Sunday, April 22, 2007

TEMA KEMANUSIAAN
DALAM KUMPULAN CERPEN KUDA TERBANG MARIA PINTO
KARYA LINDA CHRISTANTY


SKRIPSI


diajukan untuk memenuhi persyaratan akademik
Program S-1 Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra - Universitas Padjadjaran


Wemmy al-Fadhli
H1A01018







JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
Universitas padjadjaran
2007




ABSTRAK

Penelitian ini bertujan untuk mengetahui tema kemanusiaan dalam kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto karya Linda Christanty. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktural dengan penekanan pada aspek tematik. Dengan menggunakan pendekatan objektif melalui analisis struktur karya diharapkan dapat dibongkar nilai-nilai yang terkandung dalam objek analisis terkait dengan aspek tematiknya sebagai tujuan utama penelitian. Tema kemanusiaan merupakan narasi utama yang terlihat menjadi benang merah pemaknaan atas kumpulan cerpen ini.













ABSTRACT

The objective of this research is to observe humanity theme in Kuda Terbang Maria Pinto written by Linda Christanty. The method that used in this research is structuralism with focused on theme aspect. Used objective approach with structur analiysis—hooked theme aspect as an object—this research will become distangled variously senses and values on this literary work. Humanism look as a grand narration of this short story collection.




…dari cahaya? Dari ketiaknya tercium harum bunga
yang membuat kuntum-kuntum mawar di halaman menunduk
dan kelopaknya memerah karena malu.”
BIDADARI yang Mengembara.cerpen: as sulak,







Essli(li)n, “Segala usaha untuk tiba pada penafsiran yang jelas dan tertentu melalui analisis kritis, akan sebodoh mencari garis-garis jelas yang tersembunyi di balik kesamaran lukisan Rembrandtj dengan mengikis habis tinta-tintanya.”





“Orang-orang yang bijaksana memuliakan tuhan, meskipun ia sedang diam. Tetapi orang-orang bodoh mengotori Tuhan, meskipun ia sedang berdoa dan memberikan pengorbanan.” (Porphyry, 233-301 M)







“Karena mengajari orang lain, sama artinya
dengan belajar dari orang lain.”
(Drs. Putu Sedana, Sastrawan Bali)



dalam mentertawakan diri sendiri,
wemmy selalu mewanti kita:
“Hati-hati dengan Permukaan.”
[Aporisma kumaha urang]

Jabar, thanks & goodbai,


























…lembar tak berguna itu akan kukirimkan
kepada engkau ibubapakku.

Semoga d is ana bisa menjadi berharga,
di atas dinding berbingkai kaca.

Kaca-kaca airmata…













…dari cahaya? Dari ketiaknya tercium harum bunga
yang membuat kuntum-kuntum mawar di halaman menunduk
dan kelopaknya memerah karena malu.”
BIDADARI yang Mengembara.cerpen: as sulak,



























“Karena mengajari orang lain, sama artinya
dengan belajar dari orang lain.”
(Drs. Putu Sedana, Sastrawan Bali)



dalam mentertawakan diri sendiri,
wemmy selalu mewanti kita:
“Hati-hati dengan Permukaan.”
[Aporisma kumaha urang]

Jabar, thanks & goodbai,




KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Tema Kamanusiaan dalam Kumpulan Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto Karya Linda Christanty”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan ujian sarjana pada Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan dorongan baik moral dan material dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada:
1.Bapak Dr. Dadang Suganda, selaku dekan Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
2.Bapak R. Yudi Permadi, M. Hum., selaku ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran.
3.Bapak Abdul Hamid, Drs., selaku pembimbing utama atas segala bantuan, masukan, saran, dukungan, dan waktu yang telah diberikan pada penulis.
4.Bapak Nana Suryana, Drs, selaku pembimbing pendamping atas segala bantuan, masukan, saran, dukungan, dan waktu yang telah diberikan pada penulis.
5.Ibu Hj. Yetti Setianingsih, Dra., selaku dosen wali penulis atas segala bantuan, masukan, saran, dukungan, dan waktu yang telah diberikan pada penulis.
6.Seluruh staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia pada khususnya dan Fakultas Sastra pada umumnya atas segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan pada penulis semasa masa perkuliahan.
7.Bapak Andi dan Lili, beserta segenap karyawan SBA dan SBK Fakultas Sastra lainnya, yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan finansial penulis selama masa perkuliahan.
8.Seluruh kawan-kawan sekelas yang bagaimanapun memberikan pengalaman hidup kepada penulis.
9.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak.
Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, kritik dan saran akan sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan.


Jatinangor, April 2007

Penulis




LEMBAR PENGESAHAN


Judul : Tema Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto Karya Linda Christanty
Penyusun : Wemmy al-Fadhli
NPM : H1A 01018



Jatinangor, April 2007

Pembimbing I, Pembimbing II,

Nana Suryana, Drs. Abdul Hamid, Drs.
NIP, 131954729 NIP, 131573157


Disahkan Diketahui
Dekan Fakultas Sastra Ketua Jurusan
Universitas Padjadjaran, Sastra Indonesia,


Dr. Dadang Suganda R. Yudi Permadi, M.Pd.
NIP, 131472538 NIP, 132102803


LEMBAR PENGESAHAN


Judul : Tema Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto Karya Linda Christanty
Penyusun : Wemmy al-Fadhli
NPM : H1A 01018



Jatinangor, April 2007

Pembimbing I, Pembimbing II,

Abdul Hamid, Drs. Nana Suryana, Drs.
NIP, 131573157 NIP, 131954729


Disahkan Diketahui
Dekan Fakultas Sastra Ketua Jurusan
Universitas Padjadjaran, Sastra Indonesia,


Dr. Dadang Suganda R. Yudi Permadi, M.Pd.
NIP, 131472538 NIP, 132102803






DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan
Lembar Persembahan
Abstrak i
Abstract ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Pembatasan Masalah 11
1.3 Tujuan Penelitian 13
1.4 Metode Penelitian 13
1.5 Sistematika Penulisan 14
BAB II LANDASAN TEORI 15
2.1 Telaah Struktural 15
2.2 Cerpen 19
2.3 Struktur Cerpen 24
2.3.1Tema 26
2.3.2Tokoh 35
2.3.3Latar 38
2.3.4Sudut Pandang 41
2.4 Kemanusiaan 43
BAB III TEMA KEMANUSIAAN
DALAM KUMPULAN CERPEN KUDA TERBANG MARIA PINTO KARYA LINDA CHRISTANTY 50
3.1Corak Estetis Kumpulan Cerpen KTMP 50
3.1.1Gaya Realis dan Surealis 51
3.1.2Diksi Puitis 56
3.2Ringkasan Cerita 62
3.2.1Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” 62
3.2.2Cerpen “Makan Malam” 63
3.2.3Cerpen “Pesta Terakhir” 63
3.2.4Cerpen “Balada Hari Hujan” 64
3.2.5Cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” 64
3.2.6Cerpen “Makam Keempat” 65
3.3Struktur Umum 66
3.3.1Tokoh 66
3.3.2Latar 83
3.3.3Sudut Pandang 87
3.4Tema 89
3.4.1Kehampaan Jiwa dan Kesetiaan terhadap Tugas
dalam Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” 89
3.4.2Derita Seorang Ibu dan Makna Keutuhan Sebuah Keluarga
dalam Cerpen “Makan Malam” 94
3.4.3Antara Rahasia Pengkhianatan
dan Usaha Untuk Menjaga Persahabatan
dalam Cerpen “Pesta Terakhir” 98
3.4.4Seorang Waria yang Dilukai Hatinya
dalam Cerpen “Balada Hari Hujan” 104
3.4.5Kampung Halaman, Segala Kenangan, dan yang Tersisa Darinya dalam Cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” 107
3.4.6Mencintai Buah Hati yang Diam-Diam Telah “Pergi”
dalam Cerpen “Makam Keempat” 113
BAB IV SIMPULAN 119

Daftar Pustaka 122
Riwayat Hidup
Ucapan Terima Kasih












BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah
Sastra didefenisikan Sumardjo (1997: 3) sebagai ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Pengertian pengalaman tidak harus selalu merujuk pada pengungkapan pengalaman pribadi seorang individu saja. Dengan daya imajinasi yang tinggi dan daya pengamatan yang teliti dan tajam, dapat diciptakan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang bisa jadi juga bersumber dari masyarakat umum (Hanafi, 1984:9)
Dari defenisi tersebut bisa dipahami bahwasanya karya sastra diciptakan oleh sastrawan berdasarkan pengalaman, pikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinannya. Hal-hal tersebutlah yang diolah sastrawan dengan menggunakan kemahirannya dalam berkreasi atas potensi estetis bahasa. Kemahiran dalam mengaplikasikan ungkapan pribadi inilah yang membedakan sastrawan dengan masyarakat pada umumnya.
Sebagaimana diketahui, sastrawan memiliki karakteristik yang unik dalam memandang persoalan-persoalan hidup dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Jiwa yang selalu gelisah, benturan antarnilai akibat kompleksitas cara memandang atas berbagai persoalan kehidupan, serta perbedaan cara melihat persoalan kehidupan tersebut dengan pandangan masyarakat di sekitarnya merupakan sebuah karakteristik umum yang menghinggapi seorang pengarang karya sastra.
Segala perbedaan antara sastrawan dengan masyarakat pada umumnya itu menyebabkan terciptanya produk kreatif bernama karya sastra. Kreativitas yang dihasilkan dalam sebuah karya sastra inilah yang membuat dikenali akan adanya kebaruan dalam karya sastra. Kebaruan tersebut meliputi penyegaran cara pandang bagi masyarakat dalam melihat kehidupan ini. Kesegaran itu diperoleh karena keunikan cara pandang yang dimiliki oleh sastrawan dalam menghayati kehidupan ini dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan.
Saini K.M. (1990: 14-16 & 49-50) mengemukakan adanya tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan. Sastra, sebagai bagian dari kesenian seperti halnya filsafat dan ilmu pengetahuan, adalah salah satu dari lembaga manusiawi yang menjadi sarana bagi manusia untuk berupaya mengendalikan lingkungannya. Lingkungan itu baik berupa lingkungan jasmani ataupun berupa lingkungan rohani. Sastra sebagai seni, dengan demikian, jelas mempunyai hubungan dengan kehidupan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kedudukan sastra itu dalam hubungannya dengan kehidupan.
Kedudukan pertama adalah sebagai “pemekat” (intensifikator). Dalam karya-karya sastra yang memekatkan, pengalaman kehidupan disaring, dijernihkan, diambil sarinya, dan dikristalkan hingga pembaca dapat mengambil hikmah dan kekayaan pengalaman itu dengan mudah dan dalam waktu singkat.
Kedudukan kedua adalah sastra sebagai penentangan terhadap kehidupan. Dalam perihal seperti ini gambaran yang dilukiskan sastra bertentangan dengan kehidupan yang dihadapi pembaca. Penentangan ini dimaksudkan agar pembaca bisa melihat kehidupan dari perspektif lain sehingga bertambah jelaslah gambaran tentangnya.
Kedudukan sastra yang ketiga adalah mengolah dan mendistorsi gambaran kehidupan sehingga menjadi sesuatu yang menggelikan. Kemampuan untuk menertawakan sesuatu, termasuk diri sendiri, merupakan kemampuan untuk mengambil jarak dan memandang sesuatu dengan lebih objektif. Hal ini sesuai dengan perkataan Budi Darma dalam penutup Olenka, “Untuk dapat melihat diri kita sendiri dengan benar kita tidak selayaknya menjadi narkisus, yang selalu melihat dirinya sebagai tampan tanpa mengantongi penyakit”. Kemampuan memperolok-olokkan ini membantu pembaca untuk merenungkan kehidupan dengan lebih luas, mendalam, dan mendasar. Melalui perenungan itulah diharapkan pembaca akan dapat mengambil hikmah dalam bentuk kemampuan mengendalikan kehidupan mereka secara lebih baik.
Dalam hubungannya dengan dunia pemikiran, Wellek & Warren (1990: 134-135) mengemukakan bahwa sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Oleh karena itu, sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai suatu pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Filsafat atau dunia pemikiran tentulah sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Supadjar (2003: 43) menyatakan bahwa umumnya tema kefilsafatan dalam karya sastra yang menonjol itu adalah mengenai soal-soal kemanusiaan, baik aspek kejiwaannya atau moral sosial, terutama yang menyangkut keadilan.
Kemanusiaan adalah bentuk pembendaan dari kata sifat manusiawi. Manusiawi berarti bersifat manusia (kemanusiaan) dan kemanusiaan adalah sifat-sifat manusia atau secara manusia dan sebagai manusia (KBBI, 2003: 714). Oleh karena itu, tema-tema kemanusiaan dalam karya sastra tidak pelak lagi dengan berbagai cara membicarakan manusia dan karakteristiknya, manusia dengan segala tragedi dan kepedihannya, serta manusia dan kehidupannya.
Dalam usahanya memecahkan manusia sebagai misteri, para pengarang yang baik berkesimpulan bahwa hidup memang pahit. Kebahagiaan yang dicetuskan di sana-sini dalam karya-karya yang baik akhirnya dikalahkan oleh dominasi kepahitan hidup. Hampir semua karya sastra yang baik mengimplikasikan, bahwa manusia adalah keterbatasan. Dalam karya mereka kita melihat berkecamuknya manusia yang tidak jujur, manusia yang putus-asa, manusia yang diinjak dan sebagainya. Sementara yang baik itu belum tentu menang dan yang jelek belum tentu mendapat hukuman yang setimpal. Kalau dilihat dari segi ini saja, akan nampak bahwa sastra menyadarkan manusia atau lebih menyadarkan manusia, bahwa hidup adalah pahit dan bahwa keadilan belum tentu dapat menjalankan tugasnya. Kalau sastra dianggap sebagai jalan untuk memanusiawikan manusia dan memang demikian, caranya adalah justru dengan menunjukkan bahwa hidup adalah pahit. Sastra justru menunjukkan kenyataan dan bukannya menipu atau mengatakan apa yang seharusnya terjadi tapi tidak terjadi. Karena itu, yang tertinggal dalam renungan seseorang yang telah mengalami katarsis adalah juga kepahitan hidup. (Darma, 1984: 70)
Soal-soal kemanusiaan dan kehidupan tersebut salah satunya bisa ditampilkan dalam bentuk cerpen. Cerpen sebagai salah satu sarana pengungkapan nilai-nilai kehidupan dalam beberapa hal tidak kalah dengan karya sastra lainnya (Suharjana, 2000: 10). Dengan kesingkatannya cerpen mampu menjelaskan atau memaparkan bentuk-bentuk gejala sosial yang kompleks. Selain itu, cerpen merupakan salah satu bentuk kesusastraan yang cukup menonjol dewasa ini. Adanya media publikasi dengan siklus penerbitan instan seperti koran, majalah, dan internet—yang semakin menonjol kehadirannya dewasa ini—membuat bentuk sastra seperti cerpen tertunjang eksistensinya. Hal ini disebabkan format cerpen sendiri yang memang sesuai dengan perputaran yang cepat, ringkas, dan bergegas tersebut. Sebuah cerpen selain dipublikasikan lewat media di atas sebagian juga diterbitkan secara konvensional lewat bentuk buku kumpulan cerpen.
Kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto (KTMP) karya Linda Christanty (LC) merupakan salah satu karya sastra yang lahir dari situasi tersebut. Semua cerpen yang dimasukkan ke dalam kumpulan cerpen tersebut adalah karya yang sudah pernah dipublikasikan di berbagai media massa nasional dan daerah meski dalam buku kumpulan cerpen itu sendiri tidak diterangkan karena persoalan dalam teknis proses penerbitan (http://www.vision.net.id/detail.php?id=3975). Karya-karya tersebut dipublikasikan pertama kali dalam rentang tahun 2000 hingga tahun 2004 saat kumpulan cerpen ini diterbitkan.
Walaupun LC merupakan seorang pendatang baru dalam kancah sastra Indonesia, kumpulan cerpen karangan perempuan lulusan UI kelahiran Bangka (1970) yang kini tengah menulis novel tentang perburuhan di Indonesia ini dipandang cukup mengejutkan mata khalayak sastra Indonesia ketika berhasil meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2004. KLA ini sendiri adalah sebuah penghargaan yang cukup diakui di Indonesia (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102005/8/khazanah/index.html). Nama-nama besar seperti Goenawan Mohammad, Remy Silado, dan Hamsad Rangkuti juga pernah meraih penghargaan yang baru dimulai pada tahun 2000 ini.
Keberhasilan KTMP ini juga seperti memberi warna baru dalam peta sastra perempuan Indonesia. Dalam ajang tersebut, karya ini, berdua dengan Negri Senja karya Seno Gumira Ajidarma, berhasil menyingkirkan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Mahesa Ayu. Padahal pada masa itu sedang mewabah tren penulisan berani tentang seks oleh kalangan penulis perempuan. Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Mahesa Ayu sendiri belum genap setahun terbit telah mengalami cetak ulang keempat. Hal ini, seperti dikemukakan Sambodja (http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/ 0402/bud2.html), merupakan hal yang tergolong luar biasa karena mampu mengalahkan buku pelajaran dalam hal cetak ulang. Akan tetapi, KTMP bisa mengalahkan popularitasnya di ajang KLA 2004.
Sambodja menyatakan bahwa penilaian dewan juri KLA 2004 ini sungguh membesarkan hati para pengajar sastra di sekolah-sekolah karena ternyata karya sastra yang berhak mendapat penghargaan itu bukanlah karya sastra yang sekadar merangsang kelamin pembacanya, melainkan juga yang merangsang pemikiran dan nurani pembacanya. Hasil riset Associated Press (AP) 2003 mendudukkan Indonesia di peringkat kedua setelah Rusia dalam hal pornografi (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/14/khazanah/index.html). Oleh karena itu, kehadiran KTMP karangan seorang penulis perempuan ini sungguh mengharukan.
Hal berbeda dikemukakan Susmana (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/27/Buku.html). Dia menganggap karya LC ini tidak sejalan dengan daya juang dan keberanian penulis perempuan dewasa ini yang berbicara tentang seks secara blak-blakan. Dalam soal perjuangan kaum perempuan, tulis Susmana, cerpen-cerpen LC masih terasa menggantung. Namun, seperti kemukaan Saidi (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/04/21/0006.html), premis tentang ideologi patriarkat yang dianggap menekan kaum perempuan seperti didengungkan kaum feminis perlu ditelusuri kembali. Dalam menafsirkan karya sastra (dengan wacananya yang ambigu), subjektivitas seorang aktivis feminisme bisa berpengaruh terhadap hasil pemaknaan. Padahal dengan cara lain (atau sudut pandang berbeda) sebuah karya bisa saja ditafsirkan sebaliknya, termasuk dalam hal nilai-nilai feminisme.
Kemenangan kumpulan cerpen ini dalam ajang KLA 2004, seperti kemukaan para juri, adalah karena kumpulan cerpen ini dilihat mampu menjadikan bahasa sebagai ”kendaraan” yang membimbing pembacanya memasuki relung-relung batin paling tersembunyi dan tak terduga (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/13/ hib01.html). Peristiwa yang dilukiskan LC dengan ringkas tetap mampu menyiratkan banyak dimensi. Selain itu, dalam kumpulan cerpennya ini, LC dipandang memiliki kekuatan dalam hal yang amat mendasar yaitu makna. LC mampu menjaga koherensi antara teknik dan tema dengan memanfaatkan konvensi-konvensi dalam teknik retorika dan piranti sastra serta menata dan meraciknya secara kreatif sesuai dengan tema. Wajar kiranya Sapardi Djoko Damono, pada sampul belakang kumpulan cerpen ini, menilai bahwa kumpulan cerpen ini menjadi bayangan bagi perkembangan cerpen di masa depan.
Litbang Kompas dalam sebuah resensinya menyatakan bahwa semua cerpen dalam kumpulan cerpen ini sungguh menarik karena semuanya mengangkat tema kemanusiaan (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/ 22/pustaka/ 1037030.html). Sastrawan senior Sutardji, dalam catatannya di sampul belakang buku kumpulan cerpen ini, memuji LC karena dalam sebagian besar cerpennya, “kelamin prosa dan kelamin puisi menyatu bersejiwa melahirkan pukauan mengasyikkan, mengatasi namun meninggikan ikhwal pesan pada tukikan kedalaman yang mencerahkan”. Menampilkan tema-tema kemanusiaan tanpa menyerahkan sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan bukanlah upaya gampang. LC, tegas Sutardji, mampu menaklukkan kemuskilan ini.
Dalam wawancara dengan Wimar Witoelar, LC mengatakan bahwa soal-soal kemanusiaan sangatlah menjadi perhatiannya (http://www.balipost.co.id/ BaliPostcetak/2004/6/14/rubrik.html). Ajaran-ajaran dari kakeknya yang seorang aktivis kaum buruh sewaktu LC kecil, dan aktivitasnya sendiri sebagai penentang pemerintahan Soeharto setelah dia dewasa, membentuk kepeduliannya pada soal-soal kemanusiaan tersebut. Oleh karena itu, Witoelar dalam wawancara tersebut menyebut LC sebagai “begitu tenggelam dalam dunia kepedihan dan ekspresi kemanusiaan”. Sekarang ini bahkan LC sedang bekerja sebagai redaktur pada kantor berita Pantau di Banda Aceh, daerah yang sempat dilanda tragedi kemanusiaan besar berupa bencana tsunami. Hal ini menunjukkan keterlibatan langsung dan secara mendalam LC pada soal-soal kemanusiaan.
Dalam KTMP karya LC ini juga terlihat bagaimana dunia kepedihan dan ekspresi kemanusiaan itu digarap dalam membicarakan kemanusiaan. Kumpulan cerpen ini terlihat begitu dalam menggarap persoalan kemanusiaan dan jauh memasuki relung-relung kehidupan. Dalam bahasanya Witoelar, “Linda begitu tenggelam dalam dunia kepedihan dan ekspresi kemanusiaan”. Berikut sebuah kutipan dari salah satu cerpen LC dalam kumpulan cerpen ini:
Siang itu aku menyambut jam makan dengan perasaan aneh. Elia memanggang ikan hiu. Aku tak mau makan daging hiu. Siapa tahu putri kami dimakan hiu. Kata orang-orang, Paula dibuang ke laut dan mungkin dimakan hiu. Elia menghidangkan hiu panggang di meja makan, tapi aku cuma menyentuh sayur bening sawi. Air mata menggenangi sepasang mataku. Ada apa, tanya Elia. Tangisku makin keras. Ada apa, ia bertanya lebih lembut. Putri kita ada dalam hiu ini, bisikku, tersendat-sendat. Ia langsung tersedak, beranjak dari kursi, menangis di tepi bak cucian. Tak berapa lama ia kembali, meraih piring ikan di meja, lalu menuang isinya ke tong sampah.
Di malam hari, aku memutuskan bicara pada istriku tentang Paula. Aku tak mau lagi menunggu putri kami setiap malam. Aku ingin Paula tenang. Aku ingin kami menjalani hidup tenang tanpa dia. Biarlah, anak kita bersama ibu, kataku. Istriku mengangguk pelan. (hlm.133)

Kutipan di atas diambil dari cerpen “Makam Keempat” yang bercerita tentang rasa kehilangan orang tua (tokoh Aku dan Elia, istrinya) terhadap anaknya (tokoh Paula). Rasa kehilangan tersebut terutama dialami tokoh Aku (ayah) yang menjadi pusat pengisahan. Pada cerpen ini diceritakan bagaimana tokoh Aku ini mengalami sebuah halusinasi sebagai manifestasi atas harapannya akan kehadiran putri tunggalnya yang telah sangat tipis kemungkinan untuk akan kembali lagi ke rumah. Bayangannya tentang kemungkinan bahwa hiu di piring makannyalah yang telah memakan putrinya juga memperlihatkan bentuk kepedihan ini. Meski peristiwa dalam cerpen ini utamanya terkait dengan aktivitas politik tokoh Paula, makna cerpen ini justru lebih tergarap lewat eksplorasiasi perasaan tokoh Aku sebagai sosok ayah yang tidak tahu di mana “rimba” anak gadis semata wayangnya.
Kemudian juga, baik peristiwa maupun makna yang bisa didapat dari cerpen ini terlihat berimbang menghadirkan dan mengangkat tema kemanusiaan. Dengan kata lain cerpen ini cukup kuat menggarap dialektika antara makna dan peristiwa sebagaimana teori Ricoeur—hasil interpretasi Ignas Kleden untuk penerapan pada cerpen—tentang sense dan reference (Kleden, 2004: 128). Selain itu, kesegaran dan kebaruan juga didapat karena tokoh yang dieksploitasi perasaannya adalah sosok lelaki bukan seorang ibu dan kepekatan serta ironi atau kontras atas kenyataan umum didapat karena yang menghilang karena aktivitas politik melawan pemerintah tersebut adalah seorang anak perempuan, semata wayang pula.
Karya sastra merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas. Akibatnya karya sastra menjadi lain dan tidak lazim, namun juga bersifat kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi terbata-bata untuk berkomunikasi dengannya (Nurgiyantoro, 2000: 34 – 35). Untuk itulah kumpulan cerpen KTMP karya LC ini dianalisis.

