Friday, December 02, 2005

tiga drama politik

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pada Mei 1998, pecahlah reformasi sosial-politik di Indonesia. Berawal dari krisis keuangan yang melanda pemerintahan Orde baru – yang juga terkait dengan persoalan moneter dalam skala global, timbullah gerakan yang mulai memberanikan diri untuk menyuarakan pergantian rezim dari kalangan masyarakat yang dipelopori mahasiswa. Maka, senjata kekuasaan uang yang salama ini menjadi modal besar kekuasaan Orde Baru, tak ada lagi untuk dikeluarkan. Orde Baru pun tumbang. Di masa reformasi, segala bobrok-bobrok (praktek atas) sistem pemerintahan selama ini seperti memperoleh saluran keran untuk dibuka. Salah satunya adalah bagaimana kebujakan politik kekuasaan pemerintah berefek pada kekerasan sosial-politik terhadap warganya sendiri (yang tak mau tunduk pada segala keinginan penguasa). Sastra adalah satu media yang ingin membicarakan hal tersebut. Genre drama salah satunya. Tentu dapat dimaklumi betapa akan semakin buka-bukaan kritikan terhadap perilaku para penguasa di pemerintahan yang akan muncul di berbagai panggung-panggung pementasan teater sebagai bentuk aplikasi panggung dari naskah drama. Dan genre drama memanfaatkan kelebihannya ini untuk bergencar-gencar menyuarakan kebobrokan penguasa
Sebelum tahun 1998 pun sebetulnya telah berbagai pertunjukkan drama yang melancarkan kritikan terhadap pemerintah. Namun, atas kondisi perpolitikkan yang ada dan memanfaatkan sarana bahasa yang punya ciri khas tak langsung pada sastra, drama-drama itu umumnya juga berusaha untuk membungkus sejauh mungkin kritikkan-kritikkannya itu. Putu Wijaya hingga Arifin C. Noer telah menghasilkan sejumlah karya yang mempersoalkan situsai sosial yang hadir dalam lingkungan politik yang diinginkan penguasa mulai dari soal mengenai budaya korupsi di kalangan birokrasi sampai ke persoalan tekanan represif dengan cara-cara militer terhadap para aktifis muda (dan tua). Namun pementasan-pementasan drama tersebut diatur sedemikian mungkin agar tak sampai berkonfrontasi langsung dengan aparat berwenang. Salah satu yang harus menerima konsekuensi dari ke-frontalannya menghadapi pemerintah adalah W.S. Rendra. Si penelur kumpulan puisi “Potret Pembangunan dalam Puisi” ini sampai harus dicekal selama beberapa tahun pementasan kelompok teaternya, karena dianggap terlalu keras dan terang-terangan menceritakan bobrok-bobrok di tubuh pemerintah dan terlalu vulgar menggambarkan situasi sosial yang asosial hasil dari zaman pembangunan yang kurang berperi kemanusiaan. Alhasil pada masa itupun yang lebih mendapat tempat adalah karya-karya populer dan ringan-ringan yang tak akan membahayakan pemerintahan.
Berdasarkan latar sejarah itulah menarik rasanya mengangkat salah satu (atau disini) beberapa karya yang ‘melawan’ tersebut untuk diteliti isinya. Genre drama adalah pilihan sebab tulisan ini untuk memenuhi tugas mata kuliah pengkajian drama. Dikarenakan ada keinginan untuk melakukan analisis permbandingan teks yang sama-sama mewacanakan persoalan sosial politik seperti yang diterangkan di atas maka saya mendapatkan ( baca: memilih) tiga teks drama sebagai bahan pembahasan. Naskah drama pertama adalah karya Seno Gumira Ajidarma dengan judul “Mengapa Kau Culik Anak Kami”. Kedua “Orang Malam”-nya Soni Farid Maulana dan ketiga adalah sebuah buah tangan dari Aceh dengan judul “Jambo, Luka tak teraba” karya sastrawan lokal yang tak terlalu menasional bernama bung Sulaiman Juned.
2. Tujuan
Tujuan dari pengkajian pada tulisan disini adalah untuk mengetahui sejauh mana pembicaraan mengenai wacana sosial politik yang bereferensi pada realitas politik di Indonesia dilakukan oleh para sastrawan dalam karya-karyanya. Selanjutnya, sebagimana umumnya pembahasan yang dilakukan terhadap lebih dari satu karya, akan dilakukan pembandingan untuk melihat variasi estetis masing-masingnya. Dengan pembandingan ini diharapkan bisa dihasilkan pemaknaan yang akan lebih dalam dan kaya pada masing-masing karya, yangmana juga mereka sama-sama terikat dalam wacana yang sama.
3. Pembatasan Masalah
Sesuai tujuan maka akan dilakukan pembatasan masalah berupa: bahwa untuk melanjutkan niatan yang timbul berdasarkan latar belakang di atas maka akan dilakukan pengambilan acak pada tiga buah karya. Ketiga karya yang dibahas disini adalah dilatar belakangi oleh kesamaan wacana mereka mengenai tema sosial-politik, maka hanya unsur sosial-politik dalam karyalah yang akan dikupas pada ketiga drama. Unsur-unsur kesusastraan yang lainnya hanya diangkat dalam keperluan membantua pengkajian terhadap unsur sosial-politiknya. Dan untuk mengkaji hal yang disebutkan tersebut, maka akan dipilihlah satu metode pendekatan yang tepat seperti yang akan dibahas berikut ini.
4. Landasan Teori dan Metodologi
Untuk mengupas wacana sosial-politik dalam ketiga karya tersebut, sebagaimana yang ditujukan dalam tulisan ini, maka pendekatan Intertekstuallah yang dirasa memadai untuk digunakan. Pengertian paham, atau prinsip Intertekstual berasal dari Prancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme Prancis yang dipengaruhi oleh pemikran filsuf Prancis, Jaquaes Derrida, dan dikembangkan oleh Julia Kristeva (Ratih 2003: 125). Teori Intertektual memiliki asumsi bahwa sebuah teks sastra selalu terkait dengan teks-teks lain sebagai referensi maupun acuannya. Hubungan antar teks itu bisa kepada teks sastra lainnya, bisa juga hingga berupa tiruan atas alam semesta (dalam pengertian yang lebih luas). Salah satu bentuk klasifikasi yang dilakukan dalam teori ini adalah seperti yang dilakukan Riffaterre yang memunculkan istilah teks hipogram untuk teks sebagai acuan bagi teks hasil transformasinya yang disebut teks transformatif. Karya sastra (sajak) baru bermakna penuh (lebih bermakna) setelah dihubungkan dengan karya sastra (sajak) lain karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respon (serapan, olahan, mosaik, kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain (Kristeva dalam Culler, 1977: 139). Respon dari teks hipogram yang berupa kata, frase. Kalimat, bentuk, gagasan, dan sejenisnya itu di dalam teks transformatif diolah secara kreatif sehingga kita (pembaca) sering tidak ingat lagi akan hipogramnya (Nurgiyantoro, 2003: 137).
Dalam pendekatan Intertekstual, metode penerapannya adalah dengan pengklasifikasian teks kepada dua jenis yakni tek hipogram dan teks transformatif (atau transformasi). Hal ini bisa dicontohkan kepada analisis yang dilakukan oleh Tirto Suwondo (2003: 136-150) yang menempatkan teks sajak Chairil Anwar sebagai hipogram dari novel Olenka Budi Darma atas beberapa bagian dalam novel tersebut yang mengutip (utuh atau dengan modifikasi) berbagai larik sajak Chairil. Atau kita juga bisa melihat contoh penerapan ini pada artikel Rina Ratih, S.S yang berjudul “Pendekatan Intertekstual Dalam Pengkajian Sastra” (terdapat dalam Jabrohim (ed.), 2003: 125-133). Ratih menjadikan “Kepada Peminta-minta” karya Chairil Anwar sebagai teks hipogram dari beberapa teks puisi lain. Teks-teks transformatif dari sajak Chairil itu adalah “Kepada Si Miskin” karya Toto Sudarto Bachtiar, “Mokhsa” karya Ajip Rosidi, “Berpalinglah Kiranya (tentang seorang pengemis yang terlalu)” karya W.S. Rendra, dan “Rasa Dosa” buah tangan Soebagyo Sastrowardoyo. Tapi, metode pendekatan Intertekstual ini tak terbatas pula pada teks tertulis sastra. Suwondo, dalam penghipograman atas Olenka di atas, selain kepada sajak-sajak Chairil Anwar, Olenka juga ditransformasikan pada wacana tentang eksistensialismenya Sartre.
Burhan Nurgiyantoro, dalam penelitiannya berupa transformasi unsur pewayangan dalam fiksi modern Indonesia (diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press untuk pertama kali April 1998), selain menjadikan data tertulis sebagai teks hipogram berupa naskah cerita pewayangannya – yang telah dibukukan dari rekaman atas tradisi lisannya – juga menjadikan rekaman pertunjukkan dan wawancara dengan pakar pewayangan sebagai sumber data. Dan tak pelak lagi, wawasan beliau sendiri tentang pakem cerita pewayangan atau wacana yang ia ketahui tentang epos Mahabharata, pastilah menjadi hipogram bagi teks-teks transformasi yang dianalisisnya. Suwondo tadi, meski menjadi sajak Chairil yang merupakan teks tertulis sebagai hipogramnya, pada simpulan tulisannya tersebut menggunakan istilah “pemikiran” Chairil (berdampingan dengan “Pemikiran” Sartre) sebagai teks hipogram bagi novel Olenka.
Memang secara lebih dipersempit kajian Intertekstual diterapkan dengan cara membandingkan (dan dalam kerangka penghipograman) antar sesama teks sastra, sehingga ciri persamaan dan pemberlainan lebih mudah dikonkretkan identifikasinya karena baik teks hipogram maupun teks transformasinya masih berada dalam ‘bentuk’ yang sejenis. Ketika Chairil Anwar melakukan pemberontakkan bentuk estetis puisi dalam kesusastraam masa itu terhadap angkatan di atasnya, kita dapat mengidentifikasi perbedaab yang dihasilkan itu dalam sebuah klasifikasi hipogram-transformasi berupa perubahan bentuk puisi dari pakem perima dan pengiramaan yang masih cukup ketat pada kebebasan persajakkan walaupun dari segi isi setiap teks masih membicarakan hal yang sama. Untuk penghipograman kepada sebuah wacana pemikiran, tentu pembandingan data berupa bentuk kalimat atau urutan kata-kata seperti dalam hal sesama teks sastra, tidaklah dapat dilakukan. Hingga, tentu, ia memerlukan bentuk tersendiri dalam penghipograman antar teksnya. Selama, defenisi dasar tentang Intertekstual, yakni (dalam batasan) kajian hubungan antar teks tetap dijadikan pijakkan.
Berangkat dari pandangan M.H.Abrams yang meneorikan pendekatan pragmatik (pendekatan yang berasumsi bahwa sebuah karya merupakan tiruan mimetis dari alam dan dunia nyata) sebagai salah satu cara mendekati karya sastra dan juga pandangan Dekonstruksi, yang juga dengan kuat mempengaruhi kajian Intertekstual, bahwa setiap teks harus ‘dibongkar’ beraneka-macam teks lain yang melatarinya, tentulah bisa dipahami betapa luas penhipograman yang bisa kita gali dari sebuah teks. Suatu wacana adalah sesuatu yang sudah hampir pasti dipastikan terdapat pada sebuah (dan setiap!) teks. Setiap teks (karya sastra) pasti selalu bertransformasi dari berbagai abstraksi pemikiran yang ada. Peristiwa-peristiwa sejarah, produk-produk alam, struktur-struktur sosial masyarakat, hingga tindak-tanduk dan perilaku seorang (sekali lagi, setiap)individu akan melahirkan abstraksi-abstraksi pemikiran yang tergabung dalam sebuah wacana dan akhirnya bisa dikonkretkan, salah satunya, dalam karya-karya sastra. Bahkan aliran Strukturalisme Genetik mengklaim bahwa karya sastra yang baik adalah karya sastra yang sanggup merefleksikan situsi sosial budaya di ‘tanah’ (atau ‘tempat’) atau juga lingkungan dan latar (sekali lagi, ‘tempat’) kelahirannya. Walhasil adalah muskil bagi setiap teks (karya sastra salah satunya) untuk terlepas dari kajian Intertekstual sebab setiap teks selalu punya wacana di belakangnya.
Unsur (dan tema sosial-politik) adalah wacana yang akan di-eksplor dalam tulisan kali ini, yang akan melihat ke-tersatuan wacana secara interteks antara tiga buah karya ber-genre sastra drama. Merujuk pada klasifikasi yang telah ada, yang tentu dibutuhkan sebagai metode kerja, maka disini dapat disebutkan wacana tentang kondisi sosial-politik sebagai teks hipogram atas tiga buah karya tersebut.. Wacana sosial-politik tersebut akan bertransformasi kepada masing-masing teks yang akan membentuk ciri-ciri tersendiri bagi setiap cerita terkait dengan unsur pelataran hingga bentuk kreatif penulisan cerita masing-masingnya. Jadi, dalam tulisan kali ini, selain kesatuan intertekstual antar teks yang akan terlihat sama-sama mewacanakan tema sosial-politik sebagai teks hipogramnya, kita juga akan melihat perbedaan-perbedaan tipikal pada masing-masing karya, sesuai kreatifitas dan variasi estetisnya, sebagai hasil transformasi atas wacana yang sama.
Dengan mengambil wacana sosial politik sebagai teks hipogram bagi ketiga karya tersebut, maka konsekuensinya teks hipogram ini akan berupa abstraksi pemikiran yang telah ada, bukan berupa data tertulis konkret, sebab, jika hanya menghipogramkan kepada satu atau beberapa data tertulis yang mewacanakan tema sosial-politik, tentulah pembahasan akan lebih terbatasi pada batasan wacana pembicaraan teks itu. Sementara itu juga, untuk melengkapi bahan hipogram dengan semua teks tertulis tentang wacana sosial-politik itu adalah bukankah merupakan sesuatu yang mustahil rasanya. Maka, wacana yang berupa abstraksi pemikiran tentang tema sosial-politik dirasa lebih tepat untuk menghipogrami ketiga karya yang akan dibahas di sini. Hipogram tersebut bisa juga lebih dipersempit kepada wacana tentang situasi sosial-politik Indonesia, karena ketiga karya merupakan fiksi Indonesia dan dengan latar tempat (garis kasarnya) juga negeri Indonesia. Namun tentu garis batas sebuah wacana pemikirandengan unsur sosial-politik yang pemisahnya antara yang ‘produk’ Indonesia dan luar-Indonesia tentulah tak tegas pula, kecuali nanti ada hal-hal yang bisa di-eksplisitkan dalam detail pembahasan masalah.
Sesuai dengan garis metode yang mengklasifikasi bagian-bagian analisis atas teks hipogram yang dalam tulisan ini berupa wacana sosial-politik dan teks transformasinya, tiga naskah drama yang akan dikaji, dan sesuai dengan penjelasan landasan teori di atas, maka sistematika penulisan di sini akan membagi pembahasan karya atas (1) unsur sosial-politik pada masing-masing karya, dan (2) relevansi wacana ketiga karya dan perbandingan model kreasi estetisnya. Pada bagian pertama akan dibahas bagaimana wacana sosial-politik, sebagai teks hipogram, bertransformasi pada masing-masing karya, baru pada bagian kedua akan dibahas kesatuan interteks wacana ketiganya dan bagaimana variasi yang timbul pada masing-masing karya. Karena, barangkali sudah hukum alam bahwa setiap karya sastra (drama dalam hal ini) tentu memiliki bentuk kreatif estetis masing-masing hingga kemiripan pola antar masing-masingnya. Tentang latar belakang singkat pengarang masing-masing karya akan disinggung pada awal bagian pertama. Hal ini dikarenakan alasan bahwa sebuah karya yang mengandung unsur protes sosial-politik biasanya, secara sosiologis, sangat dipengaruhi (ataupun akan lebih bermakna) oleh latar belakang dan riwayat hidup (lebih spesifik lagi: kecenderungan sikap politik) pengarangnya. Maka dalam setiap pembahasan karya berikut akan terlebih dahulu dimulai dengan pembicaraan akan latar belakang pengarang.


PEMBAHASAN
1.Unsur Sosial Politik Pada Masing Masing Karya
Jambo “Luka Tak Teraba”
Sulaiman Juned (selanjutnya disingkat SJ), begitulah nama pengarang drama yang judulnya sudah mengandung bahasa daerah ini. Dan memang, ia dilahirkan di sebuah daerah, tepatnya Pidie, Aceh, pada tanggal 12 Mei 1965. Dalam kepengarangannya, ia pernah menggunakan nama pena Soel’s J. Said Oesy. Selain genre drama seperti naskah karyanya yang dibahas di sini, SJ juga menulis puisi, cerpen, esai, reportase budaya, naskah lakon, skenario sinetron, dan fragmen. Sejak tahun 1980-an karya sastranya dimuat di media massa yang terbit di Aceh, Medan, Padang, Palembang, Riau, Lampung, Yogyakarta, Jakarta, dan Malaysia. Puisinya juga terkumpul dalam antologi Podium (1990), bunga rampai Pariwisata (Pustaka Komindo Jakarta, 1993), HU (Teater Kuala Aceh, 1994), Teriak Merdeka (1995), TTBIJ (IPMM Medan, 1995), Ole-ole (antologi baca puisi keliling Aceh bersama penyair Mustafa Ismail, 1994), Antologi Puisi Surat (Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang, 2000). Dan yang cukup nyentrik, SJ, bersama penyair Nurgani Asyik, juga pernah mempopulerkan pengadilan puisi ala Aceh.
SJ adalah pendiri Sanggar Cempala Karya Aceh, pendiri UKM Teater Nol Universitas Syiah (Unsyiah) Kuala Banda Aceh, pendiri Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang. Alumni FKIP PBSI Unsyiah ini juga dikenal sebagai sutradara dan wartawan. SJ juga pernah meraih Juara 1 Lomba Cipta Puisi Memperingati Meninggalnya Chairil Anwar se-Aceh 1985. Juara IV Lomba Cipta Puisi Sosial se-Sumatera 1995, mantan wartawan “Peritiwa Aceh”, 1989-1995, mantan anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh, 1995-2000, dan Sekretaris Lembaga Seni Aceh, 1995-1997. Sekarang SJ tercatat sebagai dosen di STSI Padang Panjang, Jurusan Teater, Jalur Penyutradaraan.
Sebagai orang Aceh, tema yang diusung oleh SJ dalam karyanya kali inipun tak jauh-jauh dari kondisi di negerinya. Dalam drama ini terdapat dua tokoh, yakni Ibrahim dan Polem saudara iparnya. Dengan berlatarkan sebuah daerah persawahan dengan dangau (yang di dalam bahasa Aceh adalah ‘jambo’ sebagaimana judul drama ini) terletak di tengah-tengahnya. Ibrahim dan Polem, sambil mengawasi padi di persawahannya dari gangguan burung pipit, berdialog tentang kondisi negerinya sedang dilanda konflik antara Pasukan Upah dan Kaum Ateuh (atas) yang seperti tak berkesudahan. Pasukan Upah pada kenyatannya mengacu pada TNI yang melakukan operasi militer di Aceh dan Kaum Ateuh mempunyai dua acuan: pertama anggota GAM sebagai pemberontak yang bersenjata, kedua adalah bangsa Aceh secara keseluruhan yang ditekan atau setidaknya tertekan oleh TNI. Dalam drama ini agak tak terlihat pembedaan antara GAM dengan orang Aceh keseluruhan disebabkan pengacuan Kaum Ateuh yang memberikan dua kemungkinan itu. Padahal realitas dilapangan menceritakan bahwa tak semua orang Aceh menentang pemerintahan pusat. Kemudian cerita-cerita dari dunia nyata juga menyatakan bahwa GAM ikut menteror masyarakat, dalam drama ini hanya TNI lah yang dijadikan musuh rakyat Aceh keseluruhan.
Kerangka frontal yang dihadirkan dari pembedaan Kaum Upah (TNI) dan Kaum Ateuh (GAM atau rakyat Aceh keseluruhan) itu tak lah terjadi pada hubungan sudut pendapat antara Ibrahim dan Polem. Sebagaimana realitas di lapangan, katanya, antara dua tokoh yang sama-sama orang Aceh ini terdapat perbedaan penyikapan terhadap TNI (atau lebih luas lagi pemerintah pusat). Ibrahim adalah orang yang berpendapat bahwa hanya mengangkat senjatalah jawaban yang bisa diberikan (hingga di dikhir cerita ia meninggalkan Polem untuk mengangkat senjata lalu mati di tangan TNI), sedang Polem berpendapat bahwa dialog harus terus diupayakan. Tapi tetap kedua-duanya tak mempersalahkan keberadaan GAM karena di cerita ini GAM dianggap adalah orang-orang yang terpaksa melawan (seperti diwakilkan pada pendirian dan keputasan pada akhirnya yang diambil Ibrahim). Dan posisi TNI yang dibaluti istilah Pasukan Upah adalah tetap sebagai penindas ketenangan bangsa Aceh.
Dari segi penamaan kita bisa menilai bahwa nama Polem mirip dengan nama salah seorang tokoh pejuang kemerdakaan nasional dari Aceh. Itu pula, barangkali, sebabnya pandangan Polem, tokoh drama ini, adalah lebih kompromistis dibanding Ibrahim. Sebagai representasi dari tokoh pahlawan nasional tentulah Polem diwajarkan berpikir dalam pandangan yang menganggap pemerintah pusat masih pantas dianggap sebagai saudara. Panglima Polim sebagai tokoh nasional itu pada masanya bukankah juga telah berjuang bersama-sama dengan segenap tokoh nasional lainnya atas nama kesamaan satu bangsa dan negara. Sedang Ibrahim bisa dianggap sebagai refleksi dari umumnya pemuda Aceh. Aceh adalah sebuah provinsi yang sangat kental penggunaan nama arab bagi orang-orangnya. Dan sebagaimana pandangan umum masyarakat awam di Aceh, Ibrahim diwakilkan untuk menggambarkan keputus asaan yang melanda rakyat kebanyakan, berbeda dengan Polem yang lebih mewakili sikap moderat atau dalam oposisinya terhadap citraan Ibrahim, Polem adalah citraan dari aparatur pemerintah daerah yang kompromistis dengan pemerintah pusat.
Isu keputus asaan bangsa Aceh terhadap kekuasaan politik pemerintah pusat inilah yang ingin disampaikan oleh SJ dalam dramanya. Dengan posisi sebagai sastrawan dan intelektual muda daerah, SJ tentu berkesempatan untuk menuangkan lewat media sastra ini kepada seluruh masyarakat mengenai kondisi daerahnya. Daerah yang pada realitasnya memang terus menerus dilanda tekanan politik kekuasaan pusat dan konflik senjata berkepanjangan. Entah musibah sangat besar berupa banjir Tsunami yang baru-baru ini terjadi dan kepedulian saudara-saudaranya se-negara akan lebih memperbaiki keadaan.
Orang Malam
Soni Farid Maulana dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. Setamatnya SMU Pancasila di Tasikmalaya, ia melanjutkan studi ke ASTI (STSI) Bandung. Sajak-sajak penyair yang bekerja sebagai wartawan harian Pikiran Rakyat ini tersebar di berbagai media masa dalam negeri, dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dan Jerman. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan anatar lain: Bunga Kecubung (1984), Dunia Tanpa Peta (1985), Krematorium Matahari (1985), Para Peziarah (1987), Matahari Berkabut (1989), Kalakay Mega (1992), Guguran Debu (1994), Panorama Kegelapan (1996), Lagu Dalam Hujan (1996), Sehabis Hujan (1996), Di Luar Mimpi (1997), Impian Depan Cermin (1999), Kita Lahir Sebagai Dongengan (2000), Palung Rasa (2001) dan Anak Kabut (2002). Sebagai jurnalis, ia pernah pula mendapat Anugerah Jurnalistik Zulharmans dari PWI Pusat (1999/2000) atas laporan jurnalistiknya Taufiq Ismail Penyair yang Peka Sejarah dimuat di HU. Pikiran Rakyat. Sebagai penyair, ia berkali-kali diundang membacakan sejumlah puisinya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, antara lain dalam forum Puisi Indonesia 1987. Pada tahun 1990 mengikuti East Asian Writers Conference IV di Queezon City, Filipina, dan tahun 1999 mengikuti Festival de Winternachten, di Den Haag, Belanda.
Karena puisi, seorang lelaki (tokoh Kimung) dan seorang perempuan (tokoh Dirah) yang mungkin baru pertama kali bertemu akhirnya merasa begitu akrab. Merasa punya kemiripan masa silam dan masa romantis yang memiliki hubungan sebab-akibat begitu lekat. Karena puisi, sepasang lelaki-perempuan merasa punya nasib yang sama, kesedihan, rasa geram, kebencian, ketakutan dan pemberontakan yang sama kepada tirani penindas yang serupa di negeri yang berwajah lembut bagai bayi, bertangan halus dan bersih, seakan-akan terbebas dari dosa. Inilah esensi cerita dari naskah drama “Orang Malam” karya Soni ini. Naskah yang dipublikasikan lewat majalah sastra Horison ini, walaupun termasuk lakon pendek, dihadirkan dalam bentuk tiga bagian. Selain isi cerita, inipun cukup mengentalkan indikasikan peruntukkan bagi pementasan untuk naskah drama ini.
Kisah ini dimulai saat Kimung mengabarkan penantian 750 tahun di sebuah taman kota. Sebuah kesepian yang panjang. Malam selalu bersambung malam, dingin dan sepi bagai sebutir batu di dasar kali. Ia ingat seorang perempuan yang sempat ditemui dan kemudian berpisah pada suatu saat sehabis kerusuhan. Perempuan itu bernama Dirah , seseorang yang kelak diketahui sempat menjadi korban sebuah tirani. Masuk ke taman kota, mereka bertemu di taman kota itu. Lalu saling mengingatkan dengan puisi-puisi tentang cinta, kesepian, penindasan, kerinduan, yang dulu pernah mereka tulis. Keduanya bercerita tentang masa lalu yang pekat oleh bau pesing penjara, desing peluru, lemparan batu, aroma darah perkosaan dan peristiwa pahit di sebuah negeri yang berwajah bersih. Sebuah negeri yang mereka huni sejak 750 tahun lalu.
Dari isi cerita dalam drama ini dan dengan segala keabsurdan model ceritanya, kita bisa menganalogikan referensi kepada realitas politik otoriter yang cukup mewarnai pemerintahan di Indonesia. Jelas sekali bahwa tokoh penyiksa dalam drama ini mengacu kepada aparat intelejen yang bertugas memelihara ketertiban negara. Dan tokoh Dirah juga mengacu pada para aktivis yang diculik oleh negara. Diperlihatkan bagaimana penderitaan yang harus dialami oleh orang-orang yang tak disukai oleh penguasa. Padahal mereka bekerja untuk membela kepentingan rakyat kecil juga, yang dirugikan oleh ketidak adilan dan ketidak becusan pemerintah mengurus negara. Dan untuk pilihan jalan hidup seperti itu, para aktivis itu (yang disimbolkan kepada tokoh Dirah) dan kekasih atau teman atau kenalan dari setiap aktivis harus bersiap menemui kenyataan hidup yang pahit. Meski menderita dan sengsara, drama ini menunjukkan betapa para tokoh tersebut tetap meneguhkan hati atas perjuangan mereka. Ending cerita sendiri memperlihatkan bagaimana perjuangan mereka belum membuahkan hasil dan mereka tetap berharap pada generasi penerusnya.
Mengapa Kau Culik Anak Kami
Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Setelah lulus SMA de Brito Yogyakarta, ia melanjutkan studinya di jurusan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia mula-mula menulis puisi dengan menggunakan nama Mira Sato. Tahun 1976, ia mulai menulis cerita pendek “Sketsa Dalam Satu Hari” yang dimuat dalam Harian Berita Nasional, Yogyakarta (kini Bernas). Pada pertengah tahun 1970 Seno telah mulai memainkan jenis teater berlainan dengan umumnya tradisi teater yang marak saat itu pada berbagai kelompok teater di Yogyakarta. Pada tahun-tahun yang sama pula secara paralel Putu Wijaya juga mengusung model perteateran yang sama di Jakarta. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi Sinema Indonesia (1980), redaktur Zaman (1983-84), dan sejak 1985 bekerja di Majalah Jakarta-Jakarta. Dengan nama samaran Mira Sato ia sempat menerbitkan kumpulan puisi Granat dan Dinamit (1975 bersama Ajie Sudarmadji Mukhsin), Mati Mai Mati (1975), Bayi Mati (1978), Catatan-catatan Mira Sato (1978). Sejak itu menulis dan menerbitkan buku-bukunya dengan nama asli seperti: Manusia Kamar (1988), Saksi Mata(1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Negeri Kabut (1996), Jazz, Sajak, Parrrffum dan Insiden (1996) Ibllis Tidak Pernah Mati (1999), Atas Nama Malam (1999), Layar Kata (2000), Wisanggeni (2000), dan lain-lain. Dia juga menulis Sajak, Cara Bertutur dalam Film Indonesia: 20 Skenario Pemenang Citra FFI 11973-1992.
Cepennya “Pelajaran Mengarang” dinobatkan sebagai cerpen terbaik harian Kompas (1992) dan diterbitkan dalam Pelajaran Mengarang (1993). Sejak itu secara berturut-turut cerpen-cerpennya disertakan dalam Lampor (1994), Laki-laki Yang Kawin Dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997), dan Derabat (1999). Cerpennya “Nyanyian Sepanjang Sungai” dipilih untuk antogi berbahasa Inggris: Menagerie. Cerpennya “Segitiga Emas” meraih juara kedua Sayembara Mengarang Cerpen Harian Suara Pembaruan 1990-1991. Tahun 1994 ia memperoleh hadiah dari Pusat Pembinaan dan Pengembanngan Bahasa, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI atas kumpulan cerpennya Saksi Mata. Pada tahun 1997 ia meraih hadiah buku terbaik dari Yayasan Buku Utama untuk bukunya Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta, dan mendapat SEA Write Award dari Kerajaan Thailand untuk prestasinya selama ini.
Drama Seno yang dibahas di sini terdapat dalam buku kumpulan dramanya yang diterbitkan tahun 2001 dan diberi judul yang sama. Ada tiga drama di sana, yang secara eksplisit disampaikan bahwa bertema dan dipicu oleh kekerasan politik yang terjadi di Indonesia, yaitu duanya lagi adalah dengan judul “Tumirah, Sang Mucikari” dan “Jakarta 2039”. Drama “Mengapa Kau Culik Ini Kami” merupakan sebuah sandiwara tiga babak dengan dua tokoh pemeran yakni tokoh Bapak dan tokoh Ibu. Diceritakan drama ini tentang sepasang suami istri yang telah kehilangan putra mereka satu-satunya bernama Satria, yang seorang aktivis, yang diculik oleh ‘orang-orang tak dikenal’, dan tak ketahuan sekarang rimbanya. Di rumah, kedua pasangan suami istri itu bercakap-cakap mengenai berbagai kemungkinan yang terjadi pada putranya itu meski di satu sisi, karena sakitnya, mereka berusaha untuk melupakan. Cerita pun bergulir mulai dari pendapat suami-istri itu tentang sifat orang-orang yang menculik anaknya, kemungkinan gambaran peristiwa yang terjadi saat pengintograsian anaknya, hingga masa lalu mereka dan lintasan sejarah terkait kekerasan aktifitas politik. Dan kedua suami-istri itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengetahui keberadaan anaknya.
Seperti yang secara eksplisit dikatakan dalam buku kumpulan cerpennya, cerita dalam drama ini terang sekali merujuk kepada peristiwa-peristiwa penculikan para aktifis yang dilakukan oleh aparat berwenang di negeri tercinta Indonesia raya. Tentunya, tak lain tak bukan orang-orang yang melakukan penculikan itu adalah juga manusia yang sebangsa dan setanah air dengan baik si suami-istri maupun Satria, putra mereka. Namun mereka adalah orang-orang yang memang dipekerjakan oleh penguasa untuk mengamankan ketertiban negara menurut versi mereka atau melanggengkan kekuasaan mereka menurut versi bukan mereka. Dan karena yang melakukan hal tersebut juga manusia, pasangan tokoh suami-istri mempertanyakan bagaimana jalan pemikiran orang-orang yang melakukan penculikan tersebut. Apakah mereka masih punya hati dam rasa seperti umumnya manusia, apalagi, seperti lirik lagunya Serious Band, rockkerrr jugaa manusiaaa..., punya hati punya rasa. Lalu “mengapa kau culik anak kami?” kata drama ini, kata kedua tokoh drama ini. Kekuasaan, tentu itulah jawabannya. Sebuah otoritasi atas sisi sosial-politik masyarakat.


2. Relevansi Wacana Ketiga Karya dan Perbandingan Model Kreatifitas Estetisnya
Relevansi Wacana
Dalam bagian ini, akan dilihat secara interteks bagaimana keterkaitan tekstual antara ketiga drama tersebut. Sebagaimana telah disebutkan di awal, dengan pengklasifikasian objek penelitian interteks kepada dua jenis teks, maka disini dapat disebutkan ketiga naskah drama sebagai teks transformatif yang berhipogram kepada wacana tentang tema sosial-politik. Dari pembahasan isi masing-masing ketiga karya dapat dilihat bahwa ketiganya sama-sama memiliki unsur unsur sosial politik sebagai temanya. Lebih spesifik lagi dapat disebutka bahwa ketiga karya membicarakan tentang tindakan represif dari penguasa untuk mempertahankan hegemoni kekuasaannya. Tentu dapat dipahami bahwa hal ini menyangkut unsur-unsur sosial-politik dalam kemasyarakatan. Diperlihatkan pada ketiga karya bagaimana tokoh-tokohnya merupakan contoh-contoh subjek yang ditindas oleh kesewenangan kekuasaan politik penguasa. Bagaimana setiap tokoh mengalami tekanan pada kehidupannya akibat situasi sosial-politik yang dihadapi sama-sama digambarkan ketiga karya. Ketiganya sama-sama bersuara menyalahkan arogansi dan represifitas penguasa dan membela tokoh-tokohnya yang harus menerima kepahitan hidup dalam tekanan penguasa tersebut. Setiap mereka adalah orang-orang yang harus mengalami keberlainan sosial karena tidak mau tunduk pada bagaimana penguasa mengatur kehidupan bermasyarakat.
Secara mimetis, ketiga karya sama-sama mengacu pada realitas sejarah represifitas kekuasaan di Indonesia – dengan tingkat keabsurdan yang berbeda-beda masing-masingnya. Sejak era reformasi pada tahun 1998, borok-borok cara menjaga kekuasaan oleh pemerintah semakin dengan lapang bisa dibicarakan dimana-mana. Segala tidak politik-kekuasaan pemerintah masa Orde Baru, mulai dari tindak ‘pengamanan’ para aktifis yang dianggap membahayakan ‘ketentraman’ berwarga negara hingga pilihan cara kemiliteran dalam menyelesaikan persoalan-persoalan disintegrasitas di daerah dan cara kekerasan yang ditempuh untuk itu, menjadi bahan yang empuk untuk diangkat ke permukaan setelah datangnya masa kebebasan bersuara sehabis kerangkeng kekuasaan politik pemerintah ditumbangkan. Salah satu sarana yang paling sering digunakan untuk menceritakan kembali ‘dosa-dosa’ masa lalu tersebut adalah karya sastra. Hal seperti inilah yang dimanfaatkan oleh ketiga pengarang karya, yang pada masa lalu itu, sepertinya tak mungkin untuk dilakukan. Memang ketiga karya sama-sama dipublikasikan setelah beberapa tahun era reformasi berjalan. Dan sekali lagi bagi ketiga karya, inilah kesempatan untuk sama-sama mengangkat wacana tentang kekerasan sosial-politik oleh penguasa, di Indonesia.
Sedikit yang perlu ditambahkan lagi dalam relevansi wacana antara ketiga karya adalah dalam hal bahwa ketiga drama sama-sama menggunakan dua tokoh dalam membawakan dialog-dialog ceritanya. Barangkali ini berangkat dari kemungkinan bahwa sebuah karya yang terinspirasi dari wacana tindak kekerasan sosial politik akan menghasilkan sebuah proses dialog dua arah dalam batin pengarangnya, terbatas pada contoh ketiga karya yang dibahas di sini.
Perbandingan
Setelah berangkat dari sudut pandang bahwa ketiga karya drama disini adalah sama-sama teks transformatif yang berhipogram kepada wacana sosial politik (di Indonesia eksplisitnya), sekarang kita berangkat dari sudut pandang bahwa wacana sosial-politik tersebut akan mengalami variasi (estetik) dalam setiap transformasinya pada sebuah karya. Hal itu tentu terkait dengan latar spesifik masing-masing karya hingga ragam stilistik dari setiap pengarangnya. Secara jenis genrenya memang ketiga karya adalah sama-sama termasuk dalam kategori karya sastra drama yang sama-sama menggunakan media dialog sebagai penyampai ceritanya, namun pelataran spesifik hingga tipikal pengarang masing-masing karya tentu akan membuahkan isi maupn bentuk yang berbeda pada masing-masing karya.
Pertama, dari segi keabsurdan karya, dramanya Soni menempati urutan pertama. Penilaian bahwa materi ceritanya adalah juga mengacu kepada latar kongkrit yang sama, yakni situasi sosial-politik di Indonesia masa kekuasaan Orde Baru, tidaklah segampang menemukan hal tersebut pada dua karya lainnya. Ada pemberjarakan yang dilakukan Soni dalam memilih materi ceritanya untuk mengungkapkan wacana sosial-politik tersebut. Misalnya saja dalam hal pemilihan latar tempat cerita yang tidak real, suatu tempat yang entah dimana, atau pengungkapan umur tokoh yang tak sejalan lagi dengan logika dunia nyata. Pada dramanya Seno, keabsurdan itu ditiadakan. Dalam drama Seno jelas-jelas para tokoh tinggal di sebuah rumah yang wajar dalam realita kehidupan. Dalam dramanya SJ, kita melihat ada usaha untuk tak terlalu me-realistiskan cerita seperti dengan penggunaan kata kaum upah bagi aparat TNI yang menyengsarakan rakyat Aceh. Namun keterlalu berspesifikkan karya membicarakan tentang nasib ‘bangsa’ Aceh, membuat pengkaburan-pengkaburan macam tersebut sangat mudah untuk dideteksi realitasnya. Apalagi salah satu upaya penspesifikkan itu adalah dengan menyebut-nyebutkan latar lagu Aceh Loen Sayang, yang akan sangat mengkongkritkan niat pengarang. Bahkan dalam hal penggebu-gebuan tersebut, dramanya SJ terkesan lebih realistis dibanding drama Seno yang walaupun sebetulnya bercerita dengan apa adanya. Dalam drama Seno tidak ada upaya menggebu-gebu untuk dengan telanjang mengungkapkan persoalan.
Kemudian dilihat dari bentuk pemaparan ceritanya, salah satu yang memperkuat ke-absurd-an karya Soni adalah karena penggunaan bentuk prosa liris dalam kalimat-kalimat dialognya, ini tentu terkait juga dengan kapabilitas dan latar belakang Soni sendiri sebagai penyair. Berbeda dengan bentuk bahasa drama SJ yang berbentuk kalimat realistis dalam percakapan antara Polem dan Ibrahim (meski dengan ada usaha pengaburan seperti disebutkan tadi). Ini menghasilkan efek drama SJ lebih jelas latar dan maksud ceritanya, sedang dalam karya Soni akan ditemui berbagai kemungkinan sebab ada proses penafsiran karya yang harus lebih jauh. Sementara Seno dalam dramanya juga menggunakan kalimat-kalimat realistis tapi tak sekaku drama SJ yang menggebu-gebu menyampaikan isi ceritanya. Bahasa Seno lebih santai karena lebih banyak berbentuk ujaran sehari-hari.
Hal kedua yang perlu diperbandingkan adalah dalam hal latar nyata bagi wacana sosial politik masing-masing karya. Drama SJ sudah jelas berbicara tentang implikasi kebijakan operasi militer di Aceh, drama Seno mengacu pada peristiwa-peristiwa penculikan terhadap aktifis yang sama halnya juga dalam drama Soni. Dalam drama Soni tokoh adalah subjek yang mengalami kekerasan politik tersebut. Sementara tokoh dalam drama Seno adalah kerabat dari subjek langsung kekerasan politik tersebut dan bagaimanapun ikut menderita. Untuk drama SJ, tokoh-tokohnya sebetulnya adalah wakil dari seluruh rakyat Aceh. Jadi dalam drama tersebut subjeknya lebih luas karena lebih terang pewakilannya. Jadi contoh dari wacana kekerasan sosial-politik sebagai teks hipogram ketiga karya diwujudkan dalam latar spesifik masing-masingnya. Kemudian perbedaan dapat kita lihat lagi dalam hal penyelesaian persoalan pada masing-masing cerita. Dalam drama Soni, tokoh adalah yang telah melewati masa-masa penindasan tersebut dan tinggal berharap pada generasi muda. Dalam drama Seno, tokoh-tokohnya hanya bisa menerima kenyataan akan penindasan politik tersebut dan tak bisa berbuat apa-apa. Pada drama SJ, tokoh Ibrahim mengambil keputusan untuk melawan terhadap penindasan yang dihadapinya. Cuma menariknya, jika dalam dua drama yang lain tokoh-tokohnya akur menerima kenyataan yang harus diterima. Tokoh-tokoh dalam drama SJ, Ibrahim dan Polem berbeda pendapat dalam mencari penyelesaian bagi penderitaan mereka, bagaimanapun mereka tetap sependapat dalam hal bahwa mereka tak bisa diam saja.
Inilah beberapa perbandingan yang bisa kita lihat dari tiga teks drama tersebut yang bersama-sama berhipogram kepada wacana tentang tema sosial politik. Betapa kita lihat selain ada hal-hal serupa dalam pentransformasian mereka, namun juga ada variasi yang muncul sebagai kreatifitas individu setiap karya. Dan estetika individu inilah yang menjadi identitas pada setiap karya yang barang berhipogram kepada satu teks yang sama.
SIMPULAN DAN SARAN
Hal-hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan secara interteteks terhadap ketiga drama ini, yang sama-sama berhipogram kepada wacana tematis tentang kekerasan sosial politik adalah: pertama, wacana sosial-politik ternyata cukup mendapat apresiasi dalam garapan karya sastra drama. Kedua, sesuai latar belakang estetika pengarang dan sesuai spesifikasi masalah yang ingin diceritakan, teks hipogram yang berupa wacana sosial-politik tersebut menemukan variasi estetikanya pada masing-masing karya dalam bentuk tingkat keabsurdan serta diksi-diksi bahasanya serta juga variasi aplikasi latar tema yang diungkap.
Saran-saran yang bisa disampaikan dari hasil pembahasan ini adalah: disebabkan wacana sosial-politik adalah tema yang cukup menarik untuk diteliti berbagai kemungkinan relevansi wacana dan pemerbandingannya dalam karya-karya sastra Indonesia maka tentu akan sangat diharapkan penelitian selanjutnya dan lebih jauhnya untuk memperkaya teori-teori yang bisa dihasilkan dari penelitian kesusastraan.








DAFTAR PUSTAKA
1.Jabrohim (ed). 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
2.Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra ; Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
3.Ajidarma, Seno Gumira. 2001. “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” terdapat dalam kumpulan drama Mengapa Kau Culik Anak Kami?. Yogyakarta: Galang Press.
4.Maulana, Soni Farid. 2003. “Orang Malam” dimuat dalam Majalah Horison edisi XXXVI (april 2003).
5.Juned, Sulaiman. 2003. “Jambo (Luka Tak Teraba)” dimuat dalam Majalah Horison edisi XXXVII (november 2003).
6.Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan Dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

1 comment:

Unknown said...

Salam kreatif, trimks! anda telah berkenanan menelisik karya saya. Sukses selalu, maju terus sastra dan sastrawan Indonesia.(Sulaiman Juned)