi otoritas ideologi dewasa ini untuk tetap memublikasi karya ini, sebagai peringatan bukan teladan. Dan ideologi marxis tetap jadi masalah hingga dewasa ini bagi pandangan hidup tradisional masyarakat Indonesia yang malah berusaha menuju sistem hidup kapitalis (dan malahan lagi, itupun dalam posisi konsumen dan pengutang sentosa). Sesuatu yang sudah dibicarakan dengan cukup berani dalam novel yang lahir lebih dari 54 tahun silam ini.
5.2 OLENKA
Novel ini ditulis oleh Budi Darma sewaktu ia melanjutkan pendidikannya ke Amerika dan hidup selama beberapa lama di sana. Novel ini memang berbicara tentang hidup di Amerika. Namun, jika harus dikhususkan kepada pangsa pasar masyarakat Indonesia dan kehidupannya, novel ini seperti juga memberi pelajaran. Secara eksplisit, kita bisa melihat unsur ke-Indonesia-an dalam novel ini terdapat dalam hal-hal seperti: penggunaan sapaan dan makian jawa timuran dalam beberapa bagian, pengutipan sajak-sajak Chairil Anwar, hingga pengutipan ayat-ayat Al-Quran. Tapi, sebagai sebuah fiksi, bukan hal tersebutlah yang utama (atau barangkali memang bukan sama sekali) untuk memeriksa unsur ‘manusia Indonesia’ di negeri Barat sana. Pengambilan setingan latar Barat bagi fiksi ini adalah sebuah perefleksian bagi bangsa kita yang barangkali berencana untuk di masa depan bisa seperti Barat sana. Novel ini seperti memberi pelajaran tentang bagaimana kekeringan ruhaniah yang diderita manusia-manusia individual di Barat sana. Sebagai sebuah novel yang oleh Tirto Suwondo dianggap mengandung tipikal jenis polifonik – sebagaimana identifikasi studi dialogis Mikail Bakhtin , maka novel ini memang penuh dengan peristiwa peng-katarsis-an seorang individu atas dirinya, bercermin akan diri sendiri, kira-kira begitulah bahasa yang lebih populernya. Untuk proses katarsis ini pengarang perlu membuat tokohnya menjadi majemuk dan toleran dalam melihat berbagai persilangan arus pemikiran, mencerna dalam segala logikanya agar tak begitu saja percaya atau menentang sesuatu.
Menariknya kemudian, dengan segala ke-absurdan-nya, cerita selalu mengambangkan berbagai persoalan yang seperti didesak mencari penyelesaian. Pertama bisa disebabkan oleh tuntutan hidup ala barat yang butuh segera memutuskan dan harus menyenangkan. Kedua, disini muncul unsur cara pikir timur yang relijius, karena manusia itu serba terbatas maka ia pun akhirnya hanya bisa menyerahkan pada takdir. Secara eksplisit ini tercantum pada akhir cerita. Dalam hal ini barangkali bisa dinilai ada keberpihakkan pada orang timur punya nilai-nilai, namun tetap dalam berbagai bagian kesempitan cara pandang yang masih tradisional di-tidak sarankan lewat berbagai eksploitasi cara pikir modern. Dan terakhir, sekali lagi, kemualan terhadap diri sendiri ‘nausea’ merupakan peringatan bagi keinginan untuk membarat (hal yang negatif dari barat) –nya manusia Indonesia. Sekali lagi, seperti yang dieksplisitkan pada akhir cerita oleh novel ini.
6. SIMPULAN: UNSUR SOSIAL-PSIKOLOGIS DALAM KEDUA KARYA
Sesuai dengan tujuan tulisan ini yang membatasi analisis pada pembandingan setara unsur sosial dan psikologis yang terdapat dalam kedua karya ini, sekarang akan kita lihat hubungan antar keduanya. Secara tematik Atheis bertemakan kegundahan spritual manusia, sementara Olenka sendiri berdasarkan pengaluran peristiwa cerita bisa kita anggap bertemakan petualangan cinta. Tapi, dari unsur psikologi tokoh dan konflik sosial yang dihadapi oleh tokoh utamanya, bisa ditemukan persamaan sekaligus pertentangan yang bisa dihubungkan antar keduanya. Dalam Atheis tokoh Hasan mengalami tekanan psikologi karena ketak sanggupannya menerima cara pikir baru yang dihadapinya, sementara ia terus memaksakan diri terlibat karena debaran asmara yang menuntun nalurinya. Dalam Olenka, tokoh utamanya Fanton Dummond pun juga mengalami keguncangan psikologis yang lebih dikonkritkan dengan nama penyakit nausea. Dan seperti Atheis yang mana tokoh utamanya meyiksa diri demi cinta, Olenka pun memiliki pola yang sama. Sebagai akibat memburu Olenka, Fanton Dummond yang selama ini cuek bebek menikmati gaya hidup individual dan materialistis sehari-harinya, akhirnya jadi banyak mengambil ‘hikmah’ dan pelajaran bagi kehidupannya hingga ia pun mengalami nausea, rasa mual pada diri sendiri. Pola berkebalikan dapat kita lihat dalam penyelesaian akhir bagi kedua permasalahan kedua tokoh dalam kedua novel ini. Tokoh Hasan, sepertinya, memutuskan kembali ke keyakinan lamanya, sedang Fanton Dummond, sepertinya pula, memutuskan untuk mencari ‘hidup’ baru sebagai pengganti kehidupannya yang memuakkan selama ini.
Dalam Olenka, Fanton Dummond digambarkan sebagai subjek individual yang tetap mengambil jarak dari sekitarnya, sementara tokoh Hasan adalah sosok yang selama ini kurang gaul dan dibikin menjadi sosok yang punya pergaulan. Namun, kedua tokoh ini sama mengalami keterasingan diri dari lingkungannya. Hasan meski secara fisik bergaul dengan kawan-kawannya di lingkungan marxis namun ditempatkan sebagai subjek pasif yang tak mampu berbuat banyak menghadapi berbagai wacana yang ada di lingkungannya itu, malah ini membuatnya menderita. Tapi, ada pertentangan juga bisa kita lihat jika membandingkan kedua novel ini. Fanton Dummond sebagai sugjek yang asosial pikiran-pikiran menerabas jauh menembus berbagai perasaan dan yang terpikir oleh orang-orang disekelilingnya sementara Hasan, meski fisiknya berakrab-ria dengan orang-orang di sekelilingnya, pikirannya tak sanggup terlibat dan terasing sendirian, lalu mencuba mengalihkan beban pikiran kepada bayangan Kartini tercinta.
Atheis ditulis Akhdiat masih sekian tahun sebelum keberangkatan selama-lamanya ke Australia, sedangkan Olenka ditulis Budi Darma dalam sekian waktu keberadaannya di luar negeri, Amerika sana. Atheis, dengan latar tempat negeri sendiri memperlihatkan bagaimana pikiran-pikiran luar meyerbu anak bangsa, Olenka sebaliknya memperlihatkan bagaimana orang luar mengalami frustasi atas cara hidupnya dan relijiusitas timur serta kolektifitas masyarakatnya sepertinya merupakan sebuah solusi. Itulah beberapa hal terkait hal diluar teks yang memperlihatkan hubungan perbandingan menarik antar kedua novel ini. Bagaimanapun, sebagai sebuah simpulan, tekanan psikologis yang dihadapi seorang individu di tengah-tengah kehidupan sosialnya merupakan wacana yang sama-sama diangkat oleh kedua novel ini dan sepertinya mengajak kita, pembaca, untuk juga memikirkannya. Demikianlah hubungan intertekstual yang bisa saya kupas antara dua novel tersebut dan bagaimana posisi dan efek sosiologis masing-masing karya dalam tulisan kali ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.Darma, Budi. 2000. Olenka. Jakarta: Balai Pustaka
2.Mihardja, Achdiat K.. 2000. Atheis. Jakarta: Balai Pustaka
3.Eneste, Pamusuk (ed). 1981. Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
4.Suwondo, Tirto. 2003. Sstudi Sastra ; Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
5.Ratih, Rina. 2003. “Pendekatan Intertekstual Dalam Karya Sastra” dalam Metodologi Penelitian Sastra, Jabrohim (ed.), hal. 125-133. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.