1.2Pembatasan Masalah
Kumpulan cerpen KTMP karya LC ini memuat dua belas cerpen. Semuanya bertema kemanusiaan. Variasi bahasan atas narasi besar kemanusiaan ini dihadirkan beragam. Hubungan antara pengalaman kemanusiaan dengan sejenis trauma politis ataupun sekedar berupa penghadiran latar peristiwa politik dapat ditemukan pada cerpen “Makan Malam”, “Pesta Terakhir”, “Danau”, “Rumput Liar”, dan “Makam Keempat”. Lebih spesifik lagi, peristiwa politis ini dihadirkan atau sangat dikaitkan dengan bentuk kejadian perang. Ini terdapat pada cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”, “Perang”, “Joao”, dan “Qirzar”.
Cerpen “Lubang Hitam” dan “Balada Hari Hujan” mengupas dan membahas sisi kemanusiaan manusia dari sisi perilaku seksualnya. Lebih tepatnya dua cerpen ini mengedepankan keberlainan seksualnya. Penyimpangan terhadap normalitas di masyarakat kebanyakan, apalagi menyangkut aspek sensitif, bisa berakibat fatal bagi timbulnya tragedi kemanusiaan dalam jiwa tokoh-tokoh yang bukan orang kebanyakan. Cerpen pertama mengemukakan sosok lesbian dan pelaku seks inses; cerpen kedua menampilkan seorang waria.
Terakhir, cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” tegak sendiri menghadirkan tema kemanusiaan yang kurang politis, tanpa perang dan konflik, serta sama sekali jauh dari isu seksual. Ikatan batin pada keluarga dan tanah kelahiran merupakan segi yang mengemuka dalam cerita yang sanggup menghadirkan romantisme dalam bentuk tak biasa-biasa saja ini. Tentu saja, wacana simpati dan empati kemanusiaan pada akhirnya menjadi sangat mengemuka pada cerpen yang berbicara tentang hubungan antarmanusia ini, sebagaimana juga cerpen-cerpen lainnya.
Dalam analisis ini penulis membatasi pada enam cerpen dari dua belas cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen KTMP karya LC ini. Penulis membatasi analisis keenam cerpen tersebut pada unsur tema yang dianggap mewakili kedua belas cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen ini. Tema kemanusiaan yang menjadi pokok analisis ini kehadirannya begitu menonjol dalam keenam cerpen ini. Kemenonjolan unsur tema ini terbukti dengan lakuan yang ditampilkan tokoh pada setiap cerpen. Hal ini bukan berarti unsur-unsur yang lain tidak ada, tetapi sebagai pendukung munculnya tema.
Dalam cerpen yang baik akan terkandung tema yang baik dan bermanfaat untuk pembaca. Dengan demikian, unsur tema dalam cerita sangat penting di samping unsur lainnya. Tema karya sastra selalu berkaitan dengan salah satu masalah kehidupan dan masalah tersebut dihadapi dan dialami manusia (Suharjana, 2000: 11). Pemilihan judul-judul cerpen yang dipilih ini didasari kesamaan tema-tema kemanusiaannya yang begitu dominan. Keenam cerpen yang menjadi bahan analisis tersebut yaitu:
1.“Kuda Terbang Maria Pinto”,
2.“Makan Malam”,
3.“Pesta Terakhir”,
4.“Balada Hari Hujan”,
5.“Lelaki Beraroma Kebun”, dan
6.“Makam Keempat”.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Mengetahui kesatuan tematik cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen KTMP karya LC.
2.Mendeskripsikan makna-makna dan nilai-nilai yang didapat dari enam cerpen yang dianalisis terkait benang merah tema yang diusung kumpulan cerpen ini dan variasi nuansa atas tema tersebut pada setiap cerpennya.

1.4Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode struktural. Metode struktural adalah metode yang mengkaji karya sastra sebagai struktur yang dibangun oleh unsur-unsur seperti tema, tokoh, alur, dan latar. Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dkk. dalam Suwondo, 2003b: 54). Dengan menggunakan teori struktural, yang menjadi pelopor masuknya pendekatan objektif ke Indonesia pada 1960-an, diharapkan dapat dihasilkan hasil-hasil yang baru sekaligus maksimal dalam memahami karya sastra (Ratna, 2004: 73).
Metode struktural yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan permasalahan kemanusiaan yang dieksplorasi dalam kumpulan cerpen KTMP karya LC. Jadi, unsur-unsur karya sastra berusaha dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar permasalahan tempat dan fungsi unsur-unsur tersebut dalam keseluruhan karya sastra (Pradopo, 1995: 41). Dalam kaitan ini Teeuw (1984: 35) menyatakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendetail mungkin keterjalinan semua anasir dan semua aspek yang terdapat dalam karya tersebut.
Teknik analisis dibagi menjadi empat tahap yaitu:
1.Membaca karya sastra (kumpulan cerpen) secara linear sampai mendapat kejelasan tentang semua isi karya tersebut.
2.Memilih cerpen-cerpen yang dinilai mampu mewakili keseluruhan cerpen dalam karya tersebut.
3.Mengidentifikasi unsur-unsur seperti tokoh, latar, dan sudut pandang.
4.Melihat hubungan antarunsur tadi sehingga menghasilkan kebulatan tema yang global sebagai nyawa yang menjadi akhir analisis.

1.5Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun atas empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berupa landasan teori tentang strukturalisme, cerpen, struktur cerpen, dan kemanusiaan.
Bab III merupakan pembahasan yang meliputi corak estetis, ringkasan cerita, analisis struktur umum, dan pembahasan tema kemanusiaan setiap cerpen.
Bab IV berisi simpulan.












BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Telaah Struktural
M.H. Abrams menyajikan empat model pendekatan dalam studi sastra. Keempat model ini, dengan konsep dan tata kerja masing-masing, dipandang telah mencakup keseluruhan situasi dan orientasi karya sastra. Keempat model tersebut juga dipandang telah mengandung pendekatan kritis utama terhadap karya sastra. Keempat model tersebut adalah: (1) pendekatan ekspresif, (2) pendekatan pragmatik, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan objektif (Pradotokusumo, 2002: 45).
Pendekatan ekspresif adalah model yang menonjolkan pengkajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra. Pendekatan pragmatik adalah model yang lebih menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat sastra. Pendekatan mimetik lebih berorientasi pada aspek referensial yang terkait dengan kenyataan atau dunia nyata. Pendekatan objektif adalah model yang memberikan perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik.
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur (Ratna, 2004: 72). Kritik sastra objektif, kata Sayuti (Suwondo, 2003: 167), mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari pengarang, audiens, dan dunia yang melingkupinya. Kritik ini memerikan karya sastra sebagai objek yang mencukupi dirinya sendiri atau sebagai dunia dalam dirinya sendiri; yang hendaknya dianalisis dan ditimbang dengan kriteria intrinsik seperti kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan interrelasi elemen-elemennya.
Prinsip objektif tersebut memiliki pengertian bebas dari unsur prasangka dan adanya distansi antara peneliti dengan objek yang diteliti. Menariknya, gejala-gejala dalam situasi kesastraan sering menuntut perhatian tersendiri (Soeratno, 2003: 12-13). Soeratno mengingatkan bahwa generalisasi sebagaimana yang dianjurkan oleh suatu metode penelitian positivistik tentu saja tidak dapat dilakukan mengingat karya sastra juga memiliki sifat unik dan khusus. Hal ini membuat seorang peneliti sastra mesti sangat berperan sebagai penyibak kekaburan (transferabilitas).
Pendekatan objektif baru masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 1960-an, dengan jalan mulai dikenalnya teori strukturalisme (Ratna, 2004: 73), meskipun pendekatan objekif di dunia Barat sama tuanya dengan umur puitika sebagai cabang ilmu pengetahuan sebagaimana bahasan Aristoteles dalam bukunya Poetica (Pradotokusumo, 2002: 45). Selden (1991: 53) mengatakan bahwa pendekatan-pendekatan struktur terhadap kesusastraan menantang beberapa kepercayaan yang paling dihargai oleh pembaca awam. Kebiasaan mengait-ngaitkan sebuah karya sastra dengan kenyataan atau pengarang, misalnya, sudah sejak dahulu menjadi kebiasaan umum; hal ini tentu berbeda dengan model pendekatan objektif yang berlepas diri dari hal-hal tersebut. Namun, seperti yang dikatakan Ratna (2004: 73), pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.
Hawkes—dalam pandangan yang sesungguhnya didasari oleh pandangan Aristoteles ketika menulis Poetica—mengatakan bahwa strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur (Teeuw, 1984: 120). Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun pada hubungan-hubungan daripada benda-bendanya sendiri. Dalam kesatuan hubungan itu, setiap unsur atau anasirnya tidak memiliki makna sendiri-sendiri kecuali dalam hubungannya dengan anasir-anasir lain sesuai dengan posisinya di dalam keseluruhan struktur. Dengan demikian, struktur merupakan sebuah sistem, yang terdiri atas sejumlah anasir, yang di antaranya tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam semua anasir lain (Strauss dalam Teeuw, 1984: 140-141).
Menurut Jean Piaget, sebuah struktur dapat diidentifikasi berdasarkan unsur-unsurnya. Pertama, struktur adalah tatanan. Dengan demikian, dalam struktur ada stabilitas. Kedua, struktur dicirikan oleh keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri. Struktur berfungsi menjaga keutuhan sebuah sistem bahasa dari erosi akibat perubahan waktu. Tapi, pada saat yang sama, struktur juga mengubah tindakan-tindakan bahasa ke arah yang lebih produktif, dan kemudian menstabilkannya kembali. Tegangan antara transformasi dan pengaturan-diri selalu intrinsik dalam setiap struktur. Tanpa tarik menarik antara kedua unsur tersebut, sebuah struktur tidak akan bertahan lama (Fayyadl, 2005: 32).
Terbitnya buku Cours de Linguistique Generale karya Ferdinand de Saussure dianggap sebagai permulaan pemikiran strukturalis (Krampen, 1996: 55-56; Fayyadl, 2005: 31). Dalam linguistik, pemikiran struktural de Saussure ini telah mengubah tekanan studi linguistik dari pendekatan diakoronik ke sinkronik. Dalam telaah karya sastra, pemikiran de Saussure ini secara langsung dianggap telah mempengaruhi langsung kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha (Nurgiyantoro, 2000: 36). Bahkan dia dianggap telah mempersiapkan jalan bagi lahirnya posstrukturalisme dalam kaitan dengan teori tentang otonomi tanda-tanda (atau makna-teks) dan kematian subjek, terlepas dari paradigma logosentrisme yang masih membayang dan menaunginya (Fayyadl, 2005: 61-62).
Analisis struktural karya sastra, seperti cerita rekaan, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsiknya. Pada awalnya diidentifikasikan dan dideskripikan, misalnya, bagaimana peristiwa terjadi, tema, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Kemudian dijelaskan fungsi setiap unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya dan bagaimana hubungan antar unsur-unsur itu sehingga secara bersama membentuk makna yang padu (Suharjana, 2000: 14; Nurgiyantoro, 2000: 37).
Analisis struktural dalam dunia kritik sastra telah begitu mengalami perkembangan dewasa ini. Analisis struktural juga dipandang memiliki banyak kelemahan karena melepaskan karya sastra dari banyak aspek ekstrinsiknya. Hal ini juga mengundang minat para kritikus kritis untuk mengembangkan model-model pendekatan lain sebagai reaksi atas strukturalisme, semisal semiotik dan dekonstruksi, atau mungkin nanti akan muncul lagi model terbaru yang lebih canggih. Pun begitu, Teeuw (1983: 61) berpendapat bahwa bagaimanapun juga analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi seseorang peneliti sastra sebelum ia melangkah ke hal-hal lain.

2.2 Cerpen
Cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 30). Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendeknya itu memang tidak ada aturannya; tidak ada satu kesepakatan antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe pernah mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya mustahil diperlakukan terhadap novel (Nurgiyantoro, 2000: 10).
Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali (berkisar 500-an kata); ada cerpen yang panjangnya cukupan (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Karya yang lebih panjang lagi dari cerpen disebut novelet; novelet ini lebih pendek dari novel.
Dalam pembedaan berdasarkan bentuk fisiknya tersebut ada juga jenis-jenis cerita pendek yang bukan cerpen. Jenis itu adalah fabel, yakni cerita yang pendek dengan tokoh-tokoh binatang yang mengandung ajaran moral. Ada juga parabel yakni cerita pendek yang mengambil-ambil ajaran agama dari bagian-bagian kitab suci. Cerita rakyat adalah juga cerita pendek, yakni tentang orang-orang atau peristiwa-peristiwa suatu kelompok suku atau bangsa yang diwariskan turun temurun, biasanya secara lisan. Ada juga anekdot, yakni cerita yang pendek berisi kisah lucu dan eksentrik dari tokoh-tokoh sejarah atau orang biasa baik nyata maupun hanya rekaan semata (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 36).
Kemudian, sebagai ciri dasarnya, cerpen memiliki sifat rekaan. Cerpen bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnya. Meskipun cerpen hanyalah rekaan, ia ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan. Apa yang diceritakan di cerpen memang tidak pernah terjadi, tetapi dapat terjadi semacam itu. Orang membaca cerita rekaan bukan sekedar membaca lamunan. Orang membaca cerita rekaan karena ia menunjukkan sesuatu sisi kenyataan.
Orang menghayati pengalaman seseorang, mengidentifikasikan diri dengan tokoh cerita rekaan sehingga dapat ikut mengalami peristiwa-peristiwa yang dihadapinya, perbuatan-perbuatannya, pikiran dan perasaannya, keputusan dan keputusasaanya, dilema-dilemanya, dan sebagainya. Kebenaran kehidupan bukan hanya dapat kita dekati melalui ilmu pengetahuan atau filsafat yang lebih banyak berdasarkan penalaran semata, tetapi juga lewat penghayatan perasaan orang lain. Aristoteles memformulasikannya dengan kata-kata bahwa sastra (termasuk cerpen) merupakan jalan keempat menuju kebenaran setelah filsafat, sains, dan agama.
Terakhir, cerpen bersifat naratif atau penceritaan (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 37). Cerpen bukanlah pencandraan (deskripsi) atau argumentasi dan analisis tentang sesuatu hal, tetapi cerita. Namun tidak setiap cerita dapat disebut cerpen. Dalam hal ini sebuah sketsa (penggambaran tentang sesuatu kenyataan), berita, dan kisah perjalanan dan petualangan juga berbentuk cerita, namun semua itu berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada dan telah terjadi.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita atau narasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta relatif pendek. Penceritaan atau narasi tadi harus dilakukan secara hemat dan ekonomis. Inilah sebabnya dalam sebuah cerpen biasanya hanya ada satu tokoh saja, hanya ada satu peristiwa, dan hanya ada satu efek saja bagi pembacanya. Semuanya harus serba ekonomis sehingga hanya ada satu kesan saja bagi pembacanya. Namun begitu, sebuah cerpen harus merupakan suatu kesatuan bentuk yang betul-betul utuh dan lengkap.
Ketunggalan peristiwa dalam cerpen dapat dipahami dalam bentuk hadirnya satu konflik utama di dalamnya. Sebagaimana skema tradisonal yang sudah umum dikenali tentang runtutan alur sebuah cerita, mulai dari tahap awal hingga akhir, dalam alur terdapat sebuah peristiwa klimaks yang umumnya dibangun dari tegangan yang dihasilkan konflik dalam cerita. Beragam peristiwa yang faktualnya juga serta ada dalam cerita pada akhirnya akan merujuk pada peristiwa utama yang dihadirkan dan ditonjolkan oleh lain-lain peristiwa tersebut.
Dari sekian peristiwa penting dalam sebuah cerita pada akhirnya akan dihasilkan satu peristiwa terpenting yang diangkat ke muka. Hal ini tentu saja terkait juga dengan tema pokok, pemusatan tokoh, pengintensifan sebuah latar, penyataan amanat utama, dan seterusnya. Dalam cerpen, dengan segala kesingkatannya, tentu pula hal demikian semakin berkecenderungan lebih kuat untuk terjadi. Hal ini pula yang membuat sebuah cerpen sering diidentifikasikan secara teoritis sebagai beralur tunggal.
Contoh ketunggalan peristiwa dalam sebuah cerpen ini dapat dilihat pada cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto. Cerpen karangan sastrawan sekaligus birokrat yang juga sempat terlibat dalam dunia kemiliteran ini sangat suspensif sekali menghadirkan ketunggalan konflik lewat pengklimaksan alurnya. Cerpen yang berlatarkan peristiwa sejarah Perjanjian Renville ini bercerita tentang sebuat tragedi kemanusiaan saat seorang ayah mesti memutuskan untuk mengakhiri nafas anak kandungnya.
Sersan Kasim, sang ayah tersebut, dijadikan pusat cerita dalam cerpen ini; namun, dengan melalui berbagai titik peristiwa. Berawal dari perjalanannya bersama prajurit-prajurit TNI lainnya dari Jawa Barat ke Yogya dengan membawa serta istri-anaknya, saat kematian istrinya di Yogya ketika melahirkan Acep, putranya, hingga cerita terus mengalir ke waktu perjalanan kembali Sersan Kasim bersama Acep ke tempat semula. Tentu saja pembagian garis besar ini bisa lebih akan beragam lagi satuan peristiwanya jika diurai dengan lebih detail. Namun dari sekian peristiwa itu, kejadian saat Sersan Kasim menenggelamkan Acep di Sungai Serayulah yang pada akhirnya paling jadi menonjol sebagai peristiwa. Dari peristiwa tersebut muncul sebuah tragedi yang sangat mengharukan. Tragedi ini terhubung erat pada tema kemanusiaan, sesuatu yang lebih universal daripada sekedar kepentingan politis berbagai negara yang sedang saling bertengkar.
Dalam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” karya Umar Kayam ternyata bisa juga didapat esensi ketunggalan peristiwa sebuah cerpen ini. Kepadatan cerita dalam sebuah cerpen pada cerpen ini bukannya didapat dari terdapatnya satu buah latar tempat, yakni apartemen Jane; justru kehadiran tempat yang tunggal tersebut memberikan peluang besar bagi tokoh-tokohnya yang terkurung secara fisik untuk mengelebatkan ingatan hingga fantasi mereka ke berbagai belahan tempat lainnya, baik yang nyata maupun yang khayalan semata. Jane terbayang Tommy, Empire State Building, Alaska, Paman Tom, hingga taman kota, sementara Marno terkenang istri dan kunang-kunang kampung halamannya. Ketunggalan peristiwa justru dihasilkan oleh peristiwa akhir setelah selesai sekian obrolan ke sana-sini sebelumnya: bagaimana menafsirkan menghilangnya Marno ke balik pintu yang terdengar sebentar beberapa langkah dan bantal tidur Jane yang basah?
Cerpen-cerpen yang berperistiwa tunggal ini, selain publikasi awal lewat kehadirannya di media massa, pada akhirnya dikumpulkan ke dalam sebuah buku sehingga menjadi sebuah kumpulan cerpen. Kumpulan cerpen yang terdiri atas beragam cerpen ini selain bisa pula seragam dan memiliki ketunggalan tema namun tak pelak pula bisa cukup sangat beragam menggarap berbagai tema. Namun dalam keragaman maupun keseragaman itu, sebuah cerpen karena kesingkatannya akan cukup sulit untuk menghindari ketunggalan peristiwa yang sudah semestinya hadir pada esensinya. Contoh-contoh di atas telah menunjukkan bukti-bukti.
Kumpulan cerpen pada dasarnya kumpulan beberapa cerpen yang termuat dalam sebuah buku. Cerpen yang dikumpulkan mungkin berasal dari seorang pengarang, dua atau tiga pengarang, atau sejumlah pengarang. Kumpulan cerpen biasanya memiliki kesamaan pada salah satu unsurnya. Kesamaan tersebut biasanya terletak pada tema keseluruhan cerpen yang ditampilkan (Suharjana, 2000: 9-10). Kumpulan cerpen merupakan sarana untuk menerbitkan cerpen dalam bentuk buku, selain alternatif mempublikasikan cerpen di media massa atau media on-line. Ada kecenderungan dewasa ini bahwa kumpulan cerpen adalah publikasi ulang dari cerpen-cerpen yang telah terlebih dahulu diumumkan lewat koran minggu yang memiliki ruang sastra. Selain itu tentunya ada saja cerpenis pemula yang punya nyali untuk menerbitkan secara independen karya perdananya sebagai sebuah perlawanan terhadap otoritas koorporasi kapital media-media publikasi mapan.

2.3 Struktur Cerpen
Secara tradisional, unsur-unsur dalam cerpen bisa digolongkan menjadi dua bagian. Pertama adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik ini meliputi tema, latar, penokohan, sudut pandang, alur, amanat, dan gaya bahasa. Unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai dalam membaca karya sastra. Kedua adalah unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ini antara lain meliputi pandangan hidup pengarang, situasi politik, ekonomi, dan sosial (Nurgiyantoro, 2000:23-24).
Stanton (Nurgiyantoro, 2000: 25) membagi unsur sebuah cerita rekaan kepada tema, fakta, dan sarana cerita. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, kemanusiaan, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering, tema dapat disinonimkan dengan ide dan tujuan utama cerita.
Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel. Oleh karena itu, ketiganya dapat pula disebut sebagai struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual (factual level) sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.
Sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan (literary devices), adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaannya sarana kesastraan adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi.
Berdasarkan tuntutan ekonomis serta efek pada pembacanya, biasanya penulis cerpen akan mementingkan salah satu unsur dalam cepennya (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 37). Dalam hal ini, penekanan salah satu unsur cerpen tidak berarti meniadakan unsur-unsur lainnya. Sebuah cerpen mesti lengkap, bulat, dan utuh. Artinya, harus memenuhi unsur-unsur bentuk yang sudah disebutkan tadi. Hanya pengarang dapat memusatkan (fokus) pada salah satu unsurnya saja yang mendominasi cerpennya, seperti aspek tema.

2.3.1 Tema
Tema adalah pokok pikiran atau dasar sebuah cerita. Tema dipakai sebagai dasar mengarang (KBBI, 2003: 1164). Hal ini berarti tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tapi mau mengatakan sesuatu pada pembacanya (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 56). Sesuatu yang hendak dikatakannya itu bisa jadi merupakan sebuah masalah kehidupan atau pandangan hidupnya tentang kehidupan ini. Bisa juga disebut komentarnya atas kehidupan ini.
Kejadian dan perbuatan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut. Sebuah cerpen selalu harus mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang kehidupan ini, sehingga orang bisa menjadi memahami kehidupan ini dengan lebih baik. Adanya tema membuat karya sastra lebih penting dari sekedar hiburan (Sudjiman, 1987: 50).
Dalam membaca cerita rekaan sering terasa bahwa pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi bercerita saja. Ada sesuatu yang dibungkusnya dalam bercerita. Dengan kata lain ada sebuah konsep sentral yang dikembangkannya dalam cerita itu. Alasan pengarang hendak menyajikan cerita ialah hendak mengemukakan suatu gagasan. Gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra tersebutlah tema.
Tema yang banyak dijumpai dalam karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara buruk dan baik. Secara lebih kongkret tema pertentangan baik dan buruk ini dinyatakan, misalnya, dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kelaziman melawan keadilan, atau korupsi melawan hidup sederhana.
Ada kalanya tema cerita dengan jelas dinyatakan, artinya dinyatakan secara eksplisit. Ada juga yang dinyatakan secara simbolik. Banyak pula yang disampaikan secara implisit (tersirat). Tema itu beragam-ragam ditinjau dari segi corak maupun kedalamannya. Cinta, kehidupan keluarga, merupakan tema yang disukai dan bersifat universal (Sudjiman, 1987: 50-52). Masih banyak lagi ragam tema dan teknik penyampaiannya.
Tema menurut Stanton dan Kenny adalah makna yang dikandung sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2000: 67). Dalam sebuah cerita bisa didapatkan bermacam-macam makna. Karena itu, defenisi sebuah tema mesti lebih dipersempit lagi. Hartoko & Rahmanto mendefenisikan tema sebagai gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Nurgiyantoro, 2000: 68).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, dan situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan.
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Oleh sebab itu ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Tema mempunyai generalisasi yang lebih umum, lebih luas, dan lebih abstrak. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, haruslah dilakukan penyimpulan atas keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu saja.
Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara sengaja disembunyikan, karena justru inilah yang ditawarkan pengarang kepada pembaca. Tema merupakan makna keseluruhan yang mendukung cerita; dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.
Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, paling tidak pelukisan yang secara langsung atau khusus. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita. Hal inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Hal ini juga menyebabkan tidak mudahnya menafsirkan tema (Nurgiyantoro, 2000: 68-69).
Karena tema tersembunyi di balik sebuah cerita, penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan dengan berdasarkan pada fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita. Hal tersebut bisa dimulai dengan cara memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa, konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya dibebani tugas membawakan tema. Oleh karena itu, penafsiran terhadap tema bisa difokuskan pada upaya mengawasi gerak-gerik tokoh utama tersebut.
Penemuan tema, selain dengan cara tersebut, sebaiknya juga disertai dengan usaha untuk menemukan konflik sentral yang ada dalam cerita. Konflik, yang merupakan salah satu unsur pokok dalam pengembangan ide cerita dan plot, pada umumnya erat berkaitan dengan tema. Usaha menemukan dan memahami konflik utama yang dihadapi tokoh utama merupakan cara khusus untuk menentukan tema sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2000: 85-86).
Dalam menafsirkan tema sebuah novel, misalnya, Stanton (Nurgiyantoro, 2000: 86-88) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti. Berikut kriteria-kriteris yang dimaksud:
a.Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detail-detail yang menonjol (atau: ditonjolkan) itulah—yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh-masalah-konflik utama—pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan. Kesulitan yang mungkin dihadapi adalah dalam hal menemukan atau menentukan detail-detail yang menonjol tersebut, apalagi jika novel yang bersangkutan relatif panjang dan sarat dengan berbagai konflik. Detail cerita yang demikian diperkirakan berada di sekitar persoalan tokoh utama yang menyebabkan terjadinya konflik yang dihadapi (-kan kepada) tokoh utama. Dengan kata lain, seperti telah dikemukakan, tokoh-masalah-konflik utama merupakan tempat yang paling strategis untuk mengungkapkan tema utama sebuah novel.
b.Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detail cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, tentunya pengarang tidak akan menjatuhkan sendiri sikap dan keyakinannya yang diungkapkan dalam detail-detail cerita tertentu lewat detail-detail cerita tertentu lainnya. Jika hal yang demikian terjadi, cobalah diulangi sekali lagi penafsiran itu barangkali terjadi kesalahpahaman.
c.Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam novel yang bersangkutan. Tema cerita tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan ada dalam cerita, atau informasi lain yang kurang dapat dipercaya. Penentuan tema dari kerja yang demikian kurang dapat dipertanggungjawabkan karena kurangnya data empiris. Tidak jarang sejumlah pembaca membayangkan tema sebagai sesuatu yang filosofis, muluk-muluk, dan jika ternyata di dalam cerita tidak ditemukan harapannya itu, mereka seolah-olah tetap memaksakan sebagai ada ditemui.
d.Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita. Kriteria ini mempertegas kriteria sebelumnya. Penunjukkan tema sebuah cerita haruslah dapat dibuktikan dengan data-data atau detail-detail cerita yang terdapat dalam cerita bersangkutan, baik yang berupa bukti-bukti langsung, artinya kata-kata tersebut dapat ditemukan langsung dalam novel, maupun tidak langsung, artinya hanya berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada. Dalam sebuah novel kadang-kadang dapat ditemui adanya data-data tertentu, mungkin berupa kata-kata, kalimat, alinea, atau bentuk dialog, yang dapat dipandang sebagai bentuk yang berisi (dan atau mencerminkan) tema pokok cerita yang bersangkutan.
Kriteria-kriteria tersebut di atas secara umum dapat pula diterapkan terhadap cerita pendek. Cerita pendek dan novel masih merupakan jenis sastra yang relatif sama. Pandangan sangat sederhana bahkan hanya membedakan novel dan cerpen berdasarkan ketebalan jumlah halamannya atau kesingkatan waktu relatif pembacaannya.
Di antara pelbagai perbedaan yang ada antara cerpen dan novel, cerpen dan novel sesungguhnya juga memiliki kesamaan. Selain sama-sama berjenis cerita rekaan yang umumnya bersifat prosaik, dalam hal tema cerpen pun bisa sangat sarat makna hingga juga tema sebagaimana halnya sebuah novel. Kesingkatan, hingga kepadatan, yang terjadi pada cerpen justru membuat hal tersebut tak muskil untuk terjadi.
Tema tidak perlu selalu berwujud moral, atau ajaran moral. Tema bisa saja hanya berwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan; simpulannya, atau bahkan hanya bahan mentah pengamatannya saja. Pengarang bisa saja hanya mengemukakan suatu masalah kehidupan dan problem tersebut tidak perlu ia pecahkan. Pemecahannya terserah pada masing-masing pembaca (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 56).
Pengarang menyatakan ide atau temanya dalam unsur cerita. Pengarang-pengarang lama memang sering suka menyatakan secara eksplisit simpulan ceritanya sendiri, seperti dalam halnya cerita didaktis untuk kanak-kanak. Misalnya di akhir cerita dikatakan: membohongi orang lain itu tidak baik dan orang yang berbuat jahat pasti akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya; atau kebenaran pada akhirnya akan menang mutlak atas segala jenis pola kejahatan.
Dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersamar dalam seluruh elemen. Pengarang mempergunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, setting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur cerita jadi memperkuat satu arti saja, satu tujuan. Dan yang mempersatukan segalanya itu adalah tema (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 56).
Namun sudah selayaknya pula untuk cerpen-cerpen yang mengklaim diri telah berjiwa modern-kontemporer guna justru menghindari sifat otoritatif tema. Sikap konservatif sebuah tema bisa menghadirkan kekakuan ekspresi bagi sebuah cerita. Goenawan Mohammad (2000: xxv) menyebut istilah cerpen topikal untuk jenis sastra koran. Danujaya (2000: 139), juga untuk jenis sastra koran ini, menyebutnya dengan istilah penjajahan tema. Masalah penjajahan tema—dalam hal ini tema-tema sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang bermunculan di koran—pada kesusastraan, kata Danujaya, pernah menjadi suatu topik pergunjingan yang hangat di kalangan para kritikus sastra.
Satu sifat yang terdapat dalam cerpen-cerpen yang “patuh serta tunduk” pada topik adalah bahwa cerita sebagai inti lebih berkuasa dan lebih sentral ketimbang kisah; sesuatu yang membawa kita kembali surut menuju paradigma lama. Pada awalnya sekedar sebuah ide, namun kemudian ternyata itulah yang menjadi terpenting. Bahasa akibatnya hanya sekedar menjadi komunikator yang siap pakai, bukan sebuah wilayah penjelajahan tersendiri. Bahasa cerpen sebagai sebuah karya sastra pun kemudian menjadi, seringnya bahkan, hanya meminjam-minjam statemen lazim di rubrik berita koran-koran, tidak jarang mengulang-ulang klise lama, atau bahkan menggunakan kata yang sama berkali-kali dalam satu paragraf; beku dan miskin kreatifitas.
Sebagai alternatif perlawanan terhadap cengkraman kaku topik terhadap cerita, maka dalam dunia penulisan prosa dikenallah apa yang disebut cerpen situasi (Mohammad, 2000: xxvi). Dalam cerpen situasi, karakter setiap tokoh bisa berkembang secara wajar tanpa harus terbebani bobot tema, apalagi kehendak yang serba memaksa milik nurani pengarang. Dengan “kewajaran” tersebutlah pembaca akan bisa yakin bahwa dia sedang berhadapan dengan karya sastra, sebuah cerita, bukan berita apalagi propaganda.
Dalam membaca sebuah cerpen, memang pembaca bisa hanyut dalam pelukisan karakter-karakternya, konflik yang penuh suspense, dan sebagainya. Akan tetapi kalau cerpen tersebut selesai dibaca, maka barulah terasa bahwa semua itu mengandung satu arti yang berupa visi pengarang terhadap dunia.
Sebuah cerpen kadang-kadang banyak menimbulkan penafsiran. Hal itu terletak pada temanya, sesuatu yang dikandung oleh sebuah cerpen. Memang dalam sebuah cerpen kadang-kadang tidak hanya terdapat satu penafsiran tema saja. Sebuah cerpen yang besar mengandung banyak persoalan yang bersegi-segi. Mungkin mengandung masalah moral, masalah sosial, masalah individu, masalah spritual, dan sekaligus juga masalah politik.
Mencari arti sebuah cerpen, pada dasarnya adalah mencari tema yang terkandung dalam cerpen tersebut. Usaha dalam rangka memburu makna itu sesungguhnya sangat mengasyikkan. Jelaslah bahwa pengarang pastilah tidak secara jelas umumnya mengungkapkan tema karangannya. Tapi tema itu merasuk dan menyatu dalam semua unsur cerpen. Dengan cara itu pula sebuah karangan akan menjadi cerpen yang baik dan berhasil.
Semakin banyak persoalan serta implikasi-implikasinya yang terkandung dalam sebuah cerpen, maka semakin baguslah cerpen tersebut. Dengan hal itu, cerpen tersebut akan kaya dengan penafsiran-penafsiran; ramai dengan keberbagaian kemungkinan. Cerpen seperti itulah yang biasanya berdaya tahan menempuh waktu karena ia tidak menjemukan bagi pembaca-pembaca yang kreatif. Sebuah karya seni yang mengajak orang berpikir biasanya adalah karya seni yang dihargai (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 57).

2.3.2 Tokoh
Kecenderungan cerpen modern adalah penekanan pada unsur perwatakan tokohnya. Ini tidak berarti bahwa pada cerpen lama perwatakan tidak dipentingkan. Penulis-penulis cerpen jenis ini banyak menciptakan karakter besar, tokoh cerita dengan watak yang tidak akan terlupakan. Unsur watak atau karakter dalam cerpen modern menjadi begitu menonjol dan dominan antara lain disebabkan oleh semakin berkembangnya ilmu jiwa. Terutama psikoanalisis yang menawarkan daerah baru dalam menyelami kehidupan jiwa manusia.
Tokoh-tokoh dalam cerpen modern mendapatkan sorotan lebih tajam dari para penulisnya, jadi bukan hanya sekedar elemen untuk membawakan cerita. Di Indonesia dapat disebut Budi Darma yang sebagian karya cerpennya diumumkan di majalah sastra Horison atau rubrik seni dan budaya hari minggu di Kompas. Konflik yang mendasari plot ceritanya merupakan konflik jiwa tokoh-tokoh protagonisnya. Kejadian-kejadian dalam cerpen-cerpennya berpusat pada konflik watak tokoh utamanya.
Mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian seorang pengarang dalam menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kalau karakter tokoh lemah, maka menjadi lemahlah oleh karenanya seluruh cerita. Setiap tokoh semesti memiliki kepribadian sendiri-sendiri. Bergantung dari masa lalunya, pendidikannya, asal daerahnya, atau juga pengalaman hidupnya. Seorang penulis yang cekatan hanya dalam satu adegan saja sanggup memberikan pada kita seluruh latar belakang kehidupan seseorang. Bukan dengan menceritakannya secara langsung kepada pembaca, tapi dengan mendramatisasinya. Hal ini dilaksanakan lewat cara bicaranya., reaksinya terhadap peristiwa, caranya berpakaian, tindakan-tindakannya, dan sebagainya.
Dalam sebuah cerita yang bersifat rekaan, kepribadian yang didapat tidaklah sama dengan kepribadian orang-orang yang ada dalam kehidupan sebenarnya. Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari begitu kompleks, tetapi kepribadian dalam cerita hanya perlu menonjolkan beberapa sifat saja karena seni itu intensifikasi, penuh arti, dan padat. Tokoh cerita semestinya digambarkan seintens mungkin. Apa yang diucapkannya, apa yang diperbuatnya, apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya harus betul-betul menunjang penggambaran wataknya yang khas milik dia (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 63-65).
Namun dalam estetika kontemporer, tidak ada salahnya pula ketika tokoh dan perwatakannya ditampilkan dengan begitu rumit dan tak selesai. Paradigma posmoisme memang merayakan keragaman dan memaafkan perbedaan. Bahkan menaifkan upaya-upaya pemutlakan. Tak ada sentral dan yang tunggal; yang ada adalah proses dialektis (dan eklektis) dan pencarian terus menerus sebagaimana usaha Iwan Simatupang “mengakhiri” novel Koong-nya (1975).
Oleh karena “keresehan” ilmiah untuk senantiasa menghadirkan distingsi dan membuat-buat kategorisasi, kata Danujaya (2000: 136), para teoritikus sastra sering membedakan fiksi menjadi dua corak; yakni, antara yang lebih menekankan pada jalinan alur (plotting) dan yang lebih menekankan pada pengembangan karakter (story line). Pembedaan corak ini memang tidak bersangkut paut langsung dengan kualitas sastra sebuah karya, namun kebanyakannya karya sastra yang dianggap bermutu memang yang berada di jalur story line.
Sebagaimana pembicaraan tentang cerpen topikal sebelumnya, pada karya yang lebih cenderung mendukung bagi upaya pengembangan karakter segala macam penindasan tema, topik, hingga plot cerita yang sudah ditentukan dari awal bisa dihindari. Perlawanan terhadap hegemoni pusat, atas, atau dengan kata lain narasi besar (topik) merupakan nilai lebih estetika kontemporer. Namun, untuk jenis cerpen, upaya pembedaan di atas memang agak sulit dan lebih samar dibandingkan bentuk fiksi lain yang lebih panjang seperti novel karena paksaan efesiensi dan efektivitas pemakaian bahasa dalam pemerian maupun pencitraan menuntut pemakaian semua unsur penceritaan dengan lebih singkat dan padu.
Sumardjo & Saini K.M. (1997: 63-66) memerikan beberapa jalan yang akan menuntun menuju identifikasi sebuah karakter:
a.Melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama sekali bagaimana dia bersikap dalam situasi kritis. Watak seseorang memang kerap sekali tercermin dengan jelas pada sikapnya dalam situasi gawat (penting), karena ia tak bisa lagi berpura-pura. Ia akan bertindak spontan menurut karakternya. Situasi kritis dalam hal ini tidak harus ditafsirkan kondisi bahaya, tapi situasi yang mengharuskan dia mengambil keputusan dengan segera.
b.Melalui ucapan-ucapannya. Dari apa yang diucapkan oleh seorang tokoh cerita, dapat dikenali apakah dia orang tua, orang dengan pendidikan yang masih rendah atau tinggi, sukunya, perempuan atau lelaki, orang berbudi halus atau kasar, dan sebagainya.
c.Melalui penggambaran fisik tokoh. Penulis sering membuat deskripsi mengenai bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokohnya. Yaitu tentang cara berpakaian, bentuk tubuhnya, dan sebagainya. Tetapi dalam cerpen modern cara ini sudah jarang dipakai. Dalam fiksi lama penggambaran fisik kerap kali dilakukan untuk memperkuat watak.
d.Melalui pikiran-pikirannya. Melukiskan apa yang dipikirkan oleh seorang tokoh adalah salah satu cara penting untuk mempertentangkan perwatakannya. Dengan cara ini pembaca dapat mengetahui alasan-alasan tindakannya. Dalam kenyataan hidup, penggambaran yang demikian memang mustahil. Tapi inilah konvensi fiksi.
e.Melalui penerangan langsung. Dalam hal ini, penulis membentangkan panjang lebar watak tokoh secara langsung. Hal ini berbeda sekali dengan cara tidak langsung, yang pengungkapan watak lewat perbuatannya, apa yang diucapkannya, menurut jalan pikirannya, dan sebagainya.

2.3.3 Latar
Tempat suatu peristiwa terjadi dalam pandangan Balzac sama pentingnya dengan peristiwa itu sendiri. Ia memiliki peran untuk dimainkan; ia perlu digambarkan sama jelasnya dengan unsur yang lain. Hal tersebut dikemukakan Henry James, sastrawan termasyhur dari Amerika. Novelis Prancis tersebut memang terkenal sangat bekerja keras untuk melukiskan lingkungan fisik bagi cerita-ceritanya. Sampai kadang-kadang sebelum membuat cerita yang berlatar belakang kota tertentu, ia akan mengunjungi kota tersebut, memilih beberapa rumah, dan menggambarkan rumah-rumah tersebut sedemikian detail, sampai pada baunya (Adesita, 2004: 14).
Namun tentu saja, tidak semua harus begitu. Abidah El Khalieqy misalnya. Pemenang kedua Sayembara Novel 2003 DKJ ini mengakui bahwa setting luar negeri bagi Geni Jora-nya sekedar didapat berbekal riset buku, browsing internet, hingga chatting dengan rekan-rekan luar negerinya. Hasilnya cukup luar biasa. Novel tersebut berhasil menghadirkan keindahan negeri Maroko dan Suriah di Timur Tengah sana dengan cukup mempesona. Berwawasan, kata Sapardi Djoko Damono, dan eksotis, imbuh Budi Darma, serta menggemaskan, sambung Maman S Mahayana—ketiganya dewan juri sayembara novel tersebut. Belum lagi jika menengok karya-karya yang fantastis dengan sekedar berbekal fantasi semata. Bahkan karya bercorak realis seperti yang ditulis Karl May pun konon kabarnya berbekal riset kepustakaan semata.
Secara sederhana latar bisa diartikan waktu dan tempat terjadinya cerita. Namun pengertian ini sah-sah saja diperluas dan diperdalam. Latar pada prakteknya bisa beroperasi lebih subtil dalam kerangka estetika cerita-cerita dengan corak tertentu. Dia bisa juga menjadi dangkal untuk konteks cerita-cerita tertentu (Adesita, 2004: 14-15). Pada prinsipnya, latar merujuk pada segala keterangan, petunjuk, dan pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam sebuah karya (Sudjiman, 1987: 44).
Setting dalam fiksi bukan hanya sekedar sebagai background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan kejadian. Sebuah cerpen dan novel memang harus terjadi di suatu tempat dan dalam suatu waktu. Harus ada tempat dan ruang kejadian. Dalam fiksi lama tempat kejadian cerita dan tahun-tahun terjadinya disebutkan panjang lebar oleh penulisnya. Dalam hal ini memang latar sekedar menjadi tempat terjadinya cerita (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 75).
Dalam cerpen Indonesia modern latar telah digarap para penulis menjadi unsur cerita yang penting. Terlebih lagi dalam estetika kontemporer meski tidak harus. Ia terjalin erat dengan tema, karakter, dan suasana cerita. Hanya tahu di mana suatu cerita terjadi saja tidak cukup karena sastra bukanlah alat untuk menginformasikan fakta. Setting dalam cerpen modern telah menjadi begitu kompleks terjalin dengan unsur-unsur cerpen lainnya.
Setting bukan hanya menunjukkan tempat dan waktu tertentu tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegilaan mereka, gaya hidup mereka, kecurigaan mereka, dan sebagainya. Dalam cerpen yang baik, setting harus benar-benar mutlak untuk menggarap tema dan karakter cerita. Dari setting wilayah tertentu harus dihasilkan perwatakan tokoh tertentu dan juga tema tertentu. Kalau sebuah cerpen settingnya dapat diganti dengan tempat mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema cerpennya, maka setting demikian akan kurang integral.
Dalam cerpen yang berhasil, setting terintegrasi (menyatu) dengan tema, watak, gaya, dan implikasi (kaitan) filosofis. Cerpen dengan setting perang misalnya dapat berbicara soal-soal khusus seperti dendam, pelarian, kebencian, pengungsian, pengkhianatan, patriotisme, politik, dan kemanusiaan. Dalam setting yang demikian bisa didapatkan banyak kesempatan untuk terbahasnya segi-segi watak manusia (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 76).

2.3.4 Sudut Pandang
Dalam sebuah cerita, kisah atau apa yang disajikan sebagai isi cerita selalu disuguhkan dari sudut pandang tertentu. Hal itu dapat berasal dari berbagai pihak: pencerita yang memberi sudut pandang yang mencakup atau salah seorang tokoh (Luxemburg, 1991: 125). Penggunaan istilah sudut pandang sering tidak jelas apa yang diacunya. Ada yang mengartikan sudut pandang pengarang; ada juga yang menggunakannya dengan arti sudut pandang pencerita. Ada pula yang menganggap keduanya sama saja, karena pengarang dan pencerita tidaklah perlu kiranya dibedakan (Sudjiman, 1987: 75).
Sudut pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandangan yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam hal ini harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebuah cerpen adalah pandangan pengarang terhadap kehidupan. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya. Ini kemudian lazim dikenal dengan istilah gaya pengarang (stilistika). Sedangkan sudut pandang hanya menyangkut teknik bercerita saja, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang dapat diungkapkan dengan sebaik-baiknya (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 76).
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam: gaya “aku” dan “dia”. Dari sudut pandang persona pertama dan ketiga tersebut, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut masing-masing menyaran dan menuntut konsekuensinya sendiri. Oleh karena itu, wilayah kebebasan dan keterbatasan perlu diperhatikan secara objektif sesuai dengan kemungkinan yang dapat dijangkau sudut pandang yang dipergunakan. Bagaimanapun pengarang mempunyai kebebasan tidak terbatas. Ia dapat mempergunakan beberapa sudut pandang sekaligus dalam sebuah karya jika hal tersebut dirasakan lebih efektif (Nurgiyantoro, 2000: 249).
Dadaisme, juara Sayembara Menulis Novel DKJ 2003, merupakan sebuah contoh karya sastra kontemporer yang dinilai oleh sebagian kalangan kritikus sastra Indonesia papan atas cukup berhasil untuk tidak menyederhanakan soal sudut pandang di tengah arus era baru kreatifitas ini. Berikut dikutipkan sebagian naskah pertanggungjawaban dewan juri lomba tersebut dari tulisan Maman S Mahayana, salah seorang juri dari dua orang juri lainnya: Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma, di Media Indonesia (http://www.media-indonesia.com/news print.asp?Id=2004071023464677&Jenis=c&cat_name=Tifa):
Novel Dadaisme (No Kode 46) mengawali kisahannya dengan peristiwa-peristiwa yang seperti tidak ada hubungannya satu dengan yang lain. Sebuah rangkaian fragmen yang lepas-lepas. Cerita seperti melompat ke sana ke mari yang sebenarnya saling bersinggungan. Penghubungnya adalah peristiwa masa lalu. Dari sanalah secara perlahan terungkap kaitan tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Di antara itu, di sana-sini muncul pula kisah-kisah halusinasi dengan tokoh-tokoh imajiner. Bentuk pencerita pun dimanfaatkan ganti-berganti, mulai dari pencerita orang pertama (aku), orang ketiga (dia), sampai ke pencerita orang kedua (kamu). Dengan bermain dalam tataran psikologi, tema penyimpangan akibat peristiwa traumatis masa lalu seperti tidak dapat terlepas dari pergantian bentuk penceritaan itu. Novel ini seperti membentangkan serpihan-serpihan kritik atas kultur etnik, perselingkuhan, halusinasi, dunia surealis, dan peristiwa tragis.

2.4 Kemanusiaan
Dalam Divina Comedia, Dante berkata kepada Beatrice, “Di tengah-tengah perjalanan hidup kita, saya menemukan diri saya di sebuah hutan gelap gulita.” Hutan itu gelap karena dia tidak dapat melihat apa yang terjadi di seberang yang lain. Untuk menembus kegelapan ini, dia memerlukan cahaya dan cahaya ini tidak lain dan tidak bukan adalah agama, filsafat, dan seni (salah satunya sastra) (Darma, 1984: 70) .
Ilustrasi dari tulisan Budi Darma tersebut, yang notabenenya merujuk pula pada pernyataan Aristoteles, mengisyarat dengan eksplisit betapa kesusastraan sangat berperan bagi kemanusiaan. Proposisinya sebaliknya dengan proporsi yang tetap sama: karya sastra sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal, meski pragmatisnya bisa beraplikasi lokal (Nurgiyantoro, 2000: 321).
Keuniversalan tersebut berarti sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini oleh manusia sejagat. Ia tidak hanya bersifat kebangsaan, apalagi keseorangan, walau memang terdapat ajaran moral kesusilaan yang hanya berlaku dan diyakini oleh kelompok-kelompok tertentu. Sebuah karya fiksi yang menawarkan pesan moral yang bersifat universal, seperti nilai-nilai luhur kemanusiaan, biasanya akan diterima kebenarannya secara universal pula (Nurgiyantoro, 2000: 322).
Putu Wijaya dalam salah sebuah artikelnya juga menegaskan bahwa kemanusiaan tersebut bersifat universal (http://www.bahasa-sastra.web.id/putu. asp). Rasa kemanusiaan itu menyeberangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, anutan, dan keyakinan; ia menembus batas suku dan negara, menyeberangi waktu dan jarak, serta menembus perbedaan strata sosial. Bahkan, ia juga tidak terhalangi oleh kekuasaan yang merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam berbagai sengketa antarbangsa.
Sastra, lanjut Wijaya, sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-masing pada tempat, waktu, dan suasananya, sastra memilih tema-tema terbaik, seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, dan nafsu-nafsu bawah sadar yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagat raya.
Sastra dengan demikian menjadi “warga negara” dunia yang bebas masuk ke mana saja karena dia kelihatan, tetapi tidak tampak seluruhnya. Ia adalah imajinasi yang hanya akan tertangkap oleh mata hati yang peka. Ia berwujud, tetapi tidak seluruhnya bertubuh karena ia adalah sebuah pengalaman spiritual. Sastra sudah menjadi sebuah jaringan internasional yang tidak terkendali lagi kemampuan jangkauannya, tidak terhalang-halangi lagi oleh batas-batas negara dan politik. Ia begitu ampuh, tetapi juga begitu halus, tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh jaringan internet dewasa ini. Sastra membebaskan manusia dari berbagai batasan.
Keuniversalan yang ditampilkan karya sastra dengan mengusung nilai-nilai kemanusiaan—sehingga menghapuskan segala batas-batas yang memisahkan manusia—bukan berarti pula menyatakan bahwa manusia yang satu harus sama rata dengan manusia yang lain, tetapi hanya untuk menyadarkan bahwa manusia satu dengan yang lain saling terkait dan tidak mungkin seseorang hidup tanpa manusia yang lain. Sastra yang universal memberitahukan bahwa manusia memiliki kemungkinan yang seharusnya sama, tetapi ada perjuangan, kegigihan, dan kemudian keberuntungan atau nasib baik yang menjadikannya berbeda. Wijaya berkata bahwa berbeda tidak berarti bermusuhan, tetapi memiliki perjalanan yang tidak sama perkembangannya.
Dalam sejarah sastra Indonesia, tema kemanusiaan merupakan aspek yang cukup menonjol hadir ke permukaan. Dalam merekonstruksi sejarah awal sastra Indonesia, Sambodja (http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category =5&id=1030357707) mengemukakan kekurangtepatan penganggapan tema kebangsaan sebagai sarana identifikasi bagi kesusastraan Indonesia. Pada perkembangannya justru tema kemanusiaanlah yang lebih banyak diangkat oleh karya-karya puncak khasanah sastra Indonesia. Paling akrab dikenal adalah semangat humanisme universal yang diusung oleh seniman-seniman Gelanggang hingga kelompok Manifes Kebudayaan.
Dalam mengamati perkembangan cerpen-cerpen dalam kesusastraan Indonesia terkini, Ahmadun Yosi Herfanda mengungkapkan dua mainstream terkuat yang menonjol dewasa ini. Keduanya sastra karangan penulis yang umumnya perempuan yang memang sedang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Golongan pertama adalah cerpen-cerpen yang mengusung feminisme dengan jargon-jargon seksual vulgar. Golongan kedua adalah penulis cerpen-cerpen Islami. Namun di antara dua arus pendatang baru tersebut, dengan jumlah yang tidak kalah banyak ternyata tetap bertahan penulis-penulis sastra yang mengangkat tema humanisme universal atau kemanusiaan (http://www.republika. co.id/ koran_ detail.asp?id=249828&kat_id=364).
Contoh yang cukup mutakhir, namun juga telah cukup mapan, bagi jenis ketiga ini adalah buah karya-buah karya Seno Gumira Ajidarma yang dianggap tokoh cerpenis Angkatan 2000 (http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id= 60132&kat_id=102&kat_id1=&kat_id2=). Kekuatan pengarang yang satu ini dapat dilihat, setidaknya, dari penghargaan yang diterimanya pada ajang KLA 2004. Bersama kumpulan cerpen KTMP karya LC, Seno mendapat penghargaan dalam kategori fiksi atas novelnya yang berjudul Negeri Senja. Produktivitas penulis yang satu ini—dapat dilihat dengan tebaran tulisannya di media massa—dan semangat kemanusiaan universal yang diangkatnya membuat ia menjadi tokoh sastra Indonesia yang cukup diperhitungkan dewasa ini.
Tentu tidak lupa pula karangan-karangan penulis gaek semacam Budi Darma, Putu Wijaya, Danarto, hingga Ratna Indraswari Ibrahim yang sempat memunculkan kekhawatiran tentang regenerasi tokoh-tokoh sastra Indonesia. Dalam bidang novel, tersebutlah Iwan Simatupang sebagai sosok yang sangat kental mengangkat tema kemanusiaan ini, utamanya soal keterasingan individu (http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=1030357707). Bersama banyak pengarang mapan lainnya, penulis-penulis ini selalu menyisipkan ide-ide tentang kemanusiaan dalam karya-karyanya. Hal ini menunjukkan bahwa tema kemanusiaan selalu laris nyaris sepanjang sejarah kesusastraan Indonesia.
Contoh bagaimana karya sastra, khususnya cerpen, mengangkat tema kemanusiaan ini dapat dilihat pada cerpen “Si Montok” karya A.A Navis. Dalam cerpen yang diterbitkan pada usianya yang ke-77 ini, Navis mengangkat tema kemanusiaan lewat satire dan ironi yang dibangunnya atas kehidupan militer pada zaman perang. Ide bagi Navis untuk menulis tentang militer dan kemanusiaan ini muncul pada 1995 ketika ia menyaksikan “…hampir sebulan seluruh stasiun televisi menyiarkan para pejuang dengan segala atribut di bahu dan dada mengisahkan pertempuran dalam menegakkan kemerdekaan. Seolah tidak ada orang selain dari mereka yang berjuang.”
Dalam cerpen “Si Montok” terdapat kisah tentang seorang wanita desa yang dinikahi seorang komandan tentara berpangkat kapten pada masa perang. Awalnya kapten tersebut secara kebetulan saja bertemu wanita desa tersebut. Ketika perang usai sang kapten tersebut kembali ke kota. Wanita itu, yang diberi julukan si Montok sebab “keindahannya”, ditinggalkan di desa hingga anak yang dikandungnya lahir. Di kemudian hari, bersama anak laki buah perkawinannya dengan sang kapten, si Montok menemui sang kapten yang telah naik pangkat menjadi mayor di rumahnya di kota.
Akibatnya, isteri Mayor yang sebelumnya dan sebenarnya marah besar. Wanita itu mengambil pistol suaminya dan menembak. Tembakan mengenai lengan suaminya dan lengan itu akhirnya harus diamputasi. Akibatnya pemilik lengan tersebut dipensiun muda. Navis menutup cerita tersebut dengan kata-kata: “Kedua perempuan itu menyesal... Si Mayor menyesali nasibnya. Namun, tidak diketahui apakah pistol itu pun ikut menyesal, karena selama perang tidak pernah melukai musuh, tetapi sehabis perang melukai pemiliknya sendiri”.
Meskipun bukan seorang tentara, berbeda dengan Nugroho Notosusanto atau Trisnoyuwono yang kerap menulis cerpen berlatar militer, Navis dalam kehidupannya banyak berkawan dengan perwira militer sehingga wajar jika ia memiliki stok respon cukup memadai untuk menulis tentang kehidupan tentara dan aspek manusiawi mereka. Sebagaimana Idrus lewat Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma atau Asrul Sani dengan Naga Bonar, Navis yang juga nonmiliter ini cenderung mengungkapkan sisi gelap kehidupan militer. Namun lelucon-lelucon pahit atas ganasnya pertempuran tersebut tidak terkesan sebagai cemoohan terhadap dunia militer belaka. Ironi yang diangkat Navis, ungkap Adila, lebih sebagai sentuhan batin terhadap masalah kemanusiaan—kemanusiaan yang digadaikan yang disebabkan oleh peperangan, nafsu, dan kekuasaan (http://www.kompas.com/ kompas-cetak/0104/15/seni/iron32.htm).
Sutardji Calzoum Bachri menyatakan bahwa manfaat dari karya sastra adalah memberikan pencerahan kepada pembacanya (http://www.republika. co.id/koran_detail.asp?id=182197&kat_id=102). Karya sastra sesungguhnya dapat memberi hikmah dan hikmah dari karya sastra yang baik adalah membuat orang yang membacanya tercerahkan. Karya sastra mencerahkan karena memberikan penyadaran terhadap masalah-masalah kemanusiaan.
Seorang sastrawan bahkan dapat menjadi agen perubahan jika karya-karyanya dapat memberikan kesadaran baru bagi pembacanya dan mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Dengan karya sastra suatu bangsa menjadi menghargai masalah-masalah kemanusiaan dan keluhuran budi pekerti. Karena itu, karya sastra juga menjadi salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa.
Oleh karena itu, sangatlah tidak sukar untuk ditemukan adanya nilai-nilai kemanusiaan dalam karya sastra—dengan segala keragaman estetika dan stilistiknya, baik itu seni untuk seni maupun seni untuk misi. Nurgiyantoro (2000: 331) menyatakan bahwa seorang pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang lain. Ia tidak akan diam, meskipun barangkali lewat jalan yang diam-diam, dan dengan karangannya itu akan diperjuangkannya hal-hal yang diyakininya kebenarannya. Hal-hal yang memang salah dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tidak akan ditutup-tutupinya sebab terhadap nilai seni ia hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri.












BAB III
TEMA KEMANUSIAAN
DALAM KUMPULAN CERPEN KUDA TERBANG MARIA PINTO
KARYA LINDA CHRISTANTY

3.1 Corak Estetis Kumpulan Cerpen KTMP
Pembacaan terhadap kumpulan cerpen KTMP karya LC ini dapat menghasilkan sebuah petualangan tersendiri. Beraneka ragam warna dan cita rasa estetis terdapat pada cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini. Sebelum mendeskripsikan struktur umum dan makna-makna yang dapat digali dari keenam cerpen yang dianalisis, berikut akan dituliskan sekilas corak estetis yang terdapat pada kumpulan cerpen ini. Dua hal yang dipandang cukup menonjol untuk dibicarakan sebagai contoh corak estetis yang digunakan dalam kumpulan cerpen ini adalah terdapatnya gaya realis dan surealis serta terdapatnya penggunaan diksi yang puitis.
3.1.1 Gaya Realis dan Surealis
Dari dua belas cerpen yang terhimpun dalam kumpulan cerpen KTMP ini, terlihat beragam ekpresi estetika ditampilkan. Dilihat dari dua kutub oposisional aspek mimetik karya, gaya surealis dan realis, kumpulan cerpen ini terlihat menggunakan keduanya. Kedua gaya tersebut bisa terdapat berimbang pada sebuah karya dan bisa juga salah satunya lebih menonjol pada karya lain. Oleh karena itu sulit untuk mengotakkan kumpulan cerpen ini ke dalam salah satu ragam estetika saja. Dengan kata lain, dalam kumpulan cerpen ini tidak hanya terdapat gaya realis namun juga terdapat bagian-bagian yang bersifat surealistik.
Gaya realis dalam kumpulan cerpen ini bisa dilihat dari kutipan berikut ini:
Kadangkala Ibu mengunjungiku. Kami berjalan-jalan melihat kota, naik becak atau andong. Kami makan di restoran dan belanja macam-macam keperluan wanita. Menyenangkan.
Setelah tamat perguruan tinggi, aku kembali ke rumah kami. Baru kali ini aku sungguh-sungguh memperhatikan Ibu. Ia tampak lelah. Ia berkali-kali ke dokter, tapi tak mau diantar. Sakitnya tak pernah sembuh. Sakit pada tubuh bisa diobati. Sakit pada hati sampai mati. Aku ingat lagu ini. Dulu Bik Iyem, pembantu kami, suka menyanyikannya sambil memasak atau menyapu rumah. (hlm. 26)

Kutipan di atas berasal dari cerpen “Makan Malam”. Cerita dalam cerpen ini memang sangat realistis dan bisa diperiksa logika referensinya terhadap kenyataan dengan cukup terang. Dalam kutipan tersebut diceritakan peristiwa keseharian seperti seorang ibu yang mengunjungi anaknya, anaknya yang kembali pulang ke rumahnya, ibu yang mulai sakit-sakitan, dan pembantu yang suka menyanyi sambil menyapu lantai atau memasak di dapur. Tidak ada yang aneh dan di luar nalar realitas. Dari segi mimetik, peristiwa-peristiwa yang diceritakan terlihat tidak melenceng dari kenyataan yang mungkin ada.
Gaya realis seperti ini juga terdapat dalam sebagian besar cerpen lainnya. Cerpen “Perang” mengisahkan suatu episode kehidupan seorang pejuang kemerdekaan. Meski sosok pejuang tersebut tidak betul-betul faktual bisa dibuktikan lewat ilmu sejarah, konvensi fiksi memang membenarkan upaya penyimbolan seperti ini. Jadi sang pejuang tersebut mewakili kemungkinan faktual dari sosok-sosok pejuang lainnya yang sudah umum diketahui kisah-kisahnya.
Cerpen “Pesta Terakhir” mengisahkan seorang kakek yang terkenang akan masa lalunya sebagai seorang pengkhianat terhadap kawan-kawan seperjuangannya. Cerpen “Balada Hari Hujan” mengisahkan sebuah episode dalam kehidupan seorang waria. Cerpen “Joao” mengisahkan kesan, pengetahuan, dan pandangan seorang penjaga sebuah pos terhadap salah seorang prajurit yang singgah beberapa waktu di tempatnya. Cerpen “Rumput Liar” mengisahkan sebuah keluarga yang tinggal hanya terdiri atas seorang ibu, seorang kakak lelaki, dan seorang adik perempuan, namun mesti juga berpisah sebab ketidaksalingsesuaian antar mereka. Dengan berbagai tingkatan intensitas, gaya realis ini juga terdapat dalam cerpen-cerpen lainnya.
Gaya surealis dalam kumpulan cerpen ini sangat terasa dalam cerpen “Qirzar” dan “Kuda Terbang Maria Pinto”. Dengan tingkatan intensitas yang tidak terlalu kuat, gaya surealis ini juga terlihat hadir di dalam cerpen “Makan Keempat” lewat sebuah peristiwa halusinasi yang dialami salah seorang tokohnya atau lewat cerita mengenai kemampuan seorang anak bercakap-cakap dengan roh neneknya. Meski kedua hal tadi sebetulnya juga logis dalam kerangka pemikiran bahwa dunia realitas memang bersinggungan dengan unsur-unsur metafisika, hal tersebut pada sudut pandang lain kenyataannya ikut meneguhkan fakta bahwa terdapat bumbu-bumbu fantasi atau aspek khayalan dalam cerita itu.
Dalam cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”, unsur khayalan muncul pada bagian cerita yang mempertemukan tokoh Yosef Legiman dengan seorang pemimpin pemberontak yang mempunyai kemampuan magis, Maria Pinto. Berikut kutipannya:
Gaun lembut Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Dua pengawal menyertai perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef membiarkan iring-iringan di langit itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah. (hlm. 11)
Maria Pinto melepaskan gaun perinya yang putih. Tubuh telanjang gadis itu menyerupai patung lilin para santa, lalu berangsur bening transparan. Ia bisa melihat jantung, usus, paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis tersebut dengan jelas. Kepala mungil yang cantik berubah membesar dengan pupil-pupil mata yang menonjol serta kulit wajah mengeriput. Sekilas ia teringat film tentang makhluk luar angkasa yang pernah ditontonnya di barak dulu. (hlm.17)

Cerita tentang tokoh Maria Pinto—yang diceritakan mempunyai kuda terbang yang terbuat dari kayu, mempunyai aneka macam kesaktian atau memiliki tubuh yang kulitnya berwarna bening sehingga terlihat transparan—terlihat sangat kuat mengandung unsur khayalan jika dilihat dari aspek mimetik. Sulit untuk mencari referensi nyata bagi hal-hal tersebut dalam kenyataan kehidupan yang sebenarnya.
Dari segi mimetik, sulit untuk membuktikan kebenaran hal-hal di luar logika kenyataan sehari-hari pada kutipan cerita di atas. Cerita mengenai kuda yang bisa terbang hanya ada dalam dongeng meski buat sebagian orang hal-hal seperti ini tidak sekadar dongeng. Begitu pula penggambaran mengenai seorang perempuan yang mempunyai kulit bening sehingga memperlihatkan isi organ tubuhnya, sulit untuk diterima logika mimetiknya. Penggunaan kata makhluk luar angkasa dan film pada kutipan di atas juga semakin memperjelas dan mempertegas sifat fantasi pada peristiwa dalam cerita tersebut.
Pada bagian cerita pertemuan Yosef Legiman dengan seorang gadis di atas kereta—yang pada bagian akhir cerita ternyata berstatus sebagai wanita pimpinan teroris yang menjadi target operasi Yosef saat ia berperan sebagai seorang penembak jitu—cerpen ini menjadi bergaya sangat realis. Dalam bagian ini hanya diceritakan mengenai seseorang yang bercerita kepada kawan duduknya di atas kereta. Ada juga cerita tentang para penumpang yang tertidur selama perjalanan atau para petugas kebersihan yang membersihkan gerbong-gerbong kereta. Terakhir terdapat bagian cerita perpisahan kedua orang ini setelah mereka sampai di stasiun tujuan. Semuanya logis secara mimetik.
Di bagian lain cerpen ini, gaya realis dan gaya surealis dipadukan dengan sangat rapat karena dua jenis gaya yang bertolak belakang itu dihadirkan serentak dalam sebuah paragraf. Berikut kutipannya:
Maria Pinto semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas terkemuka di Jakarta dan bertahan sampai semester tiga, sebelum kembali ke negeri jeruk dan kopi. Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk hutan bersatu dengan babi liar dan rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menahbiskan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali orang-orang yang bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi. (hlm.12)

Sungguh cukup jauh dan tiba-tiba loncatan aspek mimetik cerita dalam paragraf ini. Dari sesuatu yang sangat jelas referensinya dalam kenyataan (kuliah di fakultas sastra sebuah universitas terkemuka di Jakarta dan bertahan sampai semester tiga), cerita berikutnya mengalir pada peristiwa yang bagaikan sebuah dongeng semata. Cerita tentang Maria Pinto yang memiliki kuda terbang dan kesaktian tentulah sesuatu yang bisa dianggap mustahil secara mimetik. Dengan kata lain, sesuatu yang dianggap dongeng—dalam pengertian bohong-bohongan, dusta, atau takmungkin—buat sebagian besar manusia rasional.
Kemudian, satu hal menarik dihadirkan lagi dalam cerpen ini dalam hal sintesis antara gaya realis dan surealis. Jika dalam peristiwa di atas kereta tokoh Yosef Legiman hanya bercerita tentang sebuah peristiwa yang penuh fantasi, pada bagian akhir cerita peristiwa realis berupa upaya eksekusi terhadap wanita pimpinan teroris oleh Yosef Legiman disambung langsung oleh peristiwa kedatangan Maria Pinto dan kuda terbangnya yang bersifat surealistik. Semula bagian ini sangat realis menceritakan tugas yang dijalani oleh Yosef Legiman guna membunuh seorang pimpinan teroris dengan menggunakan senapan sniper dari seberang sebuah gedung bertingkat. Setelah tugas tersebut selesai dikerjakan Yosef, tiba-tiba diceritakan datangnya Maria Pinto dan kuda terbangnya. Berikut kutipannya:
Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Jarum-jarum dingin menembus tulangnya. Tubuh Yosef menggigil bercampur nyeri. Ketika hendak beranjak dari tepi jendela, ia melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya. (hlm. 20)

Hal ini menunjukkan betapa bagian ini menghadirkan sebuah peristiwa baur antara sesuatu yang realis dengan sesuatu yang bersifat khayalan semata. Kejadian tersebut juga tidak dipisahkan dengan teknik penyudutpandangan atau pemberian cerita berbingkai, berupa tokoh di dunia nyata menceritakan kisah yang absurd yang tidak terjadi di saat, tempat, atau waktu itu juga, seperti yang terjadi pada bagian lain cerpen ini. Hal tersebut menggambarkan terdapatnya paduan unsur realis dan fantasi (khayalan atau surealis) dalam kumpulan cerpen ini.

3.1.2 Diksi Puitis
Kemampuan membahasakan peristiwa-peristiwa maupun suasana-suasana dalam sebuah cerita rekaan secara puitis juga terlihat menonjol dalam kumpulan cerpen ini. Sebagian besar pembahasaan yang puitis itu terlihat cukup kuat ikut menciptakan nuansa bagi makna yang dihadirkan tema ceritanya. Sebagai contoh akan dibahas penggunaan diksi puitis dalam tiga cerpen, yakni cerpen “Balada Hari Hujan”, “Makam Keempat”, dan “Lelaki Beraroma Kebun”. Cerpen-cerpen tersebut dipandang cukup intensif memanfaatkan kekuatan bahasa puitis.
Dalam cerpen “Balada Hari Hujan” terlihat bahwa pelukisan latar suasana dan peristiwa guyuran air hujan, dan pembahasaannya, ikut menyugestikan akan adanya “kemendungan” suasana hati pada tokoh utamanya. Seolah-seolah rintik-rintik gerimis tersebut ikut bergemuruh dalam perasaan sang tokoh; sesuatu gemuruh di dada yang berujung pada hadirnya kerisauan jiwa. Berikut beberapa kutipannya:
Ia menguncupkan payung ungunya, lalu mengibaskan ujung mantel yang basah. Butir-butir air meluncur dan meresap ke tanah ... Hari masih terlalu pagi untuk orang-orang yang takut pada cuaca dingin bulan Juni. Kelopak-kelopak bakung di bawah jendela terlihat segar berair. (hlm. 57)
Hujan masih turun. Derai air dari langit membasuh jalanan yang sepi. Peristiwa penting dalam hidupnya selalu ditandai dengan hujan. (hlm. 59)
Hujan masih menyambutnya di luar kafe. Langit abu-abu tua. Payung ungu itu mengembang lagi. Jalan yang basah menyambut langkah-langkah kaki yang menggigil. Ia rapatkan kerah-kerah mantelnya, menahan udara dingin. (hlm. 64)

Suasana mendung dan hawa dingin yang melekat pada pengertian kata hujan terlihat sesuai sekali bagi peristiwa kesedihan yang dialami tokoh utama cerita ini. Secara estetis, suasana yang serba sedih tersebut disimbolkan atau setidaknya dititipkan nuansanya kepada peristiwa hujan sehingga seolah menghadirkan sebuah “gerimis perasaan”. Pembahasaan peristiwa jatuhnya hujan ini secara puitis pada akhirnya memperkuat makna kesedihan dalam cerita ini.
Dalam kutipan di atas juga terdapat penggunaan kata payung ungu dan langit abu-abu. Pemilihan warna tersebut sangat cocok pula guna melambangkan kerisauan hati sang tokoh. Terlebih tokoh tersebut adalah seorang waria yang dianggap makhluk “menyimpang” dalam tata norma masyarakat kebanyakan.
Warna ungu dan abu-abu menjadi lambang bagi keabsurdan nasib yang mesti dijalani tokoh utama ini. Sebagai sosok yang minoritas di tengah masyarakat, apalagi dianggap menyimpang, wajar kiranya tokoh tersebut merasakan sesuatu yang serba tidak jelas dalam hal posisi kehidupannya di tengah-tengah masyarakat kebanyakan. Bisa juga warna tersebut dianggap mewakili sifat dan sikap inkonsistensi, setakkonsistennya jati diri seorang waria; sebuah sifat dan kondisi yang inharmonis—dengan catatan warna-warna tersebut tetap menjadi tampil harmonis ketika dibahasakan secara puitis dan estetis.
Kekuatan penggunaan diksi puitis ini juga bisa dilihat pada cerpen “Makam Keempat”. Dalam cerpen ini beberapa kali digunakan pengasosiasian dan pengacuan pada mitos cerita silat untuk menggambarkan kependekaran (atau sifat seorang pendekar pada) tokoh Paula. Berikut dikutipkan:
Elia sempat menyalahkanku. Katanya, aku terlampau sering membacakan kisah-kisah silat Kho Ping Hoo pada anak kami dan sepak-terjang pendekar yang hebat membuat kanak-kanak terpikat, membekas sampai dewasa. (127)
Aku sangat berharap putriku mau bicara. Tetapi, Elia melarangku memaksa Paula. Jangan kasar padanya. Ia putri kita satu-satunya. Baiklah. Aku juga tak mau disebut diktator. Para kaisar biasanya diktator. Aku bukan kaisar, kataku. Elia protes lagi. Jangan kau bawa-bawa kisah-kisah silat itu. Ya, sudah. Aku memilih diam. (hlm. 128)
Dari orang tersebut aku memperoleh pengetahuan baru. Putri kami mengajak orang-orang melawan kaisar lalim. Kuungkapkan hal itu pada istriku. Ia menjerit dan mencakarku. Kau yang hasut dia untuk jadi pendekar!

Sebuah majalah menyebutkan putriku mungkin disekap di sebuah benteng.
Sebuah benteng. Aku teringat kisah putri berambut panjang yang disekap di sebuah benteng. Paula kecil kurang menyukai kisah itu dan menyuruhku membacakan buku dongeng yang lain. Entah bagaimana mulanya, kubacakan petikan karya Kho Ping Hoo untuk Paula. Ia terkesima. Mata kanak-kanak yang bening itu tak berkedip. Ia jatuh cinta pada tokoh-tokoh pendekar. Ia membayangkan dirinya pendekar berpedang sakti, anggun, cantik, keras hati, suka menolong.
Kini ia disekap di benteng. Pendekar sakti disekap dalam benteng. Seharusnya ia bisa meloloskan diri. Seharusnya. (hlm. 132)

Dengan menggunakan mitos tentang semangat heroik dalam cerita silat Kho Ping Hoo, cerpen ini dengan cukup puitis memberi penyimbolan dan pengacuan bagi karakter pemberontak pada tokoh Paula. Pilihan hidup sebagai seorang pembangkang (pemakar) atas pemerintahan sah yang berkuasa yang dipilih tokoh Paula menjadi terasa lebih heroik ketika dianalogikan kepada heroisme yang terdapat dalam mitos tentang pendekar-pendekar pembela kebenaran dan keadilan dalam cerita-cerita silat. Terlebih pula hubungan ini tidak terjadi secara kebetulan atau apalagi sekadar berupa tafsir pembacaan. Kaitan antara tokoh Paula yang pemberontak dan cerita-cerita silat tidak muncul serta merta ibarat sebuah pemanis cerita yang hadir tiba-tiba. Secara kronologis dalam cerpen ini memang dikisahkan pada masa kecilnya Paula telah cukup kuat terpengaruh pada cerita-cerita silat tersebut. Karakter pendekar dari mitos-mitos itulah yang mengilhami jalan hidup pemberontak tokoh Paula setelah dewasa.
Kemudian, penggunaan kata-kata seperti diktator, disekap di sebuah benteng, atau kaisar lalim, ikut menguatkan semangat heroisme dan simbolisme perlawanan yang ada dalam cerpen ini. Jika kata pendekar merujuk pada tokoh Paula, sekaligus pilihan kata ini menguatkan makna heroiknya, kata-kata lainnya tersebut merujuk pada pihak sebaliknya. Penggunaan diksi tersebut juga ikut menguatkan citra negatif bagi pihak yang dilawan oleh tokoh Paula. Tambah pula diksi yang digunakan bisa terlihat tampil estetis karena menggunakan kata pilihan atau penyimbolan yang tepat sasaran.
Dalam cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” intensitas penggunaan diksi puitis yang cukup kuat juga kerap bisa ditemukan. Penggunaan diksi puitis ini lebih sering terdapat pada bagian yang berupa latar cerpen ini, baik latar tempat maupun suasana. Dengan pemilihan kata-kata yang puitis tersebut, penghayatan terhadap peristiwa dalam cerita terasa menjadi lebih masif, intensif, dan obsesif. Diksi-diksi puitis tersebut membuat cerita terasa lebih segar dan menciptakan aneka nuansa hingga memberikan alternatif “beribu” makna. Dengan kepuitisan itu pula cerita terasa menjadi lebih kreatif menghadirkan amanatnya dalam rangka pemaknaan atas tema.
Di belakang gazebo yang sudah berlumut, bayangan seseorang berkelebat dalam gerimis dan menghilang di balik tapekong di sudut kebun. Ia bergegas menyusul, karena aroma segar dari pohon-pohon tropis itu terbawa angin dan tercium olehnya, seperti dulu. (hlm. 78-79)

Di balik awan gelap yang bergumpal, jari-jari petir putih bersinar.
Ia duduk di bangku batu yang lembab, mengusap wajahnya yang kena tempias hujan.
Hujan deras sudah menyambutnya di landasan … Di seberang jendela, laut berwarna hijau tua terlihat tenang bagai objek dalam lukisan.

Ia punya banyak ingatan tentang pulau ini, terutama debur ombaknya di malam hari. Dulu keluarganya tinggal dekat pantai. Bagi Halifa, debur ombak seperti nyanyian. Ia tidur nyenyak dalam buai bunyinya. (hlm. 80-81)

Aroma kebun dari dalam mengalahkan wangi tanah dan daun-daun di luar. (hlm. 85)

Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa angin masih menyertainya di jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-tempat baru yang pertama kali dikunjunginya. (hlm. 87)

Penggunaan diksi puitis pada kutipan-kutipan di atas sebagian besar berkaitan dengan suasana kebun atau nuansa alam yang menjadi latar cerpen ini. Kata-kata seperti aroma segar, pohon-pohon tropis, atau kebun menghadirkan nuansa keindahan kepunyaan alam. Diksi bernuansa alami ini mendukung bagi suasana yang hadir guna membangun makna-makna cerita. Nuansa yang dihadirkan pilihan-pilihan kata tersebut meliputi keindahan, kedamaian, dan kesejukan.
Selain itu, penggunaan kata-kata seperti pantai, ombak, laut yang bagai objek dalam lukisan, atau wajah yang kena tempias hujan juga mendukung bagi atmosfer yang dibangun guna menonjolkan pelataran bernuansa panorama alam perkebunan. Bagian kutipan yang berupa awan gelap bergumpal pun diperhalus dengan personifikasi berupa jari-jari petir putih bersinar sehingga nuansa kedamaian dan keindahan dari diksi-diksi puitis ini tetap terjaga.
Dalam cerpen ini diksi puitis juga digunakan untuk menggambarkan pandangan tokoh Halifa tentang tokoh Si Penjaga Kebun. Hal ini pulalah yang menjadi inti peristiwa cerita cerpen ini. Berikut salah satunya dikutipkan:
Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh dan dahan tua tumbang.
Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti musang yang mengeluarkan wangi pandan. Hembusan angin membawa aroma tubuh penjaga kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman. Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan. (hlm. 79)

Bagian ini berhasil mendeskripsikan dengan cukup cantik dan sangat ciamik perasaan yang kuat tokoh Halifa terhadap tokoh Si Penjaga Kebun. Sekaligus, narasi seperti ini membuat paparan cerita selalu menghubungkan karakter tokoh Si Penjaga Kebun dengan nuansa alami dari suasana perkebunan yang menjadi latarnya. Dengan itu pula tema cerita menjadi semakin kuat; disokong oleh pelataran, juga penokohan, dan pengunaan diksi puitis dalam membahasakannya.
Di bagian lain, penggambaran hubungan tokoh Halifa dengan tokoh Si Penjaga Kebun dalam cerpen ini, selain dibahasakan dengan kata-kata yang puitis, juga sangat kuat diformulasikan secara filosofis. Hal ini menunjukkan bagaimana pemadatan makna bisa berjalan seiring dengan keindahan kata-kata dalam narasi sebuah cerita—yang notabenenya adalah rekaan semata. Berikut kutipannya:
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun. Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga. (hlm. 77-78)

3.2 Ringkasan Cerita
3.2.1 Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”
Cerpen ini mengisahkan suka duka prajurit Yosef Legiman sebagai seorang tentara. Dalam sebuah pertempuran dalam rangka membasmi para pemberontak di sebuah wilayah yang bergolak, Yosef tiada disengaja bertemu dengan pimpinan pasukan pemberontak tersebut. Orang ini ternyata hanya seorang wanita yang ternyata sakti mandraguna. Ia bernama Maria Pinto. Pertemuan Yosef dengan Maria ini adalah akibat terpisahnya dirinya dari rombongan pasukannya. Dalam perjalanan mencari posisi posnya,Yosef secara tidak disengaja tersesat ke pondok tempat Maria yang sakti tersebut menginap.
Menyaksikan secara langsung keajaiban sosok Maria dengan kedua belah matanya, dan tepat di hadapan ujung hidungnya sendiri, membuat prajurit Yosef didiagnosis dokter tentara menderita tekanan jiwa sehingga mendapat semacam cutilah ia. Lain waktu, seusai mengeksekusi jiwa seorang wanita pimpinan teroris yang sebelumnya sebetulnya sempat mendengar cerita tentang Maria oleh Yosef dalam sebuah pertemuan tidak disengaja mereka di sebuah kereta malam, Yosef bertemu lagi dengan Maria yang kali ini membawanya terbang menuju angkasa.
3.2.2 Cerpen “Makan Malam”
Cerpen ini mengisahkan kepulangan (kedatangan) sesosok ayah yang telah lama tiada berkabar ke tengah anak istrinya. Tokoh Ayah ini menghilang dari tengah keluarganya berpuluh-puluh tahun silam disebabkan oleh sebuah peristiwa sejarah yang “kelam”. Saat situasi politik telah kondusif, tokoh ini memutuskan datang menjenguk istri dan anak tunggalnya. Kedatangan tokoh Ayah ini ternyata justru tambah merusak suasana. Tokoh Ibu sangat terpukul begitu mengetahui suaminya tersebut ternyata telah menikah dengan seorang wanita luar negeri dan telah beranak pula dua. Tokoh Ayah pun ternyata hanya sebentar berkunjung karena dia akan melanjutkan “safarinya” bernostalgia dengan kawan-kawan lama. Tokoh Ibu kembali hidup berdua dengan anak semata wayangnya.

3.2.3 Cerpen “Pesta Terakhir”
Cerpen ini mengisahkan acara ulang tahun yang akan diadakan Kakek Mar serta kenangan tokoh ini pada kelam masa lalunya. Lembar hitam masa lalunya ini terutama berkaitan dengan pengkhianatan yang pernah dia lakukan terhadap sahabat-sahabatnya. Peristiwa pengkhianatan ini ternyata sangat terkait dengan gejolak seksualnya yang cukup agresif dan hormon libidonya yang agak reaktif.
Kebugaran dan kesegaran hormon seksualnya tersebut membuat Kakek Mar dikenal baik sebagai seorang petualang cinta. Kakek Mar dapat sudah memuaskan hasrat birahinya dengan “sambilan” saat beroleh tugas bepergian ke mancanegara. Kesempatan emas tersebut adalah berkat dari pengkhianatan yang dilakukannya. Di hari tuanya pun ternyata Kakek Mar masih senantiasa berdesir darah melihat kemolekan gadis-gadis muda. Terkenang akan dosa khianat yang pernah dia perbuat, tokoh ini sempat berniat berbuat pengakuan dosa di hadapan Mursid, sahabat karibnya satu-satunya yang masih hidup yang bisa datang memenuhi undangan pesta ulang tahunnya kali ini. Namun niat ini taksampai.

3.2.4 Cerpen “Balada Hari Hujan”
Cerpen ini mengisahkan sebuah episode dalam kehidupan seorang waria. Di sebuah pagi, waria ini melaksanakan rutinitasnya berupa sarapan bubur ayam di restoran yang satu-satunya buka pagi-pagi benar di kotanya. Taksengaja, di restoran tersebut dia bertemu dengan “langganannya” semalam. Orang itu terlihat datang bersama istrinya dan ketahuan pada akhirnya telah menipu dia. Semalam orang tersebut bercerita bahwa dia kesepian dan istrinya telah tiada. Tokoh waria ini semula sempat berharap akan menjalani hubungan tetap dan sah dengan orang ini sehingga mampu mengakhiri “pekerjaan” kotornya. Pertemuan pagi di sebuah restoran ini membuyarkan segala harapan indah tersebut karena lagi-lagi cinta tulusnya didustai.

3.2.5 Cerpen “Lelaki Beraroma Kebun”
Cerpen ini mengisahkan kepulangan seorang gadis perantau bernama Halifa ke kampung halamannya. Halifa telah cukup lama tidak pulang kampung. Ketika menginjakkan kaki di tanah kelahirannya didapatinya banyak sudah yang telah berubah. Di saat seperti ini tokoh penjaga kebun keluarganya menjadi perhatiannya. Tokoh Si Penjaga Kebun ini menjadi pusat kenangan Halifa akan kampung halamannya selain kenangan-kenangannya pada Kakek, Nenek, Ayah, Ibu, dan Malida, adik tunggalnya.
Sewaktu bermain atau berkunjung ke kebun, secara tidak sengaja Halifa menyaksikan kelebat bayang tokoh Si Penjaga Kebun tersebut. Kemudian Halifa menyusul tokoh tersebut ke pondokannya. Di pondok inilah Halifa mendapatkan cerita menggemparkan dari tokoh itu tentang pohon sejarah keluarganya. Dari cerita inilah Halifa baru tahu tentang hubungan darahnya dengan penjaga kebun keluarganya. Cerita tersebut juga sangat menggetarkan perasaan sebab ada sebuah peristiwa memilukan di dalamnya. Ayah Halifa ternyata adalah anak pungut dari sebuah keluarga miskin yang setiap anggotanya mengalami kematian dengan cara mengenaskan. Tokoh Si Penjaga Kebun adalah saudara dari ibu kandungnya ayah Halifa yang diduga orang mati dimakan ular atau buaya.

3.2.6 Cerpen “Makam Keempat”
Cerpen ini mengisahkan rasa kehilangan sebuah keluarga di suatu tempat terhadap putri semata wayang mereka. Rasa kehilangan ini utamanya dieksplorasi lewat perasaan dan pandangan tokoh ayah yang dalam cerpen ini menjadi sudut pandang orang pertama. Putrinya yang menghilang ini diduga mati dibunuh oleh aparatur pemerintah sebab kegiatan makar atau subversifnya terhadap penguasa.
Namun sebagaimana kematian para pahlawan, kematian putrinya ini tidak menjadi peristiwa rutin dan biasa-biasa saja. Kabut misteri menyelimuti keberadaan putri ini dan perihal kematiannya tidak pernah bisa diverifikasi (atau diricek). Memang tokoh ayahnyalah yang dari semenjak kecil mendidik putrinya dengan bibit jiwa pemberontak lewat cerita-cerita silat para pahlawan penumpas kaisar-kaisar zalim dan lalim. Meski harapan akan masih hidupnya putrinya itu masih menghantui, tokoh ayah ini pada akhir cerita diceritakan merelakan juga kepergian putrinya ke alam baka dengan mendirikan makam kosong untuknya.

3.3 Struktur Umum
3.3.1 Tokoh
Berikut ini akan dipaparkan penokohan pada setiap cerpen yang dianalisis. Karakter yang dikemukakan hanyalah tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai peran utama dalam cerita dan berperan signifikan atas makna cerita. Dalam pembahasan karakter setiap tokoh tersebut tentunya akan disinggung pula hubungan sang tokoh dengan tokoh lainnya serta unsur cerita lainnya. Hubungan-hubungan ini perlu diungkapkan sejauh ia berperan bagi pembahasan aspek tematik cerita nantinya.
Tokoh Yosef Legiman dalam cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” berperan sebagai seorang prajurit yang setia menjalankan tugas pengabdiannya pada pemerintah yang berkuasa di sebuah negeri. Dalam cerita pertemuannya dengan tokoh Maria Pinto untuk pertama kalinya, Yosef berperan sebagai seorang infanteri di sebuah medan pertempuran di hutan belantara, sedangkan dalam bagian cerita pembunuhan dengan target (assassination) terhadap tokoh Wanita Pimpinan Teroris (wanita teman duduknya di kereta) atau bagian cerita pertemuan keduanya dengan Maria, ia berprofesi sebagai penembak jitu.
Yosef dilukiskan sebagai seorang prajurit baik-baik yang selalu setia dan taat menjalankan tugas-tugasnya. Ketika ia sempat mengalami sejenis stress berat, akibat pertemuan dengan Maria di hutan belantara, ia sempat dipulangkan dari medan tempur untuk berlibur dari tugas beratnya sebagai seorang petempur. Namun hal ini hanya berlangsung sebentar. Tidak berselang lama, ternyata ia dialihtugaskan ke bagian lain (dinas rahasia). Yosef ternyata masih setia pada negaranya tercinta.
Sisi kesetiaannya pada pemerintah negara tercintanya tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
“Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu saya trauma. Kasihan dia. Tapi, ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.
Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef satu-satunya anak lelaki dalam keluarga.
“Petinya berselubung bendera besar, besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru.
Perempuan muda malah menggigil. Betapa sunyi mayat yang berongga! (hlm.14)

Kutipan di atas memperlihatkan betapa teguhnya ia pada sumpah setianya sebagai prajurit—sebuah keteguhan yang diiringi keyakinan, kecintaan, kebanggaan, dan penghormatan. Kematian adik kandungnya sendiri, yang tercincang-cincang dan terbantai demi tugas mempertahankan keutuhan negara yang dikuasai para pemimpin pemerintahan, tidak dianggap Yosef sebagai sebuah soal besar dibandingkan dengan kebesaran bendera kenegaraan yang menyelimuti peti jasad tidak berongga tubuh adik kandungnya. Kekuatan dan kejanggalan perasaan ini bisa dibandingkan dengan kegigilan perasaan hati perempuan muda teman duduknya yang bukanlah sesiapa saudara kandungnya—bukan pula sesiapanya dia.
Ketetapsetiaannya pada kepentingan negara dan pemerintah itu juga menjadi tambah menyentuh jika melihat kutipan perkataannya berikut ini:
“Saya benar-benar mencintai kekasih saya. Tapi, sore ini saya benar-benar terpukul. Keluarganya tak merestui hubungan kami. Kakak-kakaknya mengancam akan mencelakai saya bila kami nekat juga. Salah seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa. Mungkin, gaji saya terlalu kecil dan hidup seperti ini membuat keluarganya khawatir. Mungkin…,” tutur Yosef, lirih. (hlm. 15)

Dalam kutipan di atas dapat dilihat betapa Yosef langsung kecut nyalinya untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri saat kepentingan pribadi tersebut mesti bersilang lintas dengan kepentingan atau kehendak pihak lain yang berkuasa. Padahal orang-orang berkuasa inilah yang ia bela dan jaga. Kepedihan semakin memilukan, bahkan mungkin agak memalukan, saat Yosef barangkali terpaksa untuk tahu diri bahwa ia orang kecil—lebih konkretnya lagi: bergaji kecil dan memiliki hidup yang membuat keluarganya khawatir. Di saat dan konteks seperti ini, nyatanya ia tidak perlu berbangga dengan kesetiaan dan pengabdian pada negara yang bersandang di bahunya. Yosef menjadi orang kecil biasa yang menyerah pada petinggi-petinggi bangsa namun seraya tetap memelihara cinta dan setia.
Bagaimanapun, di balik keteguhannya membela dan mengabdi penguasa tersebut, Yosef juga ditampilkan apa adanya sebagai manusia. Dari kutipan di atas bisa terlihat kesedihan yang sangat di hati Yosef kala terpaksa mesti berpisah dengan kekasih hatinya. Perasaannya yang timbul dari pertemuan yang begitu membekasi hati dengan Maria diceritakannya pada seorang perempuan tidak dikenalnya di kereta api—yang kemudian ternyata akan menjadi target pembunuhannya sebagai wanita pimpinan teroris. Hal ini juga menunjukkan segi sentimental Yosef.
Meski begitu, Yosef kelak tetap ditampilkan sebagai serdadu berdarah dingin—kondisi kejiwaan yang mungkin berhimpitan dengan sisi sentimennya. Bekunya perasaanya itu kembali hadir di akhir cerita pada saat pembunuhan wanita pimpinan teroris yang menyimpan sebagian rahasia hidupnya. Perempuan tersebutlah yang pada kisah sebelumnya mendengar segala keluh kesahnya. Berikut kutipannya:
Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar, sejajar dengan tempatnya berada. Seseorang terlihat mondar-mandir di kejauhan, berbicara pada dua teman. Titik merah dalam lensa Yosef ikut bergerak. Pupil matanya menajam. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Kini sasarannya berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah pada lingkaran, menyambar.
Kaca jendela pecah berkeping di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur. Yosef sudah melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang komandan.
Ketika pertama kali melihat potret perempuan muda itu, Yosef sempat tercenung lama: pemimpin para teroris. Ia teringat perempuan yang dijumpainya di kereta sebulan lalu. Pastilah dia, pikir Yosef. Ya, dunia ini memang kejam pada serdadu. Ia telah membunuh perempuan itu, melenyapkan nyawa orang yang menyimpan sebagian rahasia hidupnya. (hlm. 19-20)

Dalam cerpen “Makan Malam” terdapat tokoh Ibu yang menjadi pusat penceritaan. Dia adalah seorang istri yang ditinggal pergi suaminya (tokoh Ayah) ketika ia masih mengandung jabang bayinya—yakni tokoh Aku. Kepergian suaminya adalah kepergian ke luar negeri. Suaminya tidak bisa lagi kembali ke dalam negeri disebabkan sebuah gejolak politik besar yang tengah melanda pemerintahan dalam negeri. Kebetulan sang suami tersebut berlatar belakang politik bertolak belakang dengan pemerintahan yang berkuasa (kemudian) setelah berhasil merebut kekuasaaan dari pemerintah lama.
Suatu pagi buta, setelah siaran radio berkali-kali menyiarkan berita kudeta, serombongan orang mendatangi rumah dan mencari Ayah. Ibu sedang hamil 5 bulan. Mereka mengobrak-abrik ruang kerja Ayah, mengambil buku-buku dan dokumen lalu membakarnya. Keesokan hari, saat langit masih gelap, Ibu meninggalkan rumah itu dan pergi ke kampung nenek.
Fitnah-fitnah mulai gencar. Banyak orang dibunuh. Mayat-mayat mengambang di sungai. Ibu memutuskan kembali ke kota. Hidup harus berlanjut. Aku sudah lahir dan butuh susu. Setelah itu kehidupanku seperti berhenti, kata Ibu. Pria-pria silih-berganti. (hlm. 27)

Setelah ketidakpulangan sang suami, tokoh Ibu, demi membelikan kebutuhan “susu” anaknya, terpaksa menjalani hidup sebagai pelacur (pria-pria silih berganti). Sebagai orang tua tunggal (single parent), seorang diri ia membesarkan dan menyekolahkan anak semata wayangnya. Di sekolah, anak semata wayangnya ini (tokoh Aku) terpaksa harus menerima fakta bahwa dia cuma punya ibu dan ibunya itu dipanggil orang wanita panggilan. Lama-kelamaan tokoh Aku pun terbiasa menerima kenyataan bahwa ibunya punya banyak “langganan” lelaki.
Rencana kepulangan bapak kandung anaknya ternyata menggelisahkan tokoh Ibu. Di satu sisi dia terlihat masih menyimpan harapan dan kenangan lama pada sang suami. Di sisi lain ia seperti memendam amarah karena tiadanya kabar sekian lama dari sang suami tercinta tersebut sehingga dia terpaksa melacur dan membesarkan buah hati mereka hanya sekadar dengan curahan kasih sayang seorang ibu. Beban perasaan yang berat menekan itu dapat dilihat dari sikap Ibu pada kutipan berikut ini:
Malam ini Ibu agak dingin. Kalimat ‘I love you’ cuma terdengar sekali. Sepasang matanya menerawang. Ibu melamun. Ketika Ibu melamun, aku seolah ditinggalkan sendiri dan bukan bagian dari dirinya lagi. Ketika Ibu melamun, ia bersembunyi dalam kamar yang tak bisa kumasuki. Dulu sering kulihat Ibu melamun, kemudian makin berkurang, dan akhirnya, tak pernah lagi. Sekarang Ibu kembali pada kebiasaan lama. Ada apa?
“Dia akan pulang ke sini,” kata Ibu, datar.
“Siapa?”
“Lelaki itu.” (hlm. 22-23)

Sementara kenangannya yang terasa indah pada lelaki itu dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
“Sebaiknya kamu bertemu Ayahmu,” kata Ibu, dengan suara serak, sehari sebelum lelaki itu datang.
Ibu sakit lagi. Tubuhnya demam.
“Mengapa dia meninggalkan kita?” Kemarahan menggumpal di tenggorokan.
“Nanti kamu tanyai dia. Mengapa? Pertanyaan itu juga yang ada di kepalaku selama lebih dari tiga puluh tahun ini. Mengapa?” Airmata meleleh di pipi Ibu yang mulai kelihatan kendur.
Bila sakit, Ibu senang mendengar gending Jawa. Aneh juga. Selera Ibu jadi berubah mendadak begini. Ibu bagai terseret dalam alunan gending. Gending menjadi ombak. Ibu menjadi perahu. Mereka bergulung-gulung dan saling hempas di laut lepas. Kulihat mata Ibu berkaca-kaca.
Dulu ayahmu suka menembang, kata Ibu. Suaranya merdu. Di malam hari ketika Ibu mengandung aku, Ayah suka menembang. Suaranya jernih. Aku pernah dininabobokkan Ayah dan itu membuat perasaanku tenteram. Seperti apa wajah Ayah, Bu?
Ibu tak menyimpan potret Ayah. Tetapi dia terekam di sini, Ibu menunjuk dadanya. Bahkan, untukku pun tak bisa dibagi. (hlm. 26-27)

Kenyataannya, setelah kedatangan sang ayah dan suami tersebut, tidaklah sebagaimana yang diharapkan semula.. Jangankan berharap kepulangannya akan kembali mengutuhkan keutuhan keluarga yang sempat rumpang berpuluh-puluh tahun, sang suami malah berkabar bahwa dia telah beranak pinak pula di perantauannya di tanah seberang (Soviet atau Rusia). Kedatangannya ternyata hanya sekadar minta maaf pada istri tuanya dan memberikan syal buatan Rusia pada anak lamanya—dengan ekspresi “dingin’ pula.
Hanya sebentar dia bertamu ke rumah anak istrinya sendiri, sesudah itu dia langsung pergi dan menginap cukup di hotel sebab dia akan melanjutkan “bernostalgia” mengunjungi teman-teman lama di dalam negeri lamanya. Kegetiran suasana setelah kedatangan sang suami dan sang ayah ini dapat terasa dari kontras suasana makan malam—yang menjadi judul cerpen ini—antara makan malam berdua Ibu dan anaknya sebelum kedatangan tokoh Ayah, saat kedatangannya, dan setelah kepergiannya kembali. Berikut dikutipkan:
Kami makan malam bersama, aku dan Ibu. Ya, makan malam saja kami bersama. Sarapanku selalu terburu-buru. Jalanan macet di pagi hari. Kantorku lumayan jauh dari tepi kota ini. Aku selalu bergegas. Ketika aku berangkat, Ibu masih tidur. Aku makan siang di kantor. Ibu makan siang di rumah. Makan malam adalah ritual kami, ibu dan anak. Makan malam adalah waktu kami bersama, tak bisa diganggu-gugat.
Kami selalu makan malam berdua. Ibu memasak sendiri makanan yang disajikan. Sup ikan. Tempe goreng. Gado-gado. Aku makan dengan lahap dan Ibu akan memandangku dengan senyum puas. Musik juga mengalun. Kali ini Bach, kemarin Chopin. Padahal, aku suka Satie.
Tiap makan malam usai, kami duduk di beranda belakang. Aku dan Ibu sama-sama merokok. Asap tembakau yang putih mengepul, berputar, atau bergulung, melayang di udara, kemudian lenyap. Kadangkala ia menampar wajahku atau wajah Ibu sebelum ditelan udara dingin yang mengisapnya. Kadangkala, kami juga mengisap ganja. Di antara biusnya, kulihat sepasang mata Ibu yang terpejam. Ibu kelihatan damai dengan mata terpejam, seperti bayi tidur. (hlm. 21-22)



Makan malam kali ini kami bertiga. Aku, Ibu, dan Ayah. Tak ada musik klasik. Ibu membeli makanan terbaik dari restoran mahal. Namun, suasana menjadi ganjil. Ibu dan Ayah tak berani saling pandang. Aku seakan monyet yang terjebak.
Wajah pria di hadapanku tirus, putih, dengan rongga mata dalam. Uban sudah memenuhi kepala. Jasnya kebesarannya. Suaranya gemetar, mirip rintihan. Inilah Ayahku. Bagaimana aku menghadapi pria ini?
Kami makan tanpa suara. Denting sendok garpu saling bersahut.
Setelah makan malam, Ayah memberiku sehelai syal biru.
“Kamu bisa mengenakannya untuk bepergian,” kata Ayah, bergetar. Tetapi, aku tak biasa mengenakan syal untuk penampilan sehari-hari. Ini negeri tropis. Panas.
“Oh, ya … terima kasih, Om … eh, Yah.” Aku memanggilnya “Om”!
Ibu langsung mengusap-usap punggungku. Tenang, bisiknya.
“E, aku ingin mendengar e … Ayah bercerita,” kataku.
“Cerita apa? Aku belum punya cerita.”
“Oh, ya sudah. Kalau begitu menembang saja.”
“Hmm … suaraku nggak bagus lagi. Dan sekarang lagi nggak pengen nembang.”
Kulirik Ibu yang tertunduk diam.
“Ayah berencana tinggal di sini?”
“Belum tahu. Mungkin nggak. Di sana aku juga punya kehidupan.”
Entah kenapa, aku ingin menangis.
“Jadi, kenapa pulang?”
Ia memandangku. Tulang-tulang rahangnya mengeras.
“Aku mau selesaikan urusan dengan Ibumu.”
Malam itu mereka berbicara di beranda. Aku mendekam dalam kamarku, mengisap ganja. Layar komputer menyala. Desain majalah yang harus selesai besok kubiarkan terbengkalai. Aku malas. (hlm. 28-29)



Aku dan Ibu masih makan malam bersama. Namun, kali ini aku yang memasak untuk kami. Aku juga menyuapi Ibu. Chopin, Bach, Beethoven, Schubert … silih-berganti. Kami akan selalu berdua. Kesehatan Ibu makin memburuk. Ia sudah jarang berbicara padaku. Aku selalu berbicara padanya tentang bermacam hal. Minggu lalu, ia kubawa ke dokter. Sakit pada tubuh bisa diobati. Sakit pada hati sampai mati. Ayah, kata itu makin sayup dan tak terdengar lagi …. (hlm. 30)

Tokoh dalam cerpen “Pesta Terakhir” adalah seorang kakek tua yang dalam cerpen ini cuma disebutkan dipanggil Mar oleh temannya Mursid dan Papa oleh anaknya Alma. Diceritakan Kakek Mar ini sedang menikmati ketenangan hidupnya sebagai seorang senior citizen. Dari lantai rumahnya yang asri ia mengamati perubahan alam dan kondisi. Perobahan cuaca dihayatinya sebagai suatu karya seni yang indah di mata dan “sedap” di hati. Keindahan yang semakin lengkap sempurna berkat sokongan kondisi fit fisiknya; tentu saja keadaan fit dengan konteks orang yang sudah tua. Pada usianya yang semakin uzur dan renta, dia digambar masih sehat wal afiat adanya.
Beruntunglah ia, masih bisa mencicipi makanan enak, tak punya penyakit jantung, hipertensi, atau maag kronis seperti kebanyakan teman seusia. (hlm. 33)

Selain itu, Kakek Mar ini dari dulu (masa mudanya) digambarkan sebagai seorang pria “flamboyan” yang gemar keindahan wanita. Pengertian gemar di sini adalah bernilai lebih dari standar. Jika standar kebutuhan seorang pria adalah empat buah, Kakek Mar tentulah tidak akan merasa cukup jika mendapat sebegitu saja. Mungkin perolehan nilai lebih ini berkat karuni kesehatan fisik yang diberikan Tuhan padanya.
Karakter seperti ini bahkan awet hingga dia lansia. Diceritakan bahwa Kakek Mar berdesir darah kala mengamati “keindahan” gadis-gadis muda. Barangkali inilah sebabnya secara resmi ia berhasil sudah menikahi beberapa wanita. Wanita yang dipacari dan dikawininya secara tidak resmi tentulah dalam jumlah tidak berhingga. Tokoh Alma adalah putrinya dari istri yang ketiga. Kakek Mar dalam cerpen ini memang ditampilkan kukuh dan kokoh sebagai seorang petualang cinta atau petualang wanita.
Jangan ngomong begitu, Pa. Siapa tahu ada yang memberatkan pikiran Papa. Siapa tahu, lho.
Nggak ada. Papa nggak mikir apa-apa.
Papa punya pacar lagi, ya?
Pacar? Kamu kok tanya yang begitu-begitu, sih. Gimana kamu sendiri?

Sejujurnya, ia tak pernah merasa tua apalagi buruk rupa. Darahnya tetap berdesir macam ombak laut bila berpapasan dengan gadis-gadis belia. Kadangkala ia bersiul menggoda gadis-gadis yang lari pagi di jalan depan rumah, mengamati ukuran bokong mereka. Alma hanya tertawa-tawa melihat kelakuan ayahnya, yang lebih cermat ketimbang tukang jahit. Sejak muda ia memang gemar keindahan wanita. Tiga perempuan pernah menjadi istrinya. Tak terhitung gundik maupun pacar yang tersebar di berbagai kota dan negeri yang pernah disinggahi. Yang terakhir, perempuan Italia, berpanggul lebar dan suka berdendang. Ia tinggalkan begitu saja lantaran jemu … Istri pertamanya, Connie, Indo-Belanda, minta bercerai setelah memergoki ia berselingkuh dengan perempuan lain yang kemudian menjadi istri keduanya … Connie gigih menjanda sampai kini, masih menyimpan sakit hati, selalu menolak ditemui.
Istri keduanya, perempuan yang paling ia cintai, menghilang…
Ia menduga rasa penasaran dan nelangsa akibat ditinggalkan itulah yang membuat cintanya pada Alijah seolah abadi, ya, ya seolah abadi.
Ibu kandung Alma, istri ketiganya, meninggal dunia tiga tahun lalu. Serangan jantung. Ia dulu memburu Harini karena tergila-gila pada cawak di kedua pipi perempuan itu yang muncul tiap senyum atau tawa merekah di wajahnya yang bundar. Namun, siapa yang mampu mampu mengikat selera pria binal? Ia dan Harini memutuskan berpisah saat Alma berusia 12 tahun, meski mereka berdua masih berstatus suami-istri. Harini mencurahkan seluruh waktu untuk putri mereka. Ia menghabiskan waktu untuk para wanita.
Olala. Ia jadi teringat Mursid, si teman karib. Mursid paling sering menentang tabiat Don Juan-nya itu. Sudahlah, Mar, satu saja tak akan habis, katanya.

Gadis-gadis mengagumi lakonnya di atas panggung dan ia dengan senang hati memacari mereka. Bahkan, cinta pertama Mursid menjadi kekasihnya yang kesekian…
Ketika ia menikah, Mursid yang menjadi wali, sampai tiga kali. Masak perempuan sedunia mau kau kawini, Mar? Mursid berbisik di sisi sang mempelai pria yang menyeringai nakal.

Dalam sel yang sempit di Salemba dulu, mereka pernah bertaruh dengan nasib, berbulan-bulan. Ia tak tahan. Nafsunya, terutama, butuh pelampiasan. Berkali-kali ia onani saat teman-temannya sudah bergeletakan tidur malam sehabis korve seharian yang menyiksa. (hlm. 35-39)

Dari kutipan di atas terlihat bagaimana hasrat Kakek Mar terhadap ransangan dari kaum Hawa begitu dahsyatnya. Dari kutipan paragraf terakhir terlihat bagaimana saat-saat ia harus hidup terkurung di bui pun ia mesti juga mencari-cari kesempatan untuk memenuhi tuntutan libido berlebihannya. Seusai kerja paksa ternyata ia masih bertenaga untuk melaksanakan “kerja” lainnya.
Minat dan hobi yang seperti inilah yang membuat Kakek Mar tega mengkhianati kawan-kawannya sendiri, termasuk Mursid, yang sama-sama di tahan bersamanya di sebuah sel sempit di Salemba. Berkat bocoran informasi darinya, kawan-kawannya dikirim dengan kapal pertama ke sebuah kamp dan dia menghirup hidup bebas. Pengkhianatan Kakek Mar terhadap kawan-kawanya inilah yang kemudian menjadi bahan cerita dalam cerpen ini. Pada akhir cerita diperlihatkan bahwa rasa bersalah dalam diri Kakek Mar membuat dia berkeinginan melakukan pengakuan dosa pada Mursid, kawan baiknya.
Tokoh dalam cerpen “Balada Hari Hujan” adalah seorang waria yang oleh pencerita tidak disebutkan namanya melainkan hanya dideskripsikan dengan menggunakan pronomina Ia. Tokoh Ia ini dilukiskan dengan teknik penceritaan yang cukup menarik. Menariknya tersebut adalah bahwa cerpen ini memberikan kejutan kepada para pembaca dengan mengaburkan jenis kelamin tokoh cerpen ini pada awalnya hingga baru diketahui dengan jelas, kepastian jenis kelamin tersebut, pada akhir cerita.
Mengikuti deskripsi tentang Ia pada awal hingga tengah cerita—dari apa-apa yang diceritakan pengarang tentang “pekerjaan” tokoh ini—hanya akan meghasilkan penafsiran pada pembaca bahwa tokoh tersebut adalah seorang pelacur. Hal ini bisa menjebak pembaca, bahwa Ia berkelamin wanita, karena memang jenis kelamin inilah yang umum dikenal dekat dan lekat pada “profesi” tersebut—terutama lagi bagi bangsa timur. Lebih menariknya lagi, teknik penceritaan seperti menghadirkan alur yang mengklimaks untuk membawa pembaca pada penafsiran jenis kelamin tokoh Ia ini.
Berikut kutipan teks yang bisa diduga dapat memainkan penafsiran pembaca tersebut:
Ia biasa mengambil meja di pojok, dekat porselen persegi berisi rumpun mawar plastik warna kuning yang rimbun. Ia biasa ditemani rengek saksofn David Sanborn yang selalu terdengar di sini pada jam kedatangannya. Sanborn mengingatkannya pada seorang pria berkaca mata hitam yang tersenyum lepas pada halaman sebuah majalah musik, mirip pacar pertamanya. Hmmm… Sejak melihat Sanborn yang funky dengan kaca mata hitam ia pun selalu mengenakan kaca mata hitam bila bepergian, terutama ke tempat-tempat umum dan ramai orang. (hlm. 58)

Kuku-kukunya terlihat berwarna biru turquoise, warna batu kelahirannya, warna cat kuku kesayangannya.

“Sok ninggrat,” pikirnya , mengingat sang pria. Mereka bertemu tadi malam. Ah, sudahlah, pagi ini tak ada lagi kenangan. Pikiran romantis hanya membuat hati sedih, memperpendek umur. (hlm. 59)

Ia mengenal beberapa pria mengesankan saat hujan. (hlm. 59-60)
Ia mendadak terkikik-kikik … Ia sendiri lebih suka membaca novel-novel percintaan, terutama yang berakhir tragis. Kesedihan ternyata menimbulkan orgasme juga. Ia terkikik lagi.
Sepasang muda-mudi di sudut lain kafe tersebut melirik sebentar ke arahnya, mungkin menganggapnya gila, lalu berpaling lagi pada kesibukan semula. Ia mencibir ke arah mereka dan bibirnya terasa kering. Kali ini buru-buru diraihnya lip balm rasa stoberi. “Bibir yang kering menandakan kesehatan yang buruk,” pikirnya gundah, teringat tips kecantikan di sebuah majalah wanita.
Pelayan datang membawa nampan berisi pesanannya; bubur ayam yang masih mengepul panas. Secangkir susu coklat juga diangsurkan pelayan ke hadapannya. Pandangan mereka bertemu. Si pelayan tersenyum simpul. Sekilas ia melihat pelayan mengerdipkan sebelah mata sebelum berlalu. “Genit,” pikirnya, sebal. (hlm. 60)
Ia mulai meniup-niup bubur ayamnya, lalu menyeruput cairan kental itu dengan suara keras. Ia tak begitu peduli pada tatakrama yang diajarkan neneknya bahwa pantang mengeluarkan bunyi-bunyian saat mengunyah makanan atau meneguk minuman. Ia juga sering bersendawa seenaknya bila gas dalam perutnya yang kenyang mendesak keluar. Tatakrama kurang menghargai ekspresi masing-masing pribadi, pikirnya, sinis.

“Maaf, Jeng. Boleh saya ambil sambalnya,” suara perempuan bernada alto mampir di telinganya. (hlm. 61)

Ia masih ingat cengkraman kencang pria itu pada leher dan bahunya yang terbuka. Jari-jari kakek yang kurus terasa tajam di daging muda yang lunak. Dengusan keras seakan mampir di telinganya lagi … Sesudah kegaduhan berlalu, ia merasa kesal menatap gaun dan stocking sutranya yang robek di sana-sini, meski orang tua itu selalu memberi uang belanja untuk mengganti pakaiannya yang rusak tiap kali mereka selesai bercinta.
Semula ia berharap Benyamin menjadi yang terakhir. Mungkin, Pria yang menerima segala kekurangannya itu bersedia mengawininya dan ia akan merawat Ben dengan baik, setulus hati. Ia memang mencintai pria itu, setia mendengar keluh kesah Ben tentang anak-anak yang satu demi satu meninggalkan rumah untuk berkeluarga dan tak lagi peduli pada ayah mereka yang sendirian. (hlm. 62)
Seperti biasa, ia mengelus-elus rambut pria itu dan menyanyikan lagu-lagu nostalgia yang digemari pria seusia Ben, sampai sang kekasih lelap dan mendengkur.
Ternyata lelaki tetap saja lelaki, tak peduli tua atau muda. Mereka sangat pintar mengarang cerita sedih, memasang jerat untuk menaklukkan wanita.

Ia membalas tatapan si pria tua secara khusus, lurus-lurus dan berani. Tak sia-sia. Sepasang mata tua itu mendelik, kaget. Ia merasa puas dan menyungging senyum lebar. (hlm. 63) (cetak tebal dari penulis)

Variasi acuan dari kata-kata bercetak tebal dalam kutipan di atas menunjukkan upaya permainan penafsiran pembaca oleh pengarang sebelum pada akhirnya pembaca (bisa) dikejutkan sekaligus terpuaskan oleh fakta bahwa tokoh Ia adalah seorang waria. Tambah pula secara linear upaya manipulasi estetik ini terasa cukup runut dan runtut membentuk klimaks pada bagian akhir. Dari fakta terakhir ini baru bisa dipahami hubungan antara kata-kata yang terkesan saling bertolak belakang, seperti dikutip di atas, sebagaimana kenyataan bahwa tokoh Ia adalah paduan antara tubuh seorang pria dan jiwa wanita.
Tokoh Ia dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang sosok yang berharap sangat pada akhirnya bisa menemukan pria terakhir yang bisa menjadi pasangan penghabisannya sehingga usai sudahlah profesi laknatnya selama ini. Harapan itu semula tumbuh pada tokoh Benyamin, kakek tua yang semalam dikencaninya dan begitu Ia kasihi. Namun kenyataan berikut yang secara tidak sengaja ia temukan, bahwa lelaki ini telah berdusta, benar-benar membuat perasaan tokoh Ia begitu terpukul pada akhirnya. Ia diceritakan mesti menghibur diri kembali bermain dengan kawan-kawan sepermainan dan sepernasibannya; melanjutkan lagi roda takdirnya.
Dalam cerpen “Lelaki Bearoma Kebun”, ada dua tokoh yang terlihat hampir sama kuat kedudukannya sebagai tokoh utama; yang pertama adalah Halifa sebagai tokoh yang bercerita—meski dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga—dan yang kedua adalah Si Penjaga Kebun sebagai tokoh yang cukup dominan dikisahkan. Tokoh Halifa dalam cerpen ini adalah seorang perempuan muda yang telah lama tidak kembali ke kampung halaman. Suatu waktu dia menyempatkan pulang dan mendapati keadaan di kampung halamannya telah banyak berubah. Dalam keadaan yang sudah banyak berubah tersebut sekonyong-konyong tokoh Si Penjaga Kebun menjadi pusat perhatian bagi Halifa.
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun. Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga.
Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-merut usia tua makin nyata. Daya ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi merah, belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun. Apakah masih juga dikenakannya topi kebun dari kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya yang berkilau saat terayun ke batang lalang dan semak-belukar seakan hadir di depan mata. Kadangkala lelaki itu mengeluarkan suling dari tas resam dan memainkan lagu-lagu berirama Melayu. Ia punya radio transistor yang bisa menangkap siaran dari Malaysia. Radio model lama berbentuk roti bantal itu warisan kakek Halifa. Mungkin, bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada yang berasal dari lubang-lubang suling si penjaga kebun. (hlm. 77-78)

Tokoh Si Penjaga Kebun ini pada akhirnya cerita baru ketahuan bahwa dia sebetulnya masih mempunyai hubungan famili dengan keluarga Halifa; bukan sekadar orang upahan biasa sebagaimana yang selama ini diketahui Halifa dari semenjak berumur kecil. Akan tetapi, tanpa pengetahuan ini pun Halifa sedari kecil memang mengagumi sosok penjaga kebun ayahnya ini. Kekaguman ini tentu bisa dimaklumi akan cukup berbekas hingga ia dewasa pun setelah sekian lama dan jauh berjarak dari masa lalunya. Bagaimana pandangan Halifa terhadap tokoh Si Penjaga Kebun bisa dilihat dari kutipan berikut ini.
Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun, menabur kotoran ayam dan kambing di atasnya. “Biar gembur, tanah perlu makan,” katanya pada Halifa kecil.
Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti musang yang mengeluarkan wangi pandan. Hembusan angin membawa aroma tubuh penjaga kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman. Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan. (hlm. 79)

Lelaki itu dilukiskan dalam cerita ini sebagai sosok yang setia dan tabah menjalankan profesinya sebagai tukang kebun. Dia merupakan jenis manusia yang mencintai apa yang menjadi pekerjaan dan kewajibannya sehingga terlihat dapat menikmati dan bisa berbahagia atas apa yang dikerjakannya itu. Dia adalah sosok yang menghadirkan ketenangan bagi mata yang memandang dan menebarkan kedamaian bagi siapapun yang berpapasan dengannya. Pilihan hidupnya yang memilih sendiri sungguh mengagumkan buat Halifa sedari kecil.
Penjaga kebun itulah yang selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri. (hlm. 84)

Oleh karena itu, dalam keadaan hujan gerimis dan jari-jari petir menyambar Halifa memaksakan diri juga untuk berkunjung ke pondokan kecil tempat Si Penjaga Kebun tinggal. Di sana Halifa mendapatkan lelaki tersebut sudah mulai sakit-sakitan. Di sana Si Penjaga Kebun sakit-sakitan tersebut menceritakan sesuatu pada Halifa dewasa. Dari pertemuan inilah Halifa baru mengetahui rahasia pertalian darahnya dengan Si Penjaga Kebun yang selama ini tidak diketahuinya.
“Oh, dak ape-ape, tuk. Halifa cume nak mampir sebentar. Lame dak pulang. Semue la berubah,” kata Halifa, seraya duduk di tepi ranjang.
“Benar. Banyak yang berubah. Nyai la dak ade. Yai kau ape agik. Papa kau pun la pensiun. Kebenaran kau pulang. Ade yang nak atuk cerite. Atuk ni la sakit-sakit terus, sebentar agik nak pulang ke tanah. Macam-macam sakit pun ade, dari pening, mengas sampai … mate ni la dak keliat agik la. Kau di situ pun, atuk dak bise nampak jelas, kabur,” lanjut lelaki tua itu, tertatih-tatih mendekati Halifa, membawa gelas air.
Lelaki itu akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa (hlm. 85-86)

Selain terhadap Si Penjaga Kebun, Halifa juga terkenang pada keluarga besarnya: Malida, adiknya, ayah dan ibunya, serta nenek dan kakeknya. Nilai-nilai yang bisa dipetik dari orang-orang tercintanya tersebut senantiasa membekas dalam sanubari Halifa. Sebagai penutup cerita cerpen ini, perihal Si Penjaga Kebun inilah yang dilukiskan masih setia membayangi hari-hari selanjutnya Halifa di bumi perantauan.
Ketika si penjaga kebun meninggal dan jenazahnya dimakamkan, Halifa telah kembali ke tanah rantau. Ia cuma mengirim doa. Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa angin masih menyertainya di jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-tempat baru yang pertama kali dikunjunginya… (hlm. 87)

Dalam cerpen “Makan Keempat” terdapat juga dua tokoh yang terlihat cukup menonjol, yakni tokoh Aku dan Paula; Aku adalah ayah Paula. Dengan pertimbangan dan argumentasi bahwa perasaan-perasaan tokoh Akulah yang menjadi fokus utama cerita maka bisa dikatakan bahwa ayah tokoh Paulalah yang menjadi tokoh utama cerpen ini. Terlebih lagi tokoh Aku faktanya menjadi pusat pengisahan cerita ini sehingga dia senantiasa terlihat konsisten mengawal alur cerpen ini.
Tokoh Aku dalam cerpen ini, dan istrinya, Elia, diceritakan kehilangan Paula, putri tercinta mereka. Menyedihkannya—terlebih—kepergian tokoh Paula tersebut bagai menghilang tanpa jejak dan tiada berbekas. Ada pula dugaan-dugaan bahwasanya Paula telah disekap dan disandera pihak penguasa karena aktifitas subversifnya. Sebab itu sulit untuk membuktikan keberadaan Paula; apakah masih hidup atau memang telah tiada.
Karena pengarang dalam cerpen ini tidak bersikap dan bersifat mahatahu selalu, soal keberadaan Paula pun hingga akhir cerita tetaplah kenyataannya berselimut kabut misteri; salah satunya secara retoris—dalam pengertian teknik bercerita—didukung oleh pemilihan sudut pandang ini. Pada akhirnya, yang jelas, demi menghilangkan kesedihannya tokoh Aku akhirnya memutuskan untuk menganggap bahwa Paula telah di alam baka sana; entah tenggelam di lautan atau ditelan daratan (dimakan hiu atau disekap dalam benteng bawah tanah [hlm. 133]). Untuk itu kedua orang tua tokoh Paula ini membuatkan makam untuk putri kesayangan mereka.
Rasa sedih dan pedih kehilangan Paula tersebut menghadirkan ilusi bagi tokoh Aku pada hari-hari berikutnya tanpa kehadiran Paula. Jiwa Paula seolah tetap datang kembali ke rumah orang tua tercinta sebagaimana harapan seorang Aku yang selalu terkenang buah hatinya. Berikut kutipannya:
Paula datang ketika lampu-lampu ruang telah padam. Tubuhnya memancarkan sinar putih. Lembut. Berpijar. Kuletakkan kotak cerutuku di meja dan bangkit perlahan dari kursi malas untuk menyambutnya. Namun, ia memunggungiku, meluncur di lantai, kemudian menghilang tepat di tengah lorong menuju dapur. Dan lantai licin yang kupijak tiba-tiba berperekat. Aku tertahan di atasnya, mirip tikus terjebak di perangkap berumpan. Kusaksikan Paula sirna. Kedua tanganku yang bersiap memeluknya tertahan di udara, menggantung kaku. Ia meninggalkan ruang lengang tanpa aroma. Ia meninggalkan aku. Datang dan perginya bagai tuah dari tongkat sihir, terbit dari tiada dan lenyap ke dalam tiada. Dibiarkannya kami menunggu selama sepuluh musim.
Ketika belum terbiasa dengan cara datang dan pergi Paula, aku sering berteriak-teriak memanggil namanya dan berharap ia berbalik serta menatapku. Tak sekalipun ia menggubris. Kedua telinganya bagai tersumbat besi tempaan. Tubuhnya meluncur lurus ke muka, sebelum lebur dalam udara. Namun, aku masih berharap.
Paula selalu datang ketika hanya pijar lampu bacaku yang menyala dan membuat gradasi cahaya, ketika temaram di sekelilingku benar-benar hilang di ujung lorong gelap-gulita.
Aku menyebut namanya, dengan tekanan dan perasaan beragam; haru, senang, cemas, putus asa. Namun, suara serak ini hanya dijawab oleh gemanya sendiri, diikuti desah napasku yang berat, letih… (hlm. 123-124)

3.3.2 Latar
Latar yang dianggap paling menonjol, terkait tema-tema kemanusiaan dalam kumpulan cerpen ini, yang akan dibahas pada bagian ini adalah latar suasana. Sesuai kecenderungan ekspresi kemanusiaan yang begitu teraba dan terasa dari dua belas cerpen kumpulan cerpen ini, khususnya enam cerpen yang dibahas, latar suasana dalam cerpen-cerpen tersebut terlihat sangat mendukung bagi tema-temanya. Sebagai contoh berikut akan dikutipkan beberapa potongan paragraf dari cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”.
Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. (hlm. 11)
Angin pun berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan…
Kereta ini seperti melayang di tengah gelap. Noktah-noktah cahaya dari perkampungan, seperti barisan kunang-kunang muncul di jendela. Namun, selebihnya gelap pekat. (hlm. 13)
Noktah-noktah cahaya timbul-tenggelam di bidang jendela. Keniscayaan yang lain memendarkan nyeri lagi pada ulu hati…
Lorong kereta begitu sunyi. Orang-orang lelap dalam selimut katun seragam biru tua. (hlm. 15)
Kesenyapan dan kesabarannya saling beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik makin menggema, mengerat sepi. (hlm. 16)

Penggambaran latar yang umumnya telah terpisah dan berjarak dari peristiwa utama cerita, seperti dikutipkan di atas, memperlihat suasana yang muram dan agak suram. Suasana “kelam” seperti ini terlihat sangat sesuai dengan kemurungan jiwa yang tengah melanda prajurit Yosef Legiman, tokoh utama cerpen ini. Atmosfer ini juga sesuai dengan keseluruhan tema cerita yang mengungkapkan kegalauan hati Yosef sebagai seorang prajurit tempur atau sniper yang mesti menjalani suratan takdirnya membunuh sesama manusia.
Tidak hanya pelataran suasana alam semata yang menjadi sarana untuk membangun atmosfer gelap seperti ini. Peristiwa-peristiwa dalam cerita pun cenderung mendukung bagi terciptanya suasana seperti ini. Berikut dikutipkan narasi cerita ketika dalam cerpen ini dikisahkan Yosef bertemu langsung, hanya berduaan saja, dengan tokoh Maria Pinto, panglima perang mistis pasukan musuhnya.
Ia bisa melihat jantung, usus, paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis tersebut dengan jelas. Kepala mungil yang cantik berubah membesar dengan pupil-pupil mata yang menonjol serta kulit wajah mengeriput. (hlm. 17)

Hal seperti ini juga terasa dari kisahan rekan Yosef yang telah terlebih dahulu terjun ke medan tempur menghadapi Maria dan gerombolannya. Berikut dikutipkan:
“Ketika kabut datang, bergulung-gulung melewati medan pertempuran, anggota pasukan kami satu demi satu mendadak gugur dengan luka tembak. Suatu hari kabut itu datang lagi, bergulung-gulung di atas kami dan aku menembaknya, tanpa henti. Ketika kabut lenyap, aku saksikan tujuh orang terkapar mati di tanah. Negeri itu memang ajaib,” kisah teman Yosef, tersenyum pahit. (hlm. 12-13)

Hal seperti ini juga dapat dengan mudah ditemukan pada cerpen-cerpen lainnya. Tentu saja tidak semua pelataran menciptakan atmosfer yang cenderung “gelap” seperti ini. Berbagai objek cerita sangat memungkinkan untuk terjadinya bermacam variasi. Namun secara keseluruhan, pelataran suasana tersebut cenderung menunjang bagi suasana kepedihan manusia yang dominan menjadi nuansa tema-tema kemanusiaan dalam kumpulan cerpen ini. Berikut dikutipkan dua buah paragraf dari cerpen “Makan Malam”. Bagian ini merupakan kisah perpisahan antara tokoh Ibu dan Ayah saat tokoh Aku belum lahir dikarenakan sebuah huru-hara politik dan sosial.
Suatu pagi buta, setelah siaran radio berkali-kali menyiarkan berita kudeta, serombongan orang mendatangi rumah dan mencari Ayah. Ibu sedang hamil 5 bulan. Mereka mengobrak-abrik ruang kerja Ayah, mengambil buku-buku dan dokumen lalu membakarnya. Keesokan hari, saat langit masih gelap, Ibu meninggalkan rumah itu dan pergi ke kampung nenek.
Fitnah-fitnah mulai gencar. Banyak orang dibunuh. Mayat-mayat mengambang di sungai. Ibu memutuskan kembali ke kota. Hidup harus berlanjut. Aku sudah lahir dan butuh susu. Setelah itu kehidupanku seperti berhenti, kata Ibu. Pria-pria silih-berganti. (hlm. 27)

Pelataran di atas berangkat dari peristiwa-peristiwa dalam cerita atau berupa aksi kejadian. Meski masih sangat eksplisit terasa bernuansa gelap, kegelapan dalam pelataran ini bukan tersurat lewat keadaan tempat atau saat yang kelam—pengecualian pada bagian Keesokan hari, saat langit masih gelap...—melainkan melalui kejadian-kejadian yang mengisi dan menempati waktu dan ruang statis itu. Kutipan di atas menunjukkan bahwa kekelaman suasana tidak hanya ditampilkan lewat pelataran gelap sesuatu latar tempat dan waktu namun juga secara lebih berjarak dengan tafsiran dan pemaknaan atas atmosfer sebuah peristiwa atau lakuan tokoh-tokoh cerita.
Terlihatlah juga betapa suasana mencekam dari peristiwa kerusuhan di atas sangat mendukung bagi suasana penderitaan hati tokoh Ibu yang menjadi tema cerpen ini. Suasana suram yang dibangun oleh pelataran, sebagaimana kecenderungan tematik kumpulan cerpen ini, juga terlihat pada kutipan dari cerpen-cerpen berikutnya. Masing-masing, secara berurut, merupakan kutipan dari cerpen “Pesta Terakhir”, “Balada Hari Hujan”, Lelaki Beraroma Kebun” dan “Makam Keempat”.
Angin sore terasa kering dan tajam. Udara taman berdebu. Amis lumpur menguap dari kolam dangkal serupa kubangan kerbau itu. Daun teratai yang layu dan busuk mengambang di permukaan air coklat keruh. Di susut kolam, patung perempuan gemuk memegang kendi telah bersalut kerak debu.
Seorang lelaki tua berdiri tegak di depan jendela yang terbuka, memandang lurus patung di taman. Debu, debu… Bagaimana mengikis debu yang menebal di benaknya? Ia melihat daun-daun gugur melayang dari pohon. Merasa ada yang lucu dalam hidupnya. Tapi matanya terasa pedih, berair. (hlm. 31)

Hujan masih menyambutnya di luar kafe. Langit abu-abu tua. Payung ungu itu mengembang lagi. Jalan yang basah menyambut langkah-langkah kaki yang menggigil. Ia rapatkan kerah-kerah mantelnya, menahan udara dingin. Ia merasa hidup begitu sepi, begitu asing. Air mata mulai mengembang di balik kaca mata hitam ala Sanborn. Ia mencoba bersenandung, tapi tak bisa. (hlm. 64)

Berminggu-minggu anak-anak tersebut ditinggalkan ibunya yang berharap ada orang kampung datang dan menyelamatkan mereka. Suatu hari ketika perempuan itu kembali untuk memastikan anak-anaknya telah diambil orang, ia menemukan lima mayat tergeletak di lantai tanah dan telah membusuk. Ternyata pikiran yang kalut membuat si perempuan telah mengunci gubuk dari luar. Anak-anak itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak minta tolong. Perempuan itu tak sadarkan diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa pun. Orang-orang kampung melihatnya berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong. Setelah itu ia benar-benar senyap dari muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau buaya yang menghuni sungai. (hlm. 86-87)

Kalian akan melihat sepasang rongsokan manusia berjalan tertatih-tatih, menyerupai zombie. (hlm. 124)

3.3.3 Sudut Pandang
Sudut pandang persona ketiga digunakan pada cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”, “Pesta Terakhir”, “Balada Hari Hujan”, dan “Lelaki Beraorma Kebun”, sedangkan pada cerpen “Makan Malam” dan “Makam Keempat” yang dipakai adalah sudut pandang persona pertama.
Pada cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” terlihat sudut pandang persona ketiganya bersifat mahatahu, berikut kutipannya:
Perempuan muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula ia kurang berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan penembak jitu memercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasatmata. Tetapi, dia terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang hidup-mati dari perang. (hlm. 13)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa narator juga bisa mengetahui perasaan dan pikiran tokoh ceritanya. Dalam cerpen “Pesta Terakhir” juga sama. Berikut kutipannya:
Mursid muncul di ambang pintu, kurus dan ringkih. Ia menyambutnya dengan peluk hangat. Tak urung air matanya terbit ketika Mursid lagi-lagi berbisik, selamat ulang tahun teman dunia-akhirat. Benarkah? Air matanya meleleh. Mursid mengelus punggungnya. Kini ia mulai menangis terisak-isak.
Ia menuntun Mursid ke sofa, seraya mengerjap-ngerjapkan mata yang basah. Tangan Mursid bergetar dalam genggamannya. Ia ingin membuat pengakuan. Mungkin, ini pestaku yang terakhir, pikirnya, sendu. (hlm. 42)

Narator cerpen ini terlihat mengetahui pikiran dan gumaman di dalam sanubari tokoh yang diceritakannya. Dalam cerpen “Balada Hari Hujan”, kemahatahuan pengarang bisa dilihat dari kutipan berikut ini:
Hari masih terlalu pagi untuk orang-orang yang takut pada cuaca dingin bulan Juni. Kelopak-kelopak bakung di bawah jendela terlihat segar berair. Ia membayangkan teman-teman prianya masih meringkuk dalam pelukan istri atau pacar mereka, seperti kucing demam. Ia mendorong pintu cepat-cepat. Tubuhnya makin menggigil oleh terpaan udara dari pendingin ruang. “Pelayan lupa menaikkan volume,” gerutunya, dalam hati. Jari-jari kakinya terasa mengeriput dalam stocking sutra setengah basah, menuju baku. Tapi, wangi kaldu ayam dalam adonan bubur membuat otot-otot lambungnya berdenyut keras dan tubuhnya yang menggigil itu mulai dialiri hawa panas. Ia biasa mampir ke kafe ini untuk sarapan. (hlm. 58)

Sifat mahatahu pada sudut pandang persona ketiga cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” bisa dilihat pada kutipan berikut ini.
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun. Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga. (hlm. 77-78)

Teknik penceritaan dengan menggunakan sudut pandang persona pertama pada cerpen “Makan Malam” bisa dilihat dari kutipan beikut ini.
Kami makan malam bersama, aku dan Ibu. Ya, makan malam saja kami bersama. Sarapanku selalu terburu-buru. Jalanan macet di pagi hari. Kantorku lumayan jauh dari tepi kota ini. Aku selalu bergegas. Ketika aku berangkat, Ibu masih tidur. Aku makan siang di kantor. Ibu makan siang di rumah. Makan malam adalah ritual kami, ibu dan anak. Makan malam adalah waktu kami bersama, tak bisa diganggu-gugat. (hlm. 21)

Dalam cerpen “Makan Malam” ini tokoh Aku sekadar berperan sebagai tokoh tambahan sehingga sudut pandangnya pun berupa sudut pandang “Aku Tokoh Tambahan”. Hal ini berbeda dengan sudut pandang persona pertama pada cerpen “Makam Keempat”. Pada cerpen ini justru penceritanya menjadi tokoh utama.
Memang sulit untuk tidak diakui bahwa aktifitas tokoh Paula, putrinya, lah yang menjadi bahan ceritaan dalam cerpen ini. Namun sulit pula untuk diingkari bahwa akibat dari aktifitas politik Paula tersebutlah—yang berimbas pada “kehilangannya” atau “penghilangannya” dan lalu berimbas pada kesedihan kedua orang tuanya (terutama lebih intensif lagi digarap pada detail perasaan tokoh Ayah)—yang paling dekat berkaitan dengan tema kemanusiaan pada cerita ini. Wajar kiranya sentral garapan cerpen ini berfokus pada perasaan sosok ayah yang kehilangan putrinya (tokoh Aku). Selain itu secara kuantitas terlihat tokoh Akulah yang dominan mengawal alur cerita.

3.4 Tema
3.4.1 Kehampaan Jiwa dan Kesetiaan terhadap Tugas pada Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”
Masalah kemanusiaan yang diangkat dalam cerpen ini berpusat pada sikap hidup yang dilakoni tokoh utamanya, Yosef Legiman. Di satu sisi Yosef terlihat teguh menjalankan wataknya sebagai seorang prajurit (bukan sekadar dalam artian kepangkatan): menjalankan sumpah setia pada tugas negara dan patuh pada doktrin garis komando. Namun, pada sisi lain dia juga ditampilkan sebagai sosok manusia apa adanya sebagaimana kebanyakan manusia pada umumnya. Sebagai seorang manusia ia bisa sedih, jatuh cinta, dan amat perasa. Berikut kutipannya:
Apakah ini pertanda ia tengah bersiap menyongsong maut, lalu membuat pengakuan dosa serta jadi amat perasa? (hlm. 14)

Timbulnya sifat perasa pada Yosef, sebagaimana dieksplisitkan secara tekstual pada kutipan sebelum ini, diceritakan disebabkan oleh peristiwa pertemuannya dengan tokoh Maria Pinto. Ketidakmampuannya untuk membunuh Maria dan kesempatan untuk meneruskan hidup yang diberikan Maria ternyata membekas pada kejiwaan Yosef. Wajar kiranya dalam suasana yang mendukung untuk banyak merenung dan termenung, yakni dalam sebuah perjalan kereta, Yosef kembali terbayang wajah Maria. Ketika membuka pembicaraan dengan perempuan di sebelahnya pun (tokoh Wanita Pimpinan Teroris) dia menjadikan kisah Maria ini sebagai bahan obrolan atau lebih tepatnya curhatan pribadi.
Menariknya, teks pikiran benak perempuan di sebelah Yosef ini sesudah mendengarkan seluruh cerita Yosef mengaitkan cerita Yosef tentang Maria dengan cerita perpisahannya yang baru saja terjadi dengan kekasihnya (kekasih Yosef) gara-gara tiada restu orang tuanya kekasih Yosef. Berikut kutipannya:
“Ini rahasia saya, hanya antara kita,” ujar Yosef, menyudahi kisahnya.
Perempuan muda menghela napas panjang. Kisah cinta segitiga yang rumit dan tragis, pikirnya, sedih. Prajurit ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima hantu. Dua-duanya sad ending. (hlm. 18)

Fakta cerita seperti ini menciptakan pemaknaan bahwa nilai kenangan Yosef pada Maria berelasi dengan fakta cintanya terhadap kekasih nyatanya. Ini berarti, terhadap Maria pun Yosef kemungkinan memiliki perasaan “sejenis” dengan entah berapa kadarnya. Kemungkinan ini sebelumnya diperkuat oleh penggunaan kata gadis (bukan sekadar perempuan itu misalnya) pada narasi berikut di bawah ini oleh pencerita:
Gaun lembut Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Dua pengawal menyertai perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef membiarkan iring-iringan di langit itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah.
Angin pun berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya bersama kenangan pada gadis itu. (hal.11-12)

Gangguan kejiwaan yang melanda Yosef bisa dipandang cukup besar pengaruhnya dari pertemuan dengan Maria; salah satu alasannya juga bisa dilihat dari pilihan judul bagi cerpen ini: “Kuda Terbang Maria Pinto”. Padahal kuda saktinya Maria tersebut secara frekuensif sangat kecil porsi kehadirannya dan bisa dianggap tidak berdiri di barisan tokoh-tokoh utama. Perannya bagi tema cerita mengenai distorsi kejiwaan yang melanda prajurit Yosef juga bisa dipandang berlangsung tidak langsung.
Kekagetannya sewaktu mengetahui bahwa kuda Maria tersebut adalah kuda mainan yang terbuat dari kayu juga kurang kuat untuk bisa dianggap menjadi alasan keutamaan perannya karena tema cerita juga berputar ke peristiwa-peristiwa lain seperti kematian adiknya. Lagi pula hadir sebuah antiklimaks saat sang kuda sakti tersebut tidak lagi “besar” dengan selubung kabut mitos dan misterinya. Dari hal ini bisa diduga bahwa penonjolan kuda tersebut pada judul adalah berfungsi untuk menonjolkan peran Maria sendiri—sebagai empunya— bagi sisi kemanusiaan Yosef yang menjadi tema cerita.
Kemudian, perasaan dengan “nilai lebih” ini semakin kuat diduga ada setelah cerpen ini diakhiri oleh paragraf berikut ini:
Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuh Yosef menggigil. Ia melihat Maria Pinto menyeberangi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya. (hlm. 20)

Dapat dipahami bahwa pembaca bisa melihat ini sebagai sesuatu yang aneh. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, di satu sisi Yosef adalah seorang prajurit yang tetap setia menjalankan tugas yang diembannya. Bahkan hingga akhir cerita pun digambarkan seperti itu; bagaimana dia dengan tangan dingin membunuh seorang wanita pimpinan teroris yang menjadi target operasi instrumen keamanan negara yang ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan perempuan di sebelahnya sewaktu mencurahkan ingatan tentang kisah kesaktian Maria di atas kereta. Namun di sisi lain, Yosef terlihat memelihara, atau mungkin memendam, perasaannya terhadap Maria, seorang gadis yang menjadi pelindung gerombolan pemberontak, musuh negaranya.
Kontradiksi inilah yang bisa dimaknai sebagai situasi hampa pada kejiwaan prajurit Yosef dalam cerpen ini. Jiwa yang hampa ini menghadirkan logika sejalan dengan karakter pembunuh berdarah dingin pada perannya sebagai seorang sniper pada cerita bagian akhir. Dia tidak digambarkan begitu menggebu-gebu dalam menjalankan misi untuk membunuh musuh negara tersebut. Malahan dia digambarkan seolah tetap masih memiliki simpati terhadap sasaran yang pernah menjadi teman curhatnya tersebut; akan tapi di sisi lain dia juga tidak desersi dari kewajiban dan loyalitas pada penguasa negara hanya digara-garakan persoalan perasaan dan cinta.
Paduan yang kontras seperti ini juga tergambar pada bagian cerita yang mengisahkan cerita Yosef pada perempuan di sebelahnya di atas kereta tentang kematian adiknya yang mungkin juga memilih jalan hidup sebagai tentara.
“Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu saya trauma. Kasihan dia. Tapi, ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.
Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef satu-satunya anak lelaki dalam keluarga.
“Petinya berselubung bendera besar, besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru. (hlm. 14)

Klausa memandang lurus ke depan di atas bisa dimaknai sebagai simbol sisi teguh Yosef sebagai prajurit yang telah bersumpah setia, tidak akan berkhianat dan lari dari tugas, meski, sebagaimana digambarkan di atas, beban emosionil menekan begitu berat dan sangat dahsyat. Walhasil, sisi manusiawinya mesti “terdampar” di kehampaan relung-relung jiwa. Berbagi cerita yang dilakukannya dengan wanita yang tanpa sebelumnya ia sadari nanti akan dibunuhnya (demi tugas) itu pun menjadi sebuah sarana untuk mengisi ruang-ruang tertekan dalam batinnya.
Ia merasa lega sudah membagi kisah-kisahnya yang terdengar lemah dan pengecut pada perempuan muda ini. Seperti ungkapan menjijikkan dalam roman, ia merasa tenang di sisinya, di sisi orang asing yang bertemu di perjalanan. (hlm. 14)

Paradoks dan paduan antara kehampaan jiwa dan kesetiaan pada tugas ini terlihat lebih jelas lagi dalam kutipan berikut ini:
“Tapi, saya tak pernah menembak Maria Pinto dan kuda terbangnya, tak akan, ….ia sangat sakti, percuma saja,” ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.
Perempuan muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula ia kurang berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan penembak jitu memercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasatmata. Tetapi, dia terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang hidup-mati dari perang.
Wajah lelaki itu mirip boneka kain kanak-kanak yang terlalu disayang, meski sudah kumal dan koyak-moyak tak dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang matanya sayu berhias bekas-bekas sayatan dekat alis, yang menyerupai sulaman bordir asal jadi dan bermotif sulur di tangan pemula. (hlm. 13-14)


3.4.2 Derita Seorang Ibu dan Makna Keutuhan Sebuah Keluarga dalam Cerpen “Makan Malam”
Tiga kalimat terakhir yang menutup cerpen ini barangkali bisa dipandang sebagai persoalan inti, atau setidaknya sari cerita, yang ingin dikemukakan:
Sakit pada tubuh bisa diobati. Sakit pada hati sampai mati. Ayah, kata itu makin sayup dan tak terdengar lagi …(hlm. 30)

Garis relasi antara tokoh Ibu dan Ayah merupakan pemicu utama tema utama cerita meski tokoh Aku yang menjadi pembawa atau punggawa alur cerita dan hubungan atau interaksi antara tokoh Aku dan Ibu yang terbanyak menyita porsi kisahan cerita.. Garis tadi menghasilkan pemaknaan tentang kepedihan jiwa seorang istri yang ditinggalkan sang suami yang dicintanya.
Pedih dan perih ini terasa sekali berfokus di tokoh Ibu yang mengalami langsung dari jarak dekat peristiwa ditinggalkan orang terkasih tersebut. Sementara tokoh anak (Aku), yang menjadi sudut penceritaan, terlihat sudah cukup berjarak secara emosional dengan bapaknya karena sejak kecil dia memang hanya mengenal ibunya. Oleh karena itu, dalam hubungan dengan cerita kehilangan dan kemunculan tokoh Ayah, tokoh Aku terlihat tidak terlalu terguncang secara kejiwaan, berbeda sekali dengan psikologis tokoh Ibu.
Penderitaan tokoh Ibu ini disebabkan dua hal yakni kehilangan sang suami dan “kehilangan kedua kalinya” sang suami. Kehilangan pertama kalinya terjadi sebagai akibat sebuah peristiwa atau lebih spesifiknya huru-hara sosial-politik yang membuat tokoh Ayah tidak bisa kembali ke tengah-tengah keluarganya karena sudah berada di luar negeri (tempat yang aman guna menyelamatkan diri dari peristiwa sosial-politik yang terjadi itu). Kehilangan inilah yang membuat tokoh Ibu “terpaksa” menjalani profesi sebagai wanita panggilan demi membesarkan putri semata wayangnya dan menerima takdir bahwa putri yang dicinta itu, tokoh Aku, hanya tahu bahwa dia bapak tidak ada.
Namun kemudian, dari kehilangan yang pertama ini, bisa ditafsirkan pula bahwa rasa kehilangan lebih mendalam diderita tokoh Ibu justru karena tiada kabar yang sekian lama dari tokoh Ayah. Di sini sebabnya mungkin bukan sekadar keadaan sosial-politik lagi, melainkan sudah berupa pilihan sikap dari tokoh Ayah untuk tidak sesegera mungkin menemui tokoh Ibu. Hal ini wajar kiranya dipahami begitu sangat menyakiti hati seorang wanita.
Kenyataan terakhir ini baru diketahui belakangan setelah tokoh Ayah muncul kembali. Derita kejiwaan tokoh Ibu pun sebetulnya tetap telah ada meski dengan alasan keadaan sosial-politik sebelumnya. Bisa jadi hal ini karena dia sudah menduga kekurangsetiaan tokoh Ayah. Kesedihan ini terasa bercampur baur dengan adanya sedikit harapan bahwa sang suami akan kembali. Kutipan di bawah ini menunjukkan hal itu:
Malam ini Ibu agak dingin. Kalimat ‘I love you’ cuma terdengar sekali. Sepasang matanya menerawang. Ibu melamun. Ketika Ibu melamun, aku seolah ditinggalkan sendiri dan bukan bagian dari dirinya lagi. Ketika Ibu melamun, ia bersembunyi dalam kamar yang tak bisa kumasuki. Dulu sering kulihat Ibu melamun, kemudian makin berkurang, dan akhirnya, tak pernah lagi. Sekarang Ibu kembali pada kebiasaan lama. Ada apa?
“Dia akan pulang ke sini,” kata Ibu, datar.
“Siapa?”
“Lelaki itu.”
“Oh ….”
Aku tak melanjutkan pertanyaan. Ibu sudah menguncinya dengan jawaban singkat yang umum. (hlm. 22-23)

“Kalau begitu, putuskan saja. Aku nggak mau melihat Ibu sedih.” Aku cemas.
“Yang satu ini tidak semudah itu. Karena kami punya sejarah.”
“Sejarah bisa dihapus.”
“Yang ini tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Dia ayahmu.”
“Ayah? Ibu bilang, aku diambil dari bank.”
Ibu menyeringai getir, lalu mengusap-usap kepalaku, lembut.
“Kamu minta cuti kantor saja sehari. Kita jemput dia di bandara dua hari lagi.” (hlm. 24)

Kutipan di atas memperlihatkan “dinginnya” tokoh Ibu (sekaligus menunjukkan kebimbangannya) dalam menyikapi kembalinya tokoh Ayah yang telah tiada berkabar sekian lama itu; sementara tokoh Aku dari kutipan ini kelihatan tidak mempunyai ketertarikan untuk “menyikapi” peristiwa tersebut alias merasa biasa-biasa saja. Harapan tokoh Ibu bisa dianggap tetap ada karena, seperti ditunjukkan dalam cerita ini, ia juga tidak mentah-mentah menolak kehadiran kembali tokoh Ayah, suami tercintanya. Gesekan antara harapan kedatangan lagi dan kekecewaan ditinggal pergi inilah yang mengusik-usik ketenangan hidup tokoh Ibu. Pemaknaan seperti ini, sekali lagi, bisa dilihat dari kontrasnya (kejiwaan tokoh Ibu) dengan sikap tokoh Aku sebagai anak yang tidak pernah berjumpa bapak.
Sementara itu, kehilangan kedua kalinya justru terjadi di saat yang hilang itu telah kembali datang. Kedatangan sang suami ternyata hanya seperti “merobek” lagi luka lama dengan memberi kabar tentang istri keduanya dan dua anak barunya di negeri luar sana. Entah apa permintaan maaf sang suami cukup mengurangi kadar derita sang istri; kenyataannya kutipan kalimat-kalimat terakhir cerita di awal tadi menunjukkan bahwa tokoh Ibu menderita dan sakit hatinya.
Judul cerpen sendiri, “Makan Malam”, hanya menjadi sarana untuk melukiskan suasana derita tersebut dalam konteks keutuhan, kegenapan, dan kebulatan sebuah keluarga. Dari cerita didapatkan kesan kebahagiaan hidup tokoh Aku dan tokoh Ibu meski sekadar hidup berdua setiap kali menjalani rutinitas makan malam mereka berdua. Di saat keluarga menjadi utuh, ketika tokoh Ayah kembali hadir di tengah-tengah mereka, justru suasana semula ini sirna.
Logika umum bahwa berkumpulnya semua anggota keluarga—orang-orang yang dicintai—akan membahagiakan hati ternyata dalam cerpen ini tidak terbukti. Selain kedatangannya (tokoh Ayah) hanya, seperti diistilahkan tadi: merobek luka lama, dari sudut pandang tokoh Aku—yang telah sangat berjarak dengan bapaknya itu—justru kehadiran dan keutuhan tersebut menjadikan suasana yang tidak sempurna. Seperti melengkapi sebuah puzzle dengan benda yang sudah berbeda.
Makan malam kali ini kami bertiga. Aku, Ibu, dan Ayah. Tak ada musik klasik. Ibu membeli makanan terbaik dari restoran mahal. Namun, suasana menjadi ganjil. Ibu dan Ayah tak berani saling pandang. Aku seakan monyet yang terjebak.
Wajah pria di hadapanku tirus, putih, dengan rongga mata dalam. Uban sudah memenuhi kepala. Jasnya kebesarannya. Suaranya gemetar, mirip rintihan. Inilah Ayahku. Bagaimana aku menghadapi pria ini?
Kami makan tanpa suara. Denting sendok garpu saling bersahut. (hlm. 28)

Dari cerita ini didapat pemaknaan bahwa kebahagian keluarga itu justru didapat dalam ketakutuhannya. Ketidakutuhan ini lebih baik dibanding “lengkap” namun dengan sesuatu yang sudah sama sekali berbeda. Untunglah keganjilan tersebut hanya berlangsung sementara lalu berlalu. Namun kepahitan akibat kedatangan itu telah membekas di hati tokoh Ibu dan justru menambah segala beban derita akibat rasa kehilangan sebelumnya; taktahu apa ada dokter yang bisa mengobatinya.

3.4.3 Antara Rahasia Pengkhianatan dan Usaha Untuk Menjaga Persahabatan dalam Cerpen “Pesta Terakhir”
Seperti debu tanah yang beterbangan di taman, berulang-ulang menyepuh daun dan kelopak bunga-bunga yang tersisa di ranting hingga terlihat makin kusam (hlm. 41) atau layaknya daun teratai yang layu dan busuk mengambang di permukaan air coklat keruh (hlm. 31), seperti begitulah perasaan hati tokoh Kakek Mar ketika terkenang akan sahabat-sahabat seperideologiannya dahulu sewaktu masih muda dan pengkhianatannya atas mereka.
Sampai ia menjalani usia lanjut dan hingga akhir cerita diceritakan bahwa rahasia pengkhianatan ini belum juga diceritakannya. Saat ia bertemu Mursid di akhir “pesta terakhir” diceritakan bahwa ia sudah hendak bercerita tentang pengkhianatan yang ia lakukan ini atau dengan kata lain hendak melakukan semacam pengakuan dosa, namun sebuah peristiwa kecil mengganggu terungkapnya rahasia itu dan menggantungkan cerita pada sebuah tanda tanya: apa gerangan selanjutnya?
Mursid muncul di ambang pintu, kurus dan ringkih. Ia menyambutnya dengan peluk hangat. Tak urung air matanya terbit ketika Mursid lagi-lagi berbisik, selamat ulang tahun teman dunia-akhirat. Benarkah? Air matanya meleleh. Mursid mengelus punggungnya. Kini ia mulai menangis terisak-isak.
Ia menuntun Mursid ke sofa, seraya mengerjap-ngerjapkan mata yang basah. Tangan Mursid bergetar dalam genggamannya. Ia ingin membuat pengakuan. Mungkin, ini pestaku yang terakhir, pikirnya, sendu.
Sid, aku mau bicara sesuatu, soal yang dulu.
Oh, ya, ya, bicaralah, soal apa saja.
Aku mau minta maaf. Umur manusia ‘kan terbatas…
Sudah, sudah, jangan menyumpahi dirimu sendiri. Aku yang sakit-sakitan begini nggak pernah kepingin mati, kok. Kamu yang segar bugar, malah cengeng.
Sid, aku…
Tiba-tiba terdengar jeritan dari arah kolam. Seorang cucunya menunjuk-nunjuk panik ke kolam. Lho, mana cucunya yang seorang lagi? Ya, Tuhan, Si Sena terjatuh. Olala. Ia langsung berlari melewati lubang pintu yang terbuka. Orang-orang dalam rumah riuh. Mursid tertegun di sofa. Angin musim panas berdesir lagi dalam ruangan. Amis lumpur mengelana dalam udara.
Seorang pria tua berjongkok di tepi kolam, bersiap turun menjemput cucunya. Dua tukang kebun terlihat buru-buru menggotong tangga. Seorang perempuan menghambur ke taman sambil menggendong bayi. (hlm. 42)

Rahasia yang disimpan Kakek Mar adalah pengkhianatan terhadap kawan-kawannya sewaktu dahulu mereka dipenjara bersama gara-gara perbedaan ideologi dengan pemerintahan baru yang melakukan sebuah kudeta merangkak terhadap otoriterianisme pemimpin lama. Karakter tokoh Kakek Mar yang doyan perempuan dan tiada dapat menahan nafsu birahi berlama-lama menjadi sebuah jalan untuk mendapatkan “keterangan” yang diperlukan darinya. Barangkali pula bisa menjadi semacam pembenaran atas khianat terpaksa yang mesti dipilihnya.
Dalam sel yang sempit di Salemba dulu, mereka pernah bertaruh dengan nasib, berbulan-bulan. Ia tak tahan. Nafsunya, terutama, butuh pelampiasan. Berkali-kali ia onani saat teman-temannya sudah bergeletakan tidur malam sehabis korve seharian yang menyiksa. Ketika seorang petugas mendekatinya dan menawarkan kerja sama, ia setuju. Ia hanya diminta menyebutkan nama-nama yang dianggapnya sangat berbahaya. Apa susahnya, toh tinggal mencatat saja? Setelah itu kamu bisa bebas dan kumpul dengan anak-istri, kata petugas. Ya, apa susahnya? (hlm. 39)

Dengan “melaporkan” nama-nama kawannya sendiri, termasuk memberi tanda ideolog pada nama Mursid, Kakek Mar bebas dari penjara dan selanjutnya berstatus sebagai “pencatat” atau “penjaja manusia” sebagaimana yang dikatakannya sendiri pada putrinya, tokoh Alma. Berikut kutipannya.
Suatu hari Alma kecil bertanya tentang pekerjaannya. Apa sih pekerjaan Papa? Tukang catat. Tukang catat? Ya, namun dalam buku rapor putrinya ia menulis: wiraswastra. Ya, berjualan manusia. Ia terkekeh, geli. Tiba-tiba, seperti disentakkan sesuatu di ulu hati, ia merasa sedih. (hlm. 40)

Kebebasan itu pun kemudian menjadi “gerbang” bagi Kakek Mar guna melanjutkan petualangan cinta (seksual)-nya. Barangkali dengan menggunakan anggaran rakyat (uang negara), Kakek Mar akhirnya bisa bersenang-senang ke berbagai belahan dunia. Pengkhianatan pada kawan seperjuangan memang berbuah surga duniawi bagi beliau. Bahkan, dengan bekal posisi yang didapat dari pengkhianatan tersebut—dengan tetap meneruskan profesi sebagai juru catat—dia bisa membantu mencarikan pekerjaan di lahan “basah” bagi anak Mursid (sahabat yang dikhianatinya tetapi tetap terus ditemaninya). Meski begitu, pada Mursid dia mengaku atau berbohong bahwa “rezeki” itu didapat berkat bantuan menantu adiknya. Berikut kutipannya:
Papa sayang sekali, ya sama Om Mursid?
Oh, tentu, tentu, Nak. Kami sudah melewati banyak suka-duka bersama.
Akibatnya, Alma tak segan-segan mengirim masakan pada keluarga sahabat Ayahnya itu setiap minggu. Ia sendiri rajin menyantuni Mursid yang tak punya mata pencarian tetap selama puluhan tahun ini. Tiap bulan dikirimnya wesel ke alamat sahabatnya, jumlah yang cukup untuk membeli beras dan lauk pauk di pasar. Ketika putra sulung Mursid tamat sekolah menengah, ia langsung menawarinya bekerja di sebuah kantor pemerintah. Bagaimana kamu bisa punya koneksi di sana, Mar, tanya Mursid, terheran-heran. Bukan koneksi, tapi kebetulan menantu adikku sudah berpangkat tinggi di situ, balasnya, setulus mungkin. Mursid memeluknya, berulang-ulang berucap bahwa ia benar-benar sahabatnya dunia-akhirat. Ia tersenyum kecut, merasa kurang nyaman mendengar julukan itu. Tapi, sudahlah, apa boleh buat.

Di tengah-tengah kehidupan serba susah yang dijalani Mursid, juga kawan-kawan lamanya yang lain, dikarenakan bekas dan berkas status ideologi politik yang melekat, Kakek Mar justru hidup berkecukupan atau berlebihan berkat pilihan menuruti kehendak nafsu birahi yang dahulu dipilihnya. Namun ternyata status sebagai seorang pengkhianat ini tidak membuat Kakek Mar melupakan kawan-kawan lama yang dikhianatinya itu; terlebih lagi “sahabat dunia-akhiratnya” Mursid.
Ia terlihat terus berusaha menjalin hubungan dengan mereka sembari tetap memelihara sebuah rahasia yang mungkin akan mengoyak-ngoyak hubungan mesra itu. Di pesta ulang tahunnya, yang diisyaratkan pengarang cerita sebagai pesta terakhir bagi kakek ini, dia mengundang semua teman-temannya dulu yang kebetulan masih bernyawa dan beruntung belum mati karena pengkhianatan dan nafsu birahinya.
Ia ingin membaca ulang daftar tamu. Apakah Alma sudah mengundang semua sahabatnya? Ditariknya laci meja, lalu diraihnya sehelai catatan dari situ; daftar nama para tamu yang ditulis Alma. Nama Mursid berada di urutan pertama, ya, ya, disusul Arsyad. Setelah Arsyad, berturut-turut tercantum nama Hendro, Yusmin, Ali… Lima orang. Dua lagi tinggal kenangan. Hartono mati ditembak. Kasman, ah, ia kehilangan jejak, entah hidup, entah mati. (hlm. 39)

Meski dilukiskan sebagai seorang pengkhianat pada teman-teman seperjuangannya, ternyata Kakek Mar juga ditampilkan dengan sisi kemanusiawiannya. Selain tetap menjalin hubungan dan berusaha membantu sahabat-sahabatnya, Kakek Mar juga terkenang akan sahabat-sahabatnya yang telah tidak ada di dunia ini. Sewaktu Alma mewartakan ketidakdatangan sahabat-sahabatnya, kecuali Mursid, Kakek Mar menjadi sedih sekali sebagaimana sedihnya dia mendapat panggilan sahabat dunia-akhirat dari Mursid.
Alma tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia menggeragap.
Papa, Om Ali tak bisa datang. Istrinya baru saja telepon. Katanya, dia dilarikan ke gawat darurat. Liver, Papa.
Ya, Tuhanku. Terus … bagaimana yang lain, Al?
Om Yusmin bilang, ia juga tak bisa datang. Selamat ulang tahun saja buat Papa. Ia kebetulan belum ada uang. Rumahnya memang jauh dari sini.
Kenapa dia nggak bilang dari kemarin, biar kita suruh sopir yang jemput?
(Alma mengangkat bahunya. Perempuan itu merasa percuma sudah menyiapkan banyak makanan.)
Om Mursid sudah janji datang. Bagaimana Om Hendro, sama Om Arsyad? Coba kamu telepon mereka, Nak.
Aduh, Pa, mereka ‘kan nggak punya telepon.
Oh, ya, ya, aduh… aduh, bagaimana ini?

Ia merenung-renung. Kepalanya mulai pusing dan perutnya mual lagi.
Ia merasai kembali angin musim kemarau, yang bertiup kering dengan tajam ke dalam ruangan. Ia melihat debu tanah beterbangan di taman…

Sendi-sendi tulangnya tiba-tiba terasa lemas. Dada sesak. (hlm. 40-41)

Beban dari dosa pengkhianatan yang dilakukannya yang berjalan seiring dengan kasih sayangnya yang tulus pada sahabat-sahabatnya merupakan sebuah fenomena kemanusiaan yang menarik untuk dimaknai dari tokoh Kakek Mar. Sebagai seseorang yang berhasil lolos untuk hidup makmur dan sejahtera, Kakek Mar digambarkan sehat wal afiat secara fisik. Namun kemunculan berkali-kali teks yang menggambarkan gangguan kesehatan pada Kakek Mar bisa dianggap menunjukkan sesuatu beban yang melanda Kakek Mar. Perhatikan kutipan berikut:
Angin panas mengusap kulitnya lagi di ruangan ini, meninggalkan rasa tersengat dan perih di pori-pori. Ia berjalan tenang ke wastafel, menyalakan kran, membasuh wajahnya dengan air dingin yang mengalir.
Musim kering ini hanya membuat kepala pusing dan perut mual. Alma sangat khawatir, sehingga kemarin tergopoh-gopoh mengantarnya ke dokter. Hasilnya? Bapak sehat, kok, Mbak. Perubahan cuaca memang sering mengagetkan tubuh, kata dokter itu pada Alma. Oh, ya, baiklah kalau begitu, terima kasih, balas Alma, senang. Mereka kembali ke mobil dan melaju di jalanan yang panas dan macet di siang terik. Dalam perjalanan, ia merasa pusing dan mual lagi. Musik bertempo cepat dari radio mobil membuat kepalanya makin berdenyut. Snut, snut, snut… Urat kepala bagai dawai dipetik. Tanggo, chacha, salsa… mulai ia jauhi.
Tolong matikan radionya, Al. Kepala Papa pusing sekali.
Mungkin, Papa harus banyak minum dan makan buah segar.
Papa sudah banyak minum dan makan buah, kok. Kemarin Papa habiskan jeruk manis sekilo sendiri.
Mungkin Papa banyak pikiran, ditambah udara memang panas sekarang ini.
Siapa bilang? Orang seumur Papa ini ‘kan harus menikmati hidup yang sebentar lagi, buat apa memikirkan yang menyedihkan hati. Ne, ne, ne, ne, ne, ne … (Ia gerakkan telunjuk kanannya, seperti saat melarang Alma kecil bermain air hujan)
Jangan ngomong begitu, Pa. Siapa tahu ada yang memberatkan pikiran Papa. Siapa tahu, lho. (hlm. 34-35)

Bisa diduga, secara kurang disadari, perasaan bersalah yang bersifat kebatinan (bukan fisik) inilah yang tengah melanda Kakek Mar. Gaya hidupnya yang berorientasi hedonis barangkali membuat dia berusaha untuk tidak menjadikan rasa bersalah itu membebani dirinya dan mengganggu kesenangan-kesenangannya. Namun secara kurang ia sadari pula, dosa tersebut secara laten tetap mengendap dan menghantui sisi lain kemanusiaannya. Apalagi sebagai seorang manusia dengan karakter berorientasi senang dan bahagia, dia terlihat lebih mudah untuk menyayangi dari pada memelihara benci. Inilah sisi positif manusia dengan karakter seperti tokoh Kakek Mar. Di samping itu, berkat karakter ini, dia tetap bisa disadarkan bahwa dia seorang pendosa.
Perasaan berdosa itulah, yang sebelumnya semata diakui di dalam hati, yang mendorong Kakek Mar untuk hendak melakukan pengakuan dosa pada sahabat terdekatnya Mursid di akhir cerita; meski pada akhirnya, akhir cerita digantungkan. Meski begitu, judul “Pesta Terakhir” bagi cerpen ini bisa dianggap memberi pemaknaan tersendiri untuk menafsirkan maksud penggantungan di bagian akhir tersebut. Seorang pria tua berjongkok di tepi kolam, bersiap turun menjemput…(hlm. 42). Barangkali seperti derai-derai cemara, ada yang belum terucapkan di saat akhirnya berserah.

3.4.4 Seorang Waria yang Dilukai Hatinya dalam Cerpen “Balada Hari Hujan”
Dalam udara yang dingin dan cuaca hujan yang seperti tidak henti, tokoh Ia dalam cerpen ini melaksanakan rutinitasnya. Setelah mencari “nafkah” di malam hari, di pagi yang dingin menusuk tulang di bulan Juni, tokoh Ia menjalani rutinitas lain yang juga tidak kalah manusiawi: sarapan. Di sebuah restoran langganan—yang kata cerpenis cerpen ini merupakan satu-satunya kafe di kota dalam cerpen ini yang buka di pagi hari—tokoh Ia memakan makanan rutinnya yakni semangkok bubur ayam istimewa dan separo gelas coklat panas.
Tapi siapa sangka, tokoh Ia bertemu lagi di kafe tersebut dengan lelaki sok nigrat “langganannya” semalam yakni Benyamin G. Lelaki tua ini datang dengan istrinya yang dari cakapannya pada tokoh Ia (yang menggunakan panggilan jeng) memperlihatkan bahwa tokoh Benyamin dan istri resminya ini memang orang-orang terhormat yang berlabel ortodoks ninggrat. Benyamin yang terhormat ini mungkin tidak menyangka akan bertemu lagi dengan banci yang semalam “dipakainya” untuk menumpahkan hasrat birahi. Lebih sialnya, ia datang bersama istri yang dari tutur katanya yang sopan menunjukkan mereka merupakan orang-orang yang berstatus terhormat.
Kedatangan Benyamin dan istri ini sangat membuat sedih hati tokoh Ia karena kedatangan mereka itu membuka sebuah tabir rahasia yang bisa sangat mengecewakan hatinya. Di saat mereka sesaat “bercinta” semalam, tokoh Ia sempat dibuai oleh harapan bahwa Benyamin yang terhormat ini akan menjadi kekasih terakhirnya dan bisa mengakhiri petualangan cintanya dari satu pria hidung belang ke pria hidung belang lainnya. Benyamin mengaku sebagai pria kesepian yang sudah ditinggal pergi oleh anak-anaknya yang masing-masing juga sudah berkeluarga dan juga telah ditinggal mati oleh sang istri tercinta.
Semula ia berharap Benyamin menjadi yang terakhir. Mungkin, Pria yang menerima segala kekurangannya itu bersedia mengawininya dan ia akan merawat Ben dengan baik, setulus hati. Ia memang mencintai pria itu, setia mendengar keluh kesah Ben tentang anak-anak yang satu demi satu meninggalkan rumah untuk berkeluarga dan tak lagi peduli pada ayah mereka yang sendirian. Istri Ben hampil meninggal sepuluh tahun lau, setelah menderita kanker ganas bertahun-tahun.
“Anak-anak hanya datang pada hari raya, sekadar bermaaf-maafan, setelah itu kami jadi orang asing lagi satu sama lain, kembali mengurus diri sendiri. Hidup ini hanya kesialan bagi orang-orang tua,” kisah Ben, saat berbaring di pangkuannya.
Seperti biasa, ia mengelus-elus rambut pria itu dan menyanyikan lagu-lagu nostalgia yang digemari pria seusia Ben, sampai sang kekasih lelap dan mendengkur. (hlm. 62-63)

Namun tidak dinyana, Benyamin tega berdusta. Dengan teknik penceritaan yang cukup menegangkan serta agak mencengangkan, pengarang cerpen ini mempertemukan tokoh Ia dan Benyamin dan istrinya—yang masih hidup ternyata—di pagi harinya di sebuah kafe. Terang saja, tokoh Ia merasa dibohongi oleh kakek yang satu ini.
Ternyata lelaki tetap saja lelaki, tak peduli tua atau muda. Mereka sangat pintar mengarang cerita sedih, memasang jerat untuk menaklukkan wanita. Ben bahkan tega membunuh istrinya sendiri, meski dalam cerita. Ia sungguh kecewa. (hlm. 63)

Perhatikan penggunaan kata menaklukkan wanita di atas. Pilihan kata seperti ini, yang dilakukan pengarang, seolah mengisyaratkan betapa telah mewanitanya tokoh Ia yang sejatinya pria ini. Sensitifitas jiwa perempuan dalam tubuh lelaki tokoh Ia terang saja sangat terguncang dengan kenyataan pahit dan menyakitkan ini. Secara fisik-psikis bisa diduga perasaan terluka itu spontan mampu untuk memancing reaksi tubuhnya.
Ia tiba-tiba tersedak dan mulai batuk-batuk. Kini sehelai sapu tangan mulai dikeluarkannya dari rongga tas tangan, kemudian dibekapkannya pada mulut yang bising. Ada inisial “BG” di sudut saputangan tersebut, terbuat dari sulaman benang biru. Wangi musk bercampur kayu cheddar juga masih tertinggal, samar-samar. Pasangan muda-muda maupun manula (Benyamin dan istri-pen.) serentak menoleh ke arahnya. Sorot mata mereka mengisyaratkan rasa terganggu, jijik, dan ngeri. Virus influenza bisa saja beterbangan di udara, lalu hinggap di mangkuk-mangkuk bubur mereka. Hiiiiiii ….
Ia membalas tatapan si pria tua (Benyamin-pen.) secara khusus, lurus-lurus dan berani. Tak sia-sia. Sepasang mata tua itu mendelik, kaget. Ia merasa puas dan menyungging senyum lebar. Suara batuk keris yang khas pun terdengar menimpali batuknya. Ada dua komposisi batuk sekarang, yang sama-sama sumbang, bersahut-sahutan. (hlm. 63-64)

Sapu tangan berinisial “BG” pemberian Benyamin yang dijadikan pengelap ingus tokoh Ia yang terbatuk-batuk tersebut seolah menjadi sebuah simbol bagi muntahan kemarahan tokoh Ia terhadap Benyamin. Sebuah kemarahan yang berujung kesedihan, keperihan, dan kepedihan, sebagaimana bisa disimak dengan sangat nikmat lewat penutup cerita berikut ini:
Ia ingin pulang dan menenangkan pikiran. Hari yang cukup berat di antara puluhan ribu hari yang sama kembali berlangsung. Berapa lama ia bisa bertahan di dunia semacam ini?
Hujan masih menyambutnya di luar kafe. Langit abu-abu tua. Payung ungu itu mengembang lagi. Jalan yang basah menyambut langkah-langkah kaki yang menggigil. Ia rapatkan kerah-kerah mantelnya, menahan udara dingin. Ia merasa hidup begitu sepi, begitu asing. Air mata mulai mengembang di balik kaca mata hitam ala Sanborn. Ia mencoba bersenandung, tapi tak bisa.
Mungkin, nanti malam ia akan menghibur hatinya yang sedih di sebuah diskotek di jantung kota bersama teman-teman senasib. Angie, Mella, Jasmine, Liza, Sophia… tunggu aku, ya, kita dugem sampai pagi! Di diskotek itu pula ia dinobatkan sebagai ratu waria, ratu dari dunia yang abu-abu, seperti warna langit hujan. Tapi ini bukan kisah tentang kerajaan, melainkan kisah tentang kepedihan. (hlm. 64)


3.4.5 Kampung Halaman, Segala Kenangan, dan yang Tersisa Darinya dalam Cerpen “Lelaki Beraroma Kebun”
Ia merasa ikatan hidupnya dengan pulau itu berangsur-angsur punah (hlm. 87). Demikianlah bunyi kalimat terakhir cerita dari cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” ini. Cerpen ini bercerita tentang kunjungan pulang ke rumah seorang gadis perantau bernama Halifa yang sudah lima belas tahun tidak sempat pulang karena sibuk bekerja mencari nafkah di perantauan. Suatu waktu disempatkanlah oleh tokoh Halifa pulang ke “tanah” airnya.
Sejauh manakah kenangan akan rumah baginya masih membekas? Di kampung halamannya ini, yang terletak di sebuah pulau kecil, Halifa bertemu lagi dengan salah satu bagian dari masa lalunya, Si Penjaga Kebun. Pada orang yang dipanggil Atuk oleh Halifa inilah cerita memusat.
Halifa masih ingat wajah lelaki itu. Sepasang mata yang sipit, hidung pesek, dan bibir hitam terbenam di kepala yang kecil. Saat ia tertawa terlihat gigi-gigi yang tak rata, ompong, dan kerak nikotin menempel di celah-celah gusinya. Tapi, ia jarang tertawa. Hanya matanya yang sering berbinar melihat orang datang. Hidup sendirian di tengah kebun tentu sebuah pengorbanan. Ia senang dikunjungi dan cepat-cepat menyuguhkan air putih serta bijur rebus atau buah keremunting yang hitam-manis pada tamunya, atau lebih tepat lagi, keluarga pemilik kebun. (hlm. 77)

Demikianlah narasi paragraf pertama pembuka cerpen ini; langsung mengarah-arahkan pada Si Penjaga Kebun. Perhatikanlah empat kalimat pertama kutipan di atas. Dengan narasi yang terlalu “jujur” tersebut, bagaimana akan dipahami segi keindahan seperti yang umum dilekatkan pada label kesusastraan? Namun ternyata dalam cerpen ini, dinyatakan bahwa Si Penjaga Kebun ini menjadi begitu berharga bagi Halifa.
Ketika si penjaga kebun meninggal dan jenazahnya dimakamkan, Halifa telah kembali ke tanah rantau. Ia cuma mengirim doa. Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa angin masih menyertainya di jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-tempat baru yang pertama kali dikunjunginya. Ia merasa ikatan hidupnya dengan pulau itu berangsur-angsur punah. (hlm. 87)

Kepulangan Halifa dewasa ke “masa kecilnya” tentu saja menghasilkan situasi yang telah banyak berubah dari masa lalunya itu.
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun. Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga. (hlm. 77-78)

Kakek dan nenek Halifa telah lebih dahulu berpulang ke “tanah”. Tinggal ibu bapaknya yang tengah menikmati masa pensiun di hari tua. Sementara Malida, adiknya, juga telah punya kesibukan tersendiri di tanah rantau. Sebab itu, keberadaan Si Penjaga Kebun menjadi cukup penting bagi Halifa. Apalagi orang tua ini memiliki nilai historis baginya dan pernah menarik perhatiannya karena kesendiriannya.
Penjaga kebun itulah yang selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri. (hlm. 84)

Namun ada sesuatu hal yang membuat hubungan Halifa kepada Si Penjaga Kebun lebih kuat lagi. Ada sebuah rahasia, yang selama ini belum pernah diketahuinya, belakangan baru diceritakan Si Penjaga Kebun sewaktu Halifa mendatangi pondoknya.
Lelaki itu akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa. Tentang sebuah keluarga yang tercerai-berai. Sepasang suami-istri merelakan bayi mereka yang baru berumur dua hari untuk diangkat anak oleh keluarga lain. Mereka tak sanggup membesarkan bayi itu lantaran kehidupan yang sulit di masa Jepang. Lima anak yang lahir sebelumnya harus menanggung penderitaan. Untunglah ada orang yang lebih mampu bersedia mengurus bayi mereka yang baru lahir. Selang beberapa minggu setelah putra bungsu mereka diserahkan, sang suami meninggal dunia akibat tuberkulosa dan sang istri meninggalkan gubuk kecil mereka dengan lima anak kurus meringkuk lapar di dalamnya.
Berminggu-minggu anak-anak tersebut ditinggalkan ibunya yang berharap ada orang kampung datang dan menyelamatkan mereka. Suatu hari ketika perempuan itu kembali untuk memastikan anak-anaknya telah diambil orang, ia menemukan lima mayat tergeletak di lantai tanah dan telah membusuk. Ternyata pikiran yang kalut membuat si perempuan telah mengunci gubuk dari luar. Anak-anak itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak minta tolong. Perempuan itu tak sadarkan diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa pun. Orang-orang kampung melihatnya berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong. Setelah itu ia benar-benar senyap dari muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau buaya yang menghuni sungai.
Putra bungsu suami istri yang malang tadi adalah ayah Halifa. Lelaki tua yang bercerita ini adik kandung dari pihak istri. Halifa terdiam, begitu pula si penjaga kebun. Mereka larut pada kegetiran masing-masing. (hlm. 86-87)

Pada akhir cerita ini Halifa baru tahu bahwa dia dengan Si Penjaga Kebun tersebut ternyata adalah saudara. Hubungan mereka ternyata bukan sekadar antara anak majikan dan orang upahan. Bahkan Ayah Halifa sendiri, dalam cerita, tidak tahu cerita ini. Betapa terenyuh Halifa menyikapi kesendirian Si Penjaga Kebun. Apalagi jika dihubungkan dengan ingatan Halifa ketika suatu kali ia mendengar ayahnya pernah menyuruh Si Penjaga Kebun untuk istirahat dan kembali pada sanak saudaranya tanpa dia sadari bahwa dialah sanak saudaranya itu.
Ayah dan ibu telah memutuskan pindah ke pedalaman, mendirikan rumah di kebun pusaka kakek, dekat perkampungan orang-orang Tionghoa. Penjaga kebun itulah yang selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri. Kata ayah, “Dia turut menyaksikan jatuh-bangun keluarga kita. Ayah sudah menganggapnya keluarga. Dia sudah ayah minta istirahat dan kembali pada sanak-saudaranya, tapi katanya dia tak punya keluarga lagi. Ayah suruh tinggal di rumah ini, dia memilih tinggal di rumah kebun.” Lelaki itu mulai sakit-sakitan lantaran usia tua, tapi tetap bertahan dalam kebun mereka.
Ayah telah menjalankan wasiat kakek. Sebelum meninggal, kakek berpesan agar ayah memperhatikan nasib penjaga kebun dan tak boleh menyia-nyiakannya. (hlm. 84)

Rupanya kakek Halifa tidak pula membuka rahasia tersebut sebelum wafatnya. Barangkali pula memang ada kemungkinan kakek Halifa memang tidak mengetahui. Namun wasiat kakek Halifa pada ayahnya tersebut lebih menguntungkan penafsiran bahwa beliau memang tahu tapi mengambil keputusan untuk tidak memberi tahu. Sekadar memberi pengetahuan dengan jalan lain yang barangkali dipikirnya lebih elok dan yang terbaik. Pantaslah kiranya akhir cerita—sebagaimana sudah dikutip sebelumnya—membentangkan dan menonjolkan hubungan erat antara Halifa dengan Si Penjaga Kebun, bukan dengan yang lain-lain. Perasaan Halifa pada Si Penjaga Kebun inilah yang menghadirkan segi keindahan tersendiri bagi cerpen ini.
Beberapa hal berikut ini juga menunjukkan kesan Halifa yang begitu kuat pada Si Penjaga Kebun:
Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-merut usia tua makin nyata. Daya ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi merah, belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun. Apakah masih juga dikenakannya topi kebun dari kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya yang berkilau saat terayun ke batang lalang dan semak-belukar seakan hadir di depan mata. Kadangkala lelaki itu mengeluarkan suling dari tas resam dan memainkan lagu-lagu berirama Melayu. Ia punya radio transistