Saturday, June 04, 2005

upku yang kedua (sebelum di revisi)


BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra itu apa sih? Begitulah pertanyaan (retoris?) penyair Soni Farid Maulana dalam sebuah tulisan rutinnya pada suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat (edisi 19 Maret 2005). Kata-kata tersebut berawal dari pembicaraan mengenai booming chicklit yang tengah menjadi sebuah fenomena. Berbagai forum diskusi saat itu marak digelar untuk membicarakan posisi salah satu jenis fiksi ini dalam kaca mata kritik sastra. Di sisi lain, dalam tulisan yang sama, Soni juga menyinggung pernyataan seorang pengamat sastra bahwa tak ada puisi yang bisa ditemuinya saat ini di berbagai media masa. Kalaupun ada, kata pengamat sastra tadi, itu hanyalah berjenis puisi suasana (yakni hanya puisi-puisi dari Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad) yang, itupun, inferior (rendah diri) terhadap puisi-puisi asing. Hal-hal tersebutlah yang membuat Soni bertanya-tanya tentang “apa itu puisi?” dan (lalu) “sastra itu apa?”. Bahkan pengutipan pernyataan pengamat sastra tadi masih diulang Soni dalam rubrik yang sama di edisi yang berbeda.
Pertanyaan-pertanyaan Soni di atas menunjukkan betapa selalu hangatnya perdebatan dalam dunia kritik dan, hingga, teori sastra. Pembaharuan estetika seni oleh Pujangga Baru, Angkatan 45, sastrawan-sastrawan Lekra (serta resistensi kaum Manifest Kebudayaan, hingga peristiwa “Heboh Sastra” dan Pengadilan Puisi di Bandung pada tahun 1974, atau juga soal Kritik Sastra. Ganzheit dan Sastra Kontekstual, menunjukkan sejarah perdebatan panjang dalam khasanah kesusastraan di Indonesia. Yang masih sangat hangat hingga dewasa ini bisa dilihat paada perdebatan mengenai eksistensi puisi-puisi di berbagai media massa, seperti yang tersinyalir di atas tadi. Puisi-puisi penyair kontemporer dewasa ini dianggap belum (atau bahkan tidak) ada apa-apanya dibanding karya-karya penyair mapan (di masa lalu?). Bahkan Ahmadun Y. Herfanda (redaktur rubrik sastra Republika) pernah memberi label “sampah” pada media-media sastra di internet, seperti yang sering dikutip dalam berbagai diskusi sastra saat ini. Ini juga mengingatkan pada bagaimana pandangan Sutan Takdir Alisjahbana terhadap “pemberontakan puitik” Chairil Anwar atau bagaimana Putu A.T. Wirya dan S. Suharianto menyesalkan pemuatan (oleh media massa) puisi-puisi Sutardji C. Bachri yang, oleh mereka, disebut “kentut”, sebelum puisi-puisi tersebut sangat diakui mutunya seperti saat ini.
Maka cukup menarik untuk melihat pembicaraan tentang sastra di media massa ini. Seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum, media massa dianggap sebuah jalan bagi penyair-penyair dan prosais-prosais muda guna “mengiklankan kesastrawanannya”. Bahkan di kalangan para pengamat sastra telah muncul istilah “sastra koran” yang bahkan sering diungkapkan sebagai sebuah genre sastra baru. Terlepas dulu dari perdebatan soal mutunya seperti yang dipaparkan tadi, tak salah kiranya jika dilakukan penelisikan lebih jauh tentang ”genre sastra baru” ini. Apalagi dikaitkan dengan pelajaran (dari) sejarah bahwa media massa yang semula “tak dianggap” tersebut ternyata mampu menghasilkan wajah-wajah baru yang bisa mapan nantinya, atau dikaitkan dengan keinginan untuk lebih memperterang lagi segala perdebatan tentang mutu dan eksistensi sastra koran atau media massa tersebut. Kembali ke soal fenomena chicklit (dan juga) teenlit di atas, bisa dilihat posisi yang sama jenis “sastra” ini dengan sastra media massa berhadapan dengan perdebatan kritik sastra (yang berangkat dari, dan sekaligus, dalam rangka menyusun teori kesusastraan). Penyair dan esais Ahda Imran dalam artikelnya mengenai fenomena chicklit dan teenlit ini juga (yang dimuat di harian dan edisi yang sama dengan tulisan Soni di atas tadi), pernah mengutip pertanyaan penyair-kritikus Acep Iwan Saidi, akademisi Aquarini P. Prabosmoro, dan cerpenis-kritikus Joni Ariadinata: siapa sih yang memberi hak pada seseorang atau sebuah lembaga untuk menentukan itu bukan karya sastra dan ini karya sastra? Perdebatanpun terus memanjang.
Sejarah sastra di media massa pernah mengalami masa keemasan pada sekitar tahun `50-an. Di tahun `80-an juga ada fenomena munculnya berbagai majalah yang mengusung jenis fiksi populer dan umumnya bertitel feminisme. Di saat sekarang ini muncul pula istilah sastra koran hingga sastra cyber. Bersamaan dengan penerbitan-penerbitan karya sastra dari pengarang-pengarang yang telah cukup diakui, karya-karya sastra dengan perantara media massapun ikut mengemuka. Karya-karya tersebutpun tak pelak ikut mewarnai segala diskusi sastra, mewarnai kritik sastra, yang kesemua berujung pada bagaimana mendefenisikan sastra, bagaimana membentuk teori sastra.
Sastra koran, sebagai bagian dari sastra di media massa tersebut, pada akhirnya membentuk ciri tersendiri pula. Para kritikus, berbagai forum diskusi, mulai membicarakan tentang karakteristik “genre sastra koran ini”. Salah satunya bisa dilihat pada tulisan jurnalis dan cerpenis Budiarto Danujaya dalam eseinya di buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2000. Seperti bicaraan berbagai pengamat lainnya, Budiarto juga memaparkan tentang bagaimana tipikal jenis sastra koran ini (konteks pembicaraannya khusus tentang cerpen) sangat akrab dengan realitas dan fakta teraktual yang digarap oleh koran sebagai sebuah media pemberitaan harian. Budiarto pun melihat sejumlah permasalahan dalam mengukur mutu sastra koran ini berkenaan dengan distansi dan diferensiasinya terhadap artikel berita. Menarik mengamati pembicaraan tentang ini jika selanjutnya dikaitkan dengan wacana tentang pembedaan fiksi dan non-fiksi dalam kritik dan teori kesustraan. Selanjutnya juga terkait dengan diskusi tentang mutu sebuah karya sastra serta segala macam kategorisasi dan defenisinya yang, lagi-lagi, berujung pada (seperti) pertanyaan Soni di awal tadi: karya sastra itu apa sih? Maka, sekali lagi, menarik dan cukup penting (!) untuk meneliti jenis sastra yang seperti itu.
Suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat merupakan salah satu wadah bagi karya-karya dengan media yang berupa media massa tersebut. Ada dua alasan untuk menjadikan karya-karya dalam suplemen tersebut sebagai objek penelitian. Pertama, posisi harian tersebut yang berbasis lokasi (baik secara geografis maupum sosial-budaya) yang sama dengan institusi tempat pengerjaan penelitian ini. Sebab itu, penting kiranya dilakukan penelitian, sekaligus dalam rangka apresiasi terhadap suplemen tersebut. Alasan kedua adalah pembicaraan mengenai posisi harian ini sendiri di tengah-tengah media sejenis lainnya dalam wacana kesusastraan di Indonesia. Sebagai media yang berbasis lokal (daerah) wajar kiranya jika prestise media kesusastraan dalam suplemen harian ini dianggap bukanlah di atas rubrik-rubrik susastra harian nasional lainnya yang memang berpusat di ibukota (yang sekaligus menjadi lambang bagi pusat kebudayaan nasional tentunya). Akan tetapi, fakta posisi geografis daerah basis harian ini (yang secara logis juga bisa dianggap memberi efek di bidang sosial-budaya hingga kesusastraan) bisa menjadi sebuah pertimbangan jika dibandingkan dengan media kesusastraan harian-harian daerah lainnya yang lebih “berjarak” dengan “pusat”. Apalagi jika harus dibandingkan dengan harian lain, berbasis pusat sekalipun yang tidak meyediakan ruang bagi bidang kesusastraan. Hal ini juga perlu ditambahkan dengan fakta bahwa ruang kesusastraan tersebut, dalam harian ini, diukur secara kuantitas halaman (secara tak tetap, sebab rubrik kesusastraan biasanya bercampur dengan bidang-bidang lain dalam kebudayaan), bahkan, bisa melebihi harian-harian berbasis pusat tersebut.
Jakob Sumardjo dalam sebuah artikelnya (Pikiran Rakyat, edisi 26 Juni 2003) pernah menyinggung betapa penting keberadaan suplemen “Khazanah” dalam peta kesusastraan di Indonesia. Ketika harian-harian lain mulai menyisihkan jenis ruang budaya seperti ini, harian ini tetap konsisten mempertahankannya (ruang budaya tersebut baru dinamakan “Khazanah” beberapa tahun berikutnya) sejak 1974, demikian Jakob memaparkan pengamatannya. Bahkan Jakob menyebut suplemen “Khazanah” sebagai satu-satunya ”majalah budaya” yang subversif di tengah-tengah kekosongan majalah kebudayaan. Jakob juga meyakinkan betapa tulisan-tulisan bermutu dan perdebatan-perdebatan budaya sering muncul di suplemen ini.
Berkaitan dengan fenomena “sastra koran” tadi, serta kaitannya dengan bidang keilmuan susastra, pentinglah kiranya dilakukan sebuah penelitian terhadap karya-karya sastra dalam suplemen budaya tersebut. Penelitian kali ini memang tak akan secara komprehensif mampu memikul segala permasalahan seperti yang diungkap sebelumnya tadi. Pertama, penelitian ini secara terbatas hanya akan meneliti salah satu saja dari produksi berlimpah jenis sastra koran tersebut dan inipun dibatasi lagi hanya pada satu periode tertentu. Kedua, pendekatan teoritik yang akan digunakan difokuskan pada aspek stilistik, baik dalam pengertiannya sebagai salah satu unsur pembangun struktur sebuah karya sastra maupun sebagai salah metode pendekatan dalam penelitian sastra.
Studi stilistika ini kiranya cukup tepat untuk digunakan dalam rangka mencoba mengurai segala permasalahan dan problematika dalam studi sastra seperti yang tergambar tadi. Dengan studi stilistika, bisa coba diuraikan ciri-ciri kesusastraan pada sastra media massa tersebut hingga bisa digunakan uintuk mengukur dan mendefinisikan nilai kesastraannya. Terkait dengan pembatasan objek penelitian serta periodesasinya, bisa juga menjadi sebuah gambaran bagi studi selanjutnya dalam kerangka teori pragmatik dan sosiologi karya.
Bahasa sebagai media komunikasi karya sastra, serta variasi pemakaiannya sebagai telisikan stilistika, membuat setiap analisis karya sastra tak pernah lepas dari aspek stilistik ini. Setiap esei pengantar pada berbagai buku-buku karya sastra hampir tak bisa melepaskan paparannya dari gaya kebahasaan pengarang. Bahkan cerpenis Seno G. Ajidarma dalam sebuah artikelnya, yang membahas sosok Doyok pada sebuah rubrik di harian Pos Kota (Kompas edisi 1 November 2002), bisa sampai pada simpulan bahwa karakter Doyok sebagai “potret kelas bawah Jakarta” juga tak bisa melepaskan pendekatannya dari aspek stilistik atau analisis data terhadap gaya kebahasaan sosok Doyok tersebut. Atau ketika penyair Medy Loekito sempat menciptakan perdebatan hangat mengenai isu moral dan sisi pragmatik-edukatif karya dalam karangan-karangan erotis beberapa pengarang perempuan dewasa ini, ia juga banyak berangkat dari analisi terhadap unsur stilistik karya. Ini sekedar meyebut beberapa contoh.
Soehanda Iskandar dalam artikelnya yang berjudul “Aspek Aspek Budaya Dalam Komunikasi Bahasa” (Pikiran Rakyat edisi 7 Mei 2005) memaparkan betapa pentingnya analisis dari sudut kebahasaan. Bahasa menunjukkan pandangan dan cara pikir masyarakatnya, demikian kira-kira Soehanda mengutip pemikiran Wilhelm von. Humboldt. Dalam konteks kesusastraan, bisa dilihat juga uraian panjang lebar Maman S. Mahayana dengan sebuah artikel yang berjudul “Pantun sebagai Representasi Kebudayaan Melayu” (Horison, edisi April 2005). Maman membuahkan sebuah hipotesis bahwa dengan mempelajari pantun, akan terbentang pemahaman tentang jagat kebudayaan Melayu. Analisis yang berbuah hipotesis ini juga tak lepas dari kajian terhadap ciri-ciri atau gaya kebahasaan. Atau, juga bisa dilihat pandangan strukturalisme genetik Goldman mengenai hubungan antara karya sastra dan masyarakatnya. Kemudian, perlu ditambahkan juga mengenai perkembangan keilmuan dalam lingkup analisis teks media massa. Seperti yang diutarakan Eryanto dalam sebuah bukunya, terjadi perkembangan paradigma pendekatan dalam model analisis teks media massa dari tradisi positivistik dan formalistik ke model analisis wacana kritis. Dalam model analisis wacana kritis tersebut diperlihatkan bagaimana kajian terhadap karakteristik berbahasa sebuah media massa sangat berguna dalam menghasilkan analisis yang lebih komprehensif dan total terhadap teks media massa tersebut. Model analisis terkini ini juga dipengaruhi oleh berbagai pemikiran filsafat kontemporer yang dalam hubungan lain juga sangat mempengaruhi perkembangan kajian sastra.
Hal-hal tersebut menunjukkan betapa studi dari sudut kebahasaan, dan gaya kebahasaan dalam konteks studi sastra, mempunyai peran yang cukup signifikan. Walaupun penelitian berikut ini tak akan berbicara lebih jauh mengenai hubungan karya sastra dengan masyarakatnya (baik dalam pengertian penikmat maupun dalam pengertian penciptanya), setidaknya studi terbatas dari sudut stilistik ini akan bisa membantu analisis-analisis dengan fokus lainnya. Selain juga (seperti juga telah dibicarakan sebelumnya), diharapkan hasil penelitian kali ini bisa membantu perkembangan studi sastra dengan segala perdebatan dan bermacam problematikanya seperti yang, sekali lagi, terpapar sebelumnya. Untuk itulah penelitian kali ini dilakukan.

1.2 Batasan dan Identifikasi Masalah
Ada dua jenis karya sastra yang terdapat pada suplemen “Khazanah” tersebut, yakni puisi (yang dalam rubriknya diberi istilah sajak) dan cerita pendek. Dengan pertimbangan keutuhan penelitian terhadap aspek stilistik jenis sastra koran ini, penelitian akan mencakup keduanya. Seperti keterbatasan ruang yang dialami karya-karya sastra koran tersebut, keterbatasan ruang bagi skripsi ini juga membuat harus dilakukan pembatasan data. Umumnya pembatasan data dilakukan dengan teknik mengambil sampel yang dianggap sanggup mewakili. Guna menghindari persoalan validitas keterwakilan data pada sampel yang diambil, dalam penelitian kali ini akan diambil seluruh data dalam satu periode tertentu. Periode yang diambil adalah edisi sepanjang April 2005, dengan pertimbangan: waktu terdekat dengan saat dimulainya penelitian ini dan periode yang mutakhir ini cukup punya relevansi dengan berbagai problematika, seperti yang diungkap pada latar belakang masalah, yang menjadi titik tolak dilakukannya penelitian ini. Pemilihan data pada satu periode ini sekaligus juga bisa membatasi dengan jelas konteks hasil penelitian kali ini.
Sebagaimana paparan sebelumnya bahwa studi stilistika yang menjadi pendekatan dalam penelitian kali ini, maka analisis terhadap semua data akan berangkat dari aspek-aspek stilistik karya dan baru hanya akan membahas aspek stilistik karya tersebut. Hasil kajian dari sisi stilistik karya disini selanjutnya bisa menjadi bahan baik bagi studi pragmatik dan sosiologis maupun pembandingan ciri stilistik dengan objek lainnya hingga bisa membantu upaya pengkajian teoritik kesusastraan. Akhirnya, segala latar belakang penelitian, pemilihan objek penelitian, dan pemilihan pendekatan yang digunakan membuahkan identifikasi masalah sebagai berikut: seperti apakah ciri-ciri stilistik karya-karya dalam suplemen “Khazanah” tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian
Oleh karena itu, dapat dirumuskan baahwa stujuan penelitian ini adalah:
1.Memeriksa unsur-unsur stilistik pada masing-masing karya.
2.Menjabarkan penggunaan sarana estetik tersebut.
3.Merangkum ciri-ciri stilistik karya-karya dalam suplemen “Khazanah” tersebut dalam posisinya sebagai bagian dari karya sastra pada khasanah kesusastraan di Indonesia.

1.4 Metode Penelitian
Berdasarkan desain metodologi penelitian seperti yang dikemukakan Wuradji (dalam Jabrohim (ed.), 2003: 4-6), penelitian kali ini lebih tergolong sebagai content analysis. Pengertian jenis metodologi ini adalah penganalisisan dokumen untuk diketahui isi dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Jika dibandingkan dengan umumnya pendekatan lain dalam penelitian sastra, semisal struktural atau semiotik, yang tepat memiliki tujuan analisis seperti pengertian content analysis di atas, studi stilistika yang akan dilakukan kali ini memilki sedikit perbedaan model. Meski tetap akan terjadi proses analisis isi maupun proses pemaknaan dalam proses analisisnya, tetap tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa aspek stilistik dari objek yang diteliti. Oleh karena itu, hasil akhir analisisnya bukanlah isi dan makna keseluruhan dari objek yang dianalisis, melainkan serangkaian deskripsi data berdasarkan klasifikasi stilistik.

1.5 Sumber Data
Suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat terbit dalam periode mingguan. Dalam periode bulan april ini terkumpul data sebanyak 5 edisi (masing-masingnya terbit pada tanggal: 2, 9, 16, 23, dan 30 April 2005). Setiap edisi terdiri atas sebuah cerpen dan beberapa puisi, masing-masing dari seorang pengarang. Untuk keperluan sistematika penelitian, setiap puisi akan dikelompokkan menjadi satu bahasan berdasarkan edisi atau pengarangnya.
Berikut daftar seluruh karya yang akan diteliti:
Kelompok Puisi
1.Sajak-sajak Beni A Pamungkas (2 April)
a.Selamat Jalan Saudaraku
b.Di Bawah Bianglala
2.Sajak-sajak Sarabunis Mubarok (9 April)
a.Alif Minor
b.Di Musim Pancaroba
3.Sajak-sajak Usep Romli H.M. (16 April)
a.Ziarah Jerusalem
b.Malam Galilea
c.Sketsa Senja Betlehem
d.Palestina, untuk Sebuah Nama
4.Sajak-sajak Isbedy Stiawan Z.S. (23 April)
a.Beratus Kali Aku Mati
b.Awan tak Hanya Mengabarkan
c.Kususuri Masa Lalu
d.Asap dari Kuburku
e.Aku Masuki Kolammu
5.Sajak-sajak Moh. Syafari Firdaus (30 April)
a.layang-layang
b.delirium
Kelompok Cerpen
1.“Di Batas Senja” karangan Mutar Ibnu Thalab (2April)
2.“Bulan” karangan Dian Sandiana (9April)
3.“Anak Sampah” karangan Didin D. Basoeni (16April)
4.“Perempuan Senja” karangan Suhendra Juara (23 April)
5.“Laut dan Bibir yang Bertahi Lalat” karangan Aguk Irawan M.N. (30 April)



Daftar Pustaka
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Jabrohim (ed.). 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Keraf, Gorys. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yoyakarta: Hanindita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Van Luxemburg, Jan dkk.. 1991. Tentang Sastra. Terjemahan Akhadiati Ikhram. Jakarta: Intermasa.
van Zoest, Aart. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi Dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Welleck, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia.








Lampiran
DAFTAR ISI
RANCANGAN SKRIPSI
Halaman
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
1.2 Batasan dan Identifikasi masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Metode Penelitian
1.5 Sumber Data

BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Karya Sastra
2.1.1 Puisi
2.1.2 Cerita Rekaan
2.2 Studi Stilistika
2.2.1 Kajian Stilistik terhadap Puisi
2.2.2 Kajian Stilistik terhadap Cerita Rekaan
2.3 Definisi Berbagai Klasifikasi Gaya Kebahasaan dalam Studi Stilistika
BAB III ANALISIS DATA
3.1 Analisis Puisi
3.1.1 Analisis terhadap Sajak-sajak Beni A Pamungkas
3.1.2 Analisis terhadap Sajak-sajak Sarabunis Mubarok
3.1.3 Analisis terhadap Sajak-sajak Usep Romli H.M.
3.1.4 Analisis terhadap Sajak-sajak Isbedy Stiawan Z.S.
3.1.5 Analisis terhadap Sajak-sajak Moh. Syafari Firdaus
3.2 Analisis Cerpen
3.2.1 Analisis terhadap Cerpen “Di Batas Senja” karangan Mutar Ibnu Thalab
3.2.2 Analisis terhadap Cerpen “Bulan” karangan Dian Sandiana
3.2.3 Analisis terhadap Cerpen “Anak Sampah” karangan Didin D. Basoeni
3.2.4 Analisis terhadap Cerpen “Perempuan Senja” karangan Suhendra Juara
3.2.5 Analisis terhadap Cerpen “Laut dan Bibir yang Bertahi Lalat” karangan Aguk Irawan M.N.

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

upku yang kedua

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra itu apa sih? Dalam sebuah tulisan rutinnya pada suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat (edisi 19 Maret 2005), Maulana mengemukakan pertanyaan di atas. Pertanyaan tersebut berawal dari tulisannya mengenai booming chicklit dan teenlit ( sejenis sastra populer yang umumnya digemari kaum remaja) yang tengah menjadi sebuah fenomena saat itu. Berbagai forum diskusi marak digelar untuk membicarakan posisi salah satu jenis fiksi ini dalam kaca mata kritik sastra. Di sisi lain, dalam tulisan yang sama, Maulana juga menyinggung pernyataan seorang pengamat sastra bahwa tak ada puisi yang bisa ditemui saat ini di berbagai media masa. Kalaupun ada, kata pengamat sastra yang dikutipnya tersebut, itu hanyalah berjenis puisi suasana (yakni hanya puisi dari Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad) yang, itupun, inferior (rendah diri) terhadap puisi asing. Hal tersebutlah yang membuat Maulana bertanya-tanya tentang “apa itu puisi?” dan (lalu) “sastra itu apa?”. Bahkan pengutipan pernyataan pengamat sastra tadi masih diulang Maulana dalam rubrik yang sama di edisi yang berbeda.
Pertanyaan yang dikemukakan Maulana di atas menunjukkan betapa hangatnya perdebatan dalam dunia kritik dan, hingga, teori sastra. Pembaharuan estetika seni oleh Pujangga Baru, Angkatan 45, sastrawan Lekra (serta resistensi kaum Manifest Kebudayaan), hingga peristiwa “Heboh Sastra” dan Pengadilan Puisi di Bandung pada tahun 1974, atau juga soal Kritik Sastra Ganzheit dan Sastra Kontekstual, menunjukkan sejarah perdebatan panjang dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Yang masih sangat hangat hingga dewasa ini bisa dilihat pada perdebatan mengenai eksistensi puisi-puisi di berbagai media massa, seperti yang sempat tersinyalir di atas. Puisi-puisi penyair kontemporer dewasa ini dianggap belum (atau bahkan tidak) ada apa-apanya dibanding karya-karya penyair mapan (di masa lalu?). Bahkan, Ahmadun Y. Herfanda (redaktur rubrik sastra Republika) pernah memberi label “sampah” pada puisi-puisi dalam media-media sastra di internet, seperti yang sering dikutip dalam berbagai diskusi sastra saat ini. Ini juga mengingatkan pada bagaimana pandangan Sutan Takdir Alisjahbana terhadap “pemberontakan puitik” Chairil Anwar atau bagaimana Putu Arya Tirtawirya dan S. Suharianto, seperti yang dilansir Prasetyo dalam sebuah artikelnya (Horison, edisi XXXVI/10/2002), menyesalkan pemuatan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang, oleh mereka, disebut “kentut”, sebelum puisi-puisi tersebut sangat diakui mutunya seperti saat ini.
Cukup menarik untuk melihat pembicaraan tentang sastra di media massa. Seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum, media massa dianggap sebuah jalan bagi para penyair dan prosais muda guna “mengiklankan kesastrawanannya”. Bahkan, di kalangan para pengamat sastra telah muncul istilah “sastra koran” yang bahkan sering diungkapkan sebagai sebuah genre sastra baru. Terlepas dulu dari perdebatan soal mutunya, seperti yang dipaparkan tadi, tak salah kiranya jika dilakukan penelisikan lebih jauh tentang ”genre sastra baru” ini. Apalagi dikaitkan dengan pelajaran (dari) sejarah bahwa media massa yang semula “tak dianggap” tersebut ternyata mampu menghasilkan wajah-wajah baru yang bisa mapan nantinya, atau dikaitkan dengan keinginan untuk lebih memperterang lagi segala perdebatan tentang mutu dan eksistensi sastra koran atau media massa tersebut.
Kembali ke soal fenomena chicklit (dan juga) teenlit seperti yang sempat dikemukakan di awal, bisa dilihat posisi yang sama jenis “sastra” ini dengan sastra media massa berhadapan dengan perdebatan kritik sastra (yang berangkat dari, dan sekaligus, dalam rangka menyusun teori kesusastraan). Imran dalam artikelnya mengenai fenomena chicklit dan teenlit ini juga (Pikiran Rakyat, edisi 19 Maret 2005), pernah mengutip pertanyaan penyair-kritikus Acep Iwan Saidi, akademisi Aquarini Priyatna Prabosmoro, dan cerpenis-kritikus Joni Ariadinata: siapa sih yang memberi hak pada seseorang atau sebuah lembaga untuk menentukan itu bukan karya sastra dan ini karya sastra? Bisa dilihat juga paparan Atmowiloto (Tempo, edisi 20 Februari 2005) yang menilai bahwa ada baiknya memberi sambutan positif pada jenis sastra remaja tersebut dalam kerangka konteks jenisnya tersendiri yang tak bisa begitu saja dibandingkan dengan karya-karya sastrawan besar. Segala perbincangan dan perdebatan pun terus menghangat. Karya sastra di media massa, sebagaimana fenomena chicklit dan teenlit tersebut, mengalami dilema yang serupa.
Sejarah sastra di media massa pernah mengalami masa keemasan pada sekitar tahun `50-an. Di tahun `80-an juga ada fenomena munculnya berbagai majalah yang mengusung jenis fiksi populer dan umumnya bertitel feminisme. Di saat sekarang ini muncul pula istilah sastra koran hingga sastra cyber. Bersamaan dengan penerbitan-penerbitan karya sastra dari pengarang-pengarang yang telah cukup diakui, karya-karya sastra dengan perantara media massa pun ikut mengemuka. Karya-karya tersebut pun tak pelak ikut mewarnai segala diskusi sastra, mewarnai kritik sastra, yang kesemua berujung pada bagaimana mendefenisikan sastra, bagaimana membentuk teori sastra.
Sastra koran, sebagai bagian dari sastra di media massa tersebut, pada akhirnya membentuk ciri tersendiri pula. Para kritikus, berbagai forum diskusi, mulai membicarakan karakteristik “genre sastra koran ini”. Salah satunya bisa dilihat pada tulisan jurnalis dan cerpenis Budiarto Danujaya dalam sebuah eseinya yang membahas karya-karya yang terpilih dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2000. Danujaya mengemukakan bahwa karya-karya yang berjenis “sastra koran” ini sangat akrab dengan realitas dan fakta teraktual yang digarap oleh koran sebagai sebuah media pemberitaan harian. Danujaya pun melihat sejumlah permasalahan dalam mengukur mutu sastra koran ini berkenaan dengan distansi dan diferensiasinya terhadap artikel berita. Hal senada juga pernah dinyatakan Sapardi Djoko Damono, seperti yang dikutip Budianta dalam esei pengantarnya pada Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004. Menarik mengamati pembicaraan tentang ini jika selanjutnya dikaitkan dengan wacana tentang pembedaan fiksi dan nonfiksi dalam kritik dan teori kesusastraan. Selanjutnya juga terkait dengan diskusi tentang mutu sebuah karya sastra serta segala macam kategorisasi dan defenisinya yang, lagi-lagi, berujung pada (seperti) pertanyaan Maulana di awal tadi: karya sastra itu apa sih? Oleh sebab itu, menarik dan cukup penting untuk meneliti jenis “sastra koran” ini.
Suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat merupakan salah satu wadah bagi jenis “sastra koran” tersebut. Ada dua alasan untuk menjadikan karya-karya dalam suplemen tersebut sebagai objek penelitian. Pertama, posisi harian tersebut yang berbasis lokasi (baik secara geografis maupun sosial-budaya) yang sama dengan institusi tempat pengerjaan penelitian ini. Oleh sebab itu, cukup penting dilakukan sebuah penelitian sekaligus dalam rangka apresiasi terhadap suplemen tersebut. Alasan kedua adalah pembicaraan mengenai posisi harian ini sendiri di tengah-tengah media sejenis lainnya dalam wacana kesusastraan di Indonesia. Sebagai media yang berbasis lokal (daerah), wajar kiranya jika prestise media kesusastraan dalam suplemen harian ini dianggap bukanlah di atas rubrik-rubrik sastra harian nasional lainnya yang memang berpusat di ibukota (yang sekaligus menjadi lambang bagi pusat kebudayaan nasional tentunya). Akan tetapi, fakta posisi geografis daerah basis harian ini (yang secara logis juga bisa dianggap memberi efek di bidang sosial-budaya hingga kesusastraan) bisa menjadi sebuah pertimbangan jika dibandingkan dengan media kesusastraan harian-harian daerah lainnya yang lebih “berjarak” dengan “pusat”. Apalagi jika harus dibandingkan dengan harian lain, berbasis pusat sekalipun yang tidak meyediakan ruang bagi bidang kesusastraan. Hal ini juga perlu ditambahkan dengan fakta bahwa ruang kesusastraan tersebut, dalam harian ini, diukur secara kuantitas halaman (secara tak tetap, sebab rubrik kesusastraan biasanya bercampur dengan bidang-bidang lain dalam kebudayaan), bahkan, bisa melebihi harian-harian berbasis pusat sekalipun.
Sumardjo dalam sebuah artikelnya (Pikiran Rakyat, edisi 26 Juni 2003) pernah menyinggung betapa penting keberadaan suplemen “Khazanah” dalam peta kesusastraan Indonesia. Ketika harian-harian lain mulai menyisihkan jenis ruang budaya seperti ini, harian ini tetap konsisten mempertahankannya sejak 1974 (ruang budaya tersebut baru dinamakan “Khazanah” beberapa tahun berikutnya), demikian Sumardjo memaparkan pengamatannya. Bahkan Sumardjo menyebut suplemen “Khazanah” sebagai satu-satunya ”majalah budaya” yang subversif di tengah-tengah kekosongan majalah kebudayaan. Sumardjo juga meyakinkan betapa tulisan-tulisan bermutu dan perdebatan-perdebatan budaya sering muncul di suplemen ini.
Berkaitan dengan fenomena “sastra koran” tersebut, serta kaitannya dengan bidang keilmuan sastra, pentinglah kiranya dilakukan sebuah penelitian terhadap karya-karya sastra dalam suplemen budaya tersebut. Penelitian kali ini memang tak akan secara komprehensif mampu memikul segala permasalahan seperti yang diungkap sebelumnya. Pertama, penelitian ini secara terbatas hanya akan meneliti salah satu saja dari produksi berlimpah jenis sastra koran tersebut dan ini pun dibatasi lagi hanya pada satu periode tertentu dan salah satu genre saja. Kedua, pendekatan teoritik yang akan digunakan difokuskan pada aspek stilistik, baik dalam pengertiannya sebagai salah satu unsur pembangun struktur sebuah karya sastra maupun sebagai sebuah metode pendekatan dalam penelitian sastra.
Studi stilistika ini kiranya cukup tepat untuk digunakan dalam rangka mencoba mengurai segala permasalahan dan problematika dalam studi sastra seperti yang tergambar di atas. Dengan studi stilistika, bisa coba diuraikan ciri-ciri kesusastraan pada sastra media massa tersebut hingga bisa digunakan uintuk mengukur dan mendefinisikan nilai kesastraannya. Terkait dengan pembatasan objek penelitian serta periodesasinya, bisa juga menjadi sebuah gambaran bagi studi selanjutnya dalam kerangka teori pragmatik dan sosiologi karya.
Bahasa sebagai media komunikasi karya sastra, serta variasi pemakaiannya sebagai telisikan stilistika, membuat setiap analisis karya sastra tak pernah lepas dari aspek stilistik ini. Setiap esei pengantar pada berbagai penerbitan karya sastra hampir tak bisa melepaskan paparannya dari gaya kebahasaan pengarang. Bahkan, Ajidarma, dalam sebuah artikelnya yang membahas sosok Doyok pada sebuah rubrik harian Pos Kota (Kompas, edisi 1 November 2002), bisa sampai pada simpulan bahwa karakter Doyok sebagai “potret kelas bawah Jakarta” juga tak bisa melepaskan pendekatannya dari aspek stilistik atau analisis data terhadap gaya kebahasaan sosok Doyok tersebut. Atau ketika penyair Medy Loekito sempat menciptakan perdebatan hangat mengenai isu moral dan sisi pragmatik-edukatif karya dalam karangan-karangan erotis beberapa pengarang perempuan dewasa ini, ia juga banyak berangkat dari analisis terhadap unsur stilistik karya. Dalam sebuah artikelnya yang berupa penelitian resepsi dengan menggunakan responden, Loekito memperlihat betapa efek stilistik karya sangat mempengaruhi hasil analisis. Juga dalam artikelnya yang lain, Loekito melakukan perbandingan stilistik guna membuktikan argumen yang disodorkannya tentang nilai estetika karya-karya erotis tersebut. Ini sekedar meyebut beberapa contoh.
Iskar dalam sebuah artikelnya (Pikiran Rakyat, edisi 7 Mei 2005) memaparkan betapa pentingnya analisis dari sudut kebahasaan. Bahasa menunjukkan pandangan dan cara berpikir masyarakatnya, demikian kira-kira Iskar mengutip pemikiran Wilhelm von Humboldt. Dalam konteks kesusastraan, bisa dilihat juga uraian panjang lebar Mahayana dengan sebuah artikelnya tentang pantun melayu (Horison, edisi XXXIX/4/2005). Mahayana membuahkan sebuah hipotesis bahwa dengan mempelajari pantun, akan terbentang pemahaman tentang jagat kebudayaan Melayu. Analisis yang berbuah hipotesis ini juga tak lepas dari kajian terhadap ciri-ciri atau gaya kebahasaan. Atau, juga bisa dilihat pandangan strukturalisme genetik Goldman mengenai hubungan antara karya sastra dan masyarakatnya.
Kemudian, perlu ditambahkan juga mengenai perkembangan keilmuan dalam lingkup analisis teks media massa. Seperti yang diutarakan Eryanto (2003: 1-10), terjadi perkembangan paradigma pendekatan dalam model analisis teks media massa dari tradisi positivistik dan formalistik ke model analisis wacana kritis. Dalam model analisis wacana kritis tersebut diperlihatkan bagaimana kajian terhadap karakteristik berbahasa sebuah media massa sangat berguna dalam menghasilkan analisis yang lebih komprehensif dan total terhadap teks media massa tersebut. Model analisis terkini ini juga dipengaruhi oleh berbagai pemikiran filsafat kontemporer yang dalam hubungan lain juga sangat mempengaruhi perkembangan kajian sastra.
Hal-hal tersebut menunjukkan betapa studi dari sudut kebahasaan, dan gaya kebahasaan dalam konteks studi sastra, mempunyai peran yang cukup signifikan. Walaupun penelitian berikut ini tak akan berbicara lebih jauh mengenai hubungan karya sastra dengan masyarakatnya (baik dalam pengertian penikmat maupun dalam pengertian penciptanya), setidaknya studi terbatas dari sudut stilistik ini akan bisa membantu analisis-analisis dengan fokus lainnya. Selain juga (seperti juga telah dibicarakan sebelumnya), diharapkan hasil penelitian kali ini bisa membantu perkembangan studi sastra dengan segala perdebatan dan bermacam problematikanya seperti yang, sekali lagi, terpapar sebelumnya. Untuk itulah penelitian kali ini dilakukan.

1.2 Batasan dan Identifikasi Masalah
Ada dua jenis karya sastra yang terdapat pada suplemen “Khazanah” tersebut, yakni puisi (yang dalam rubriknya diberi istilah sajak) dan cerita pendek. Dengan pertimbangan fokus penelitian, hanya genre puisi yang akan dijadikan data untuk dianalisis dalam penelitian ini. Selanjutnya juga akan dilakukan pembatasan jumlah objek yang akan diteliti. Umumnya pembatasan data dilakukan dengan teknik mengambil sampel yang dianggap sanggup mewakili. Guna menghindari persoalan validitas keterwakilan data pada sampel yang diambil, dalam penelitian kali ini akan diambil seluruh data dalam satu periode tertentu. Periode yang diambil adalah edisi sepanjang April-Mei 2005. Pertimbangannya adalah edisi tersebut waktunya terdekat dengan saat dimulainya penelitian ini dan periode yang mutakhir ini cukup punya relevansi dengan berbagai problematika, seperti yang diungkap pada latar belakang masalah, yang menjadi titik tolak dilakukannya penelitian ini. Pemilihan data pada satu periode ini sekaligus juga bisa membatasi dengan jelas konteks hasil penelitian kali ini.
Sebagaimana paparan sebelumnya bahwa studi stilistika yang menjadi pendekatan dalam penelitian kali ini, maka analisis terhadap semua data akan berangkat dari aspek-aspek stilistik karya dan baru hanya akan membahas aspek stilistik karya tersebut. Hasil kajian dari sisi stilistik karya disini selanjutnya bisa menjadi bahan baik bagi studi pragmatik dan sosiologis maupun pembandingan ciri stilistik dengan objek lainnya hingga bisa membantu upaya pengkajian teoritik kesusastraan. Akhirnya, segala latar belakang penelitian, pemilihan objek penelitian, dan pemilihan pendekatan yang digunakan membuahkan identifikasi masalah sebagai berikut: seperti apakah ciri-ciri stilistik karya-karya dalam suplemen “Khazanah” tersebut?



1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Memeriksa dan menjabarkan penggunaan sarana estetik pada masing-masing karya, terkait fungsinya bagi totalitas pemaknaan.
2.Merangkum ciri-ciri stilistik karya-karya dalam suplemen “Khazanah” tersebut dalam posisinya sebagai bagian dari karya sastra pada khasanah kesusastraan di Indonesia.

1.4 Metode Penelitian
Berdasarkan desain metodologi penelitian seperti yang dikemukakan Wuradji (dalam Jabrohim (ed.), 2003: 4-6), penelitian kali ini lebih tergolong sebagai content analysis. Pengertian jenis metodologi ini adalah penganalisisan dokumen untuk diketahui isi dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Proses analisis terhadap dokumen (karya sastra) dalam penelitian ini menggunakan studi stilistika sebagai model pendekatan dan ruang lingkup kajiannya. Dalam konteks studi stilistika, proses pemaknaan berarti berada dalam kerangka aspek stilistik karya yang diteliti. Selanjutnya, sesuai perkembangan keilmuan dalam studi stilistika dan demi keluwesan proses analisis dan pemaknaan terhadap objek yang diteliti, penelitian ini juga akan berangkat dari wawasan pluralisme-interferensial sebagaimana yang disarankan Aminuddin (1995: 60-61).
Teknis prosedur analisis terhadap objek penelitian secara garis besar mengikuti cara pendekatan yang dipaparkan Welleck & Warren (1990: 226). Pertama, menganalisis sistem linguistik karya sastra yang dilanjutkan dengan interpretasi ciri-cirinya dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna total. Kedua, mengamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya. Secara bertahap, proses analisis data terlebih dahulu dilakukan pada setiap puisi sebagai satuan objek penelitian. Berikutnya akan dirangkum keseluruhan hasil yang didapat dari proses analisis terhadap setiap puisi tersebut. Hasil penarikan benang merah “warna stilistik” pada seluruh objek tersebut akhirnya akan dijadikan patokan dalam menilai ciri stilistik pada suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat edisi April-Mei 2005. Sebagaimana paparan Soeratno (dalam Jabrohim (ed.), 2003: 8) bahwa penelitian mempunyai tujuan untuk mengungkapkan gejala-gejala yang bersifat umum yang selanjutnya melahirkan prinsip-prinsip yang berlaku secara umum pula, diharapkan gejala umum yang bisa didapat dari penelitian ini bisa membantu tolak ukur dalam menilai sastra di media massa.

1.5 Sumber Data
Suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat terbit dalam periode mingguan. Dalam periode April-Mei ini terkumpul data sebanyak 9 edisi. Masing-masingnya terbit pada tanggal 2, 9, 16, 23, dan 30 untuk periode April serta 7, 14, 21, dan 28 untuk periode Mei. Umumnya, setiap edisi memuat beberapa puisi dari satu pengarang. Begitu juga dengan setiap edisi pada data yang akan diteliti ini, kecuali edisi 14 Mei yang memuat dua pengarang. Total keseluruhan puisi yang akan akan dijadikan objek penelitian ini berjumlah 29 judul oleh 10 pengarang. Untuk keperluan sistematika penelitian, setiap puisi akan dikelompokkan menjadi satu bahasan berdasarkan pengarangnya.

















Daftar Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. 2002. “Doyok: Potret Kelas Bawah Jakarta” dalam Kompas, edisi 1 November.
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Atmowiloto, Arswendo. 2005. “Sastra Jerawat” dalam Koran Tempo, edisi 20 Februari.
Budianta, Melani. 2004. “Jejak Lelaki, Kekerasan, dan Sunyi: Catatan Atas Cerpen Pilihan Kompas 2004” dalam Sepi pun Menari di Tepi Hari: Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Danujaya, Budiarto. 2000. “Realitas Koran pada Sastra Koran” dalam Dua Tengkorak Kepala: Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2000, Jakarta: Kompas
Eryanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS.
Imran, Ahda. 2005. “Sebuah Feminisme Lunak Bernama Chiklit” dalam Pikiran Rakyat, edisi 19 Maret.
Iskar, Soehanda. 2005. “Aspek-aspek Budaya Dalam Komunikasi Bahasa” dalam Pikiran Rakyat, edisi 7 Mei.
Jabrohim (ed.). 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Keraf, Gorys. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Loekito, Medy. 2004. “Perempuan dan Sastra Seksual” dalam http://www.cyber sastra.net/modules.php?name=News&file=article&sid=3906
Loekito, Medy. 2004. “Sastra Feminis Indonesia, Adakah?” dalam http://www. cybersastra.net/modules.php?name=News&file=article&sid=3979
Mahayana, Maman S.. 2005. “Pantun Sebagai Representasi Kebudayaan Melayu” dalam Horison, edisi XXXIX/10.
Maulana, Soni Farid. 2005. “Karya Sastra Itu; Apa Sih?” dalam Pikiran Rakyat, edisi 19 Maret.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Prasetyo, Arief B.. 2002. “30 Tahun Kemudians; tentang O Amuk Kapak Sutardji Calzoum Bachri” dalam Horison, edisi XXXVI/10.
Sumardjo, Jakob. 2003. “Ruang Budaya dan Atang Ruswita” dalam Pikiran Rakyat, edisi 26 Juni.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yoyakarta: Hanindita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
van Luxemburg, Jan dkk.. 1991. Tentang Sastra. Terjemahan Akhadiati Ikhram. Jakarta: Intermasa.
van Zoest, Aart. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi Dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Welleck, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia.










Lampiran
DAFTAR ISI
RANCANGAN SKRIPSI
Halaman
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
1.2 Batasan dan Identifikasi masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Metode Penelitian
1.5 Sumber Data

BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Karya Sastra dan Pengkajian Sastra
2.1.1 Puisi
2.1.2 Pengkajian Puisi
2.2 Studi Stilistika
2.2.1 Kesejarahan Studi Stilistika
2.2.2 Studi Stilistika terhadap Puisi

2.3 Klasifikasi dan Jenis Gaya Kebahasaan dalam Studi Stilistika
2.3.1 Gaya Bahasa sebagai Upaya Kreasi Sistem Kebahasaan
2.3.2 Gaya Bahasa dalam Wawasan Semiotika

BAB III STUDI STILISTIKA TERHADAP SAJAK-SAJAK
DALAM SUPLEMEN “KHAZANAH” PIKIRAN RAKYAT
EDISI APRIL-MEI 2005
3.1 Analisis Stilistik terhadap Sajak
3.1.1 Analisis terhadap Sajak Beni A Pamungkas
3.1.1.1 “Selamat Jalan Saudaraku”
3.1.1.2 “Di Bawah Bianglala”
3.1.2 Analisis terhadap Sajak Sarabunis Mubarok
3.1.2.1 “Alif Minor”
3.1.2.2 “Di Musim Pancaroba”
3.1.3 Analisis terhadap Sajak Usep Romli H.M.
3.1.3.1 “Ziarah Jerusalem”
3.1.3.2 “Malam Galilea”
3.1.3.3 “Sketsa Senja Betlehem”
3.1.3.4 “Palestina, untuk Sebuah Nama”
3.1.4 Analisis terhadap Sajak Isbedy Stiawan Z.S.
3.1 4.1 “Beratus Kali Aku Mati”
3.1.4.2 “Awan tak Hanya Mengabarkan”
3.1.4.3 “Kususuri Masa Lalu”
3.1.4.4 “Asap dari Kuburku”
3.1.4.5 “Aku Masuki Kolammu”
3.1.5 Analisis terhadap Sajak Moh. Syafari Firdaus
3.1.5.1 “layang-layang”
3.1.5.2 “delirium”
3.1.6 Analisis terhadap Sajak Ujianto Sadewa
3.1.6.1 “Kenangan”
3.1.6.2 “Berlari ke Dalam Hujan”
3.1.6.3 “Pekak-karam”
3.1.6.4 “Eksplantasi”
3.1.6.5 “Asmara Kardus”
3.1.7 Analisis terhadap Sajak Dian Hartati
3.1.7.1 “Surga Kecil Milikmu”
3.1.7.2 “Kupercayakan Kepadamu”
3.1.8 Analisis terhadap Sajak Diwana Fikri Aghniya
3.1.8.1 “Sajak untuk Aceh”
3.1.8.2 “Dendam yang Datang”
3.1.9 Analisis terhadap Sajak Asep Sopari
3.1.9.1 “Rumah yang Kita Gambar di Tanah”
3.1.9.2 “Jalan Pulang”
3.1.9.3 “Kabar Kematian”
3.1.10 Analisis terhadap Sajak Muhammad J. Dipanegara
3.1.10.1 “Waktu”
3.1.10.2 “R”
3.2 Ciri Umum Stilistik Sajak
3.2.1 Aspek Bunyi
3.2.2 Bentuk Simbolik
3.2.3 Penggunaan Bahasa Kias
3.3 Karakter Stilistik pada Sajak Suplemen “Khazanah” Pikiran Rakyat Periode April-Mei 2005

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP