Friday, December 02, 2005

LAPORAN PEMBACAAN ATAS ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK-SEMIOTIK FARUK TERHADAP ROMAN SITTI NURBAYA



1. Latar Belakang Penelitian
Roman “Sitti Nurbaya” sudah dikenal sebagai karya sastra yang sangat populer pada masanya. Beberapa ahli dan kritikus sastra telah sering membahasnya. Apalagi di kalangan pembaca umum, sudah jamak diketahui tentang kepopuleran karya yang satu ini. Satu bukti lagi adalah keberhasilan roman tersebut menduduki jajaran teratas frekuensi peminjaman buku di perpustakaan, setidaknya untuk sekian puluh tahun dari masa penerbitannya. Dalam persaingan untuk bisa menduduki peringkat atas tersebut, tak ada satu karya sastra Indonesia lain yang menandinginya. “Sitti Nurbaya” hanya bersaing dengan novel-novel terjemahan yang populer pula.
Berangkat dari inilah peneliti berminat melakukan kajian atasnya. Peneliti mengandaikan roman tersebut sebagai sebuah karya besar, berangkat dari keberhasilan karya tersebut merebut perhatian pembaca dan para kritisi novel seperti dipaparkan tadi.
Seperti disebutkan tadi juga, beberapa ahli dan kritikus sastra telah mengadakan penelitian dan melakukan pembahasan atas novel besar tersebut. Namun berdasarkan pandangan peneliti: tidak seorang pun di antara mereka yang mencoba memberikan deskripsi yang terperinci dan bersistem mengenai roman tersebut. Menurut peneliti lagi: hasil pembahasan para ahli dan kritikus tersebut juga banyak mengandung kelemahan baik dari segi teoritik maupun empirik.
Analisis John yang menyatakan bahwa karya tersebut realistik, sebagaimana syarat bagi sebuah novel dalam konsep realisme formal Ian Watt, mengandung kelemahan dari segi kenyataan empirik meski memganalisis dengan menggunakan kerangka teori yang kuat. Begitu juga simpulan Aveling bahwa “Sitti Nurbaya” merupakan kesatuan cerita yang tidak integratif, meski kuat dari segi kerangka teori pendekatan, juga lemah dari segi fakta empirik. Kemudian pengkajian oleh Usman, Rosidi, dan Siregar dinilai peneliti sama sekali tidak sistemik dan tidak mempunyai dasar teoritik. Terakhir peneliti juga mengutip pandangan Teeuw bahwa roman tersebut cocok dengan selera sastra barat sementara tak dijelaskan defenisi selera sastra barat tersebut.
Maka dari pada sebab itu, peneliti mengajukan pertanyaan: bagaimana koherensi struktur roman “Siti Nurbaya” sebagai karya yang besar, yang jauh lebih menonjol dari karya-karya sezamannya? Inilah yang memacu peneliti untuk meneliti.
Dalam bahasan sebelumnya mengenai fakta kebesaran roman tersebut, peneliti menghubungkan sebab musababnya dengan pendapat Goldman mengenai keberhasilan sebuah karya sastra. Menurut Goldman, karya sastra yang besar dan sahih adalah karya yang mempunyai stuktur yang terpadu, mempunyai kepaduan internal, sebagi akibat dari ketepatan pandangan dunia yang ditangkap dan diekspresikan oleh pengarangnya. Dari ini, peneliti mendapatkan sebuah jalan untuk mencoba mencari faktor-faktor yang membesarkan roman tersebut. Dengan pembatasan pada: koherensi struktur karya, seperti yang dirumuskan lewat sebuah pertanyaan tadi.

2. Landasan Teoritik.
Walhasil, peneliti memilih kajian stuktural dinamik (yang menggabungkan analisis struktural dengan kajian semiotik) beserta stukturalisme genetiknya Goldman sebagai landasan teoritik upaya pengkajiannya terhadap roman besar, sukses, dan populer tersebut. Metode pengkajian strukturalisme dinamik diperkenalkan oleh Jan Mukarovsky, yang seperti dikatakan oleh peneliti: tidak percaya pada otonomi teks (karya). Sebab itu Mukarovsky melanjutkan analisis stukturalnya (terhadap karya) dengan kajian semiotik. Pendekatan struktural sendiri sudah jamak digunakan sebagai metode pengkajian karya sastra otonom-komprehensif (intern) dengan analisis formalistik sebagai bentuk paling ekstrimnya. Konsep strukturalisme ini berasal dari konsep teoritik Ferdinand de Saussure dalam mengkaji bahasa.
Konsepsi semiotik ditelurkan oleh teoritikus C. S. Pierce dari Amerika. Dalam strukturalisme Saussure sendiri sebetulnya pun telah ada konsepsi semiotik ini dengan mempergunakan istilah semantik. Untuk analisisnya terhadap “Sitti Nurbaya”, peneliti menggunakan kerangka dasar teoritik semiotik dari Umberto Eco sebab dipandang lebih (cenderung) bersifat general dan komprehensif. Eco, pertamanya, melihat karya sastra dari dua segi: sebagai sistem signifikansi dan sebuah sistem komunikasi. Sistem signifikansi adalah sistem yang memungkinkan tanda tertentu mewakili sesuatu yang lain, sementara sistem komunikasi merupakan proses pemanfaatan signifikansi itu guna mencapai tujuan-tujuan praktis. Jika sistem signifikansi menyangkut aturan-aturan, maka sistem komunikasi menyangkut proses. Sistem komunikasi karya sastra melibatkan banyak sekali faktor, seperti faktor pengarang, pembaca, dan sebagainya sehingga persoalannya menjadi sangat kompleks. Sebab kompleksites sistem komunikasi ini, dan sebab: bagaimanapun dasar dari analisa sistem komunikasi tersebut haruslah berangkat dari sistem signifikansi terlebih dahulu atau dalam bahasa lain, menjadi dasar bagi sistem komunikasi, peneliti membatasi analisisnya pada sistem signifikansi tersebut.
Berdasarkan penggolongan teori sastra yang menonjol sejak abad XX, yang terdiri atas: teori stukturalisme-formalisme, sosiologisme, estetika resepsi, dan semiotik (yang dianggap sudah menggambarkan situasi total karya sastra), peneliti menilai pengambilan pendekatan strukturalisme dinamik dan stukturalisme genetiuk sudah mencakup semuanya. Semiotik atau pendekatan strukturalisme dinamik dianggap sudah mencakup strukturalisme-formalisme, estetika resepsi, dan bahkan unsur sosilogis dalam batas-batas tertentu. Lalu untuk lebih mencakupi lagi kajian sosiologis karya, digunakanlah strukturalisme genetiknya Goldman.

3. Tata Kerja
Metode yang digunakan oleh peneliti dalam mengkaji roman tersebut, supaya bisa menghasilkan hasil yang lebih berhasil, komprehensif, berlandaskan konsepsi teoritik yang kuat, dan meyakinkan adalah metode dialekti yang dirumuskan oleh Goldman. Dalam kerangka strukturalisme genetik, metode dialektik bekerja dengan cara pemahaman bolak balik antara struktur sosial dengan teks sastra yang diteliti. Hal tersebut dapat dimulai dari mana saja, baik dari stuktur sosial maupun teks sastra. Apabila dimulai dari teks, pemahaman mengenainya akan membuahkan semacam hipotesis yang harus dicek kembali ke dalam kenyataan sosial yang sesungguhnya. Begitupun sebaliknya. Upaya tersebut akan berlangsung terus menerus sampai ditemukan koherensi total (?) stuktur teks sastra yang dianalisis.
Sebab pengkajian terhadap “Siti Nurbaya” yang akan dilakukan bukan sepenuhnya berangkat dari stukturalisme genetik, peneliti pun memodifikasi metode dialektik Goldman tersebut atas dasar hubungannya dengan pembacaan semiotik. Maka mekanisme kerja dialektik yang terjadi adalah antara teks dengan kode atau sistem sastra. Dengan upaya koherensi terus menerus seperti tadi.
Hasil dari pengkajian ini, peneliti menyusun sistematika buku kajiannya terhadap “Sitti Nurbaya” dengan landasan teori semiotik-strukturalisme genetik secara deduktif dan sekaligus induktif. Pertama, diuraikan dulu secara garis besar mengenai latar belakang kesusastraan dan sosial-kultural novel “Siti Nurbaya”, yakni masyarakat dan kebudayaan di Minangkabau. Selanjutnya, dilakukan pembacaan semiotik yang meliputi: pembacaan heuristik (hal-hal yang diacu teks dan hubungan antara unit-unit mimesis teks), lalu pembacaan semiotik. Pembacaan semiotik setelah memalui pembacaan heuristik tersebut terbagi atas: organisasi internal teks, sistem semantik teks, dan hubungan penanda dengan makna. Terakhir, peneliti baru memaparkan kajian secara strukturalisme genetik, yang bahasannya meliputi: karya dan pengarangnya, karya dan sistem hubungan pengarang-pengayom, karya dan struktur sosial zamannya. Dari semua analisis tersebut barulah diambil simpulan tentang faktor-faktor (koherensi teks karya sastra tersebut) yang membuatnya menjadi karya besar dan populer seperti yang dipaparkan sebelumnya.

4. Simpulan
Pembahasan yang dilakukan oleh peneliti, dengan metode dialektik dan landasan teoritik semiotik plus strukturalisme genetik tersebut terhadap “Siti Nurbaya”, pada akhirnya cukup berhasil mengungkap faktor-faktor semiotik maupun referensi sosio-kultural teks yang mendukung kesuksesan roman tersebut. Dalam budaya Minangkabau sendiri memang terdapat semacam konsepsi pandangan hidup sekaligus tatanan sosio kemasyarakatan yang paradoksial (di satu sisi, sekaligus) juga ada harmonisasi. Hal seperti itu juga tergambarkan dalam roman “Siti Nurbaya”. Peneliti mengungkapkan bahwa ketepatan mengekspresikan pandangan dunia masyarakatnya merupakan salah satu faktor yang menentukan kebesaran dan popularitas roman tersebut. Sementara kunci keberhasilan karya itu sendiri terdapat pada kajian semiotik yang berhasil meungkapkan konsep disharmoni (sekaligus harmonisasi juga seperti disebutkan tadi) dan kajian sosio-kulturtal yang memperlihatkan sikap demitifikasi karya terhadap nilai-nilai yang berlaku sebelumnya.

No comments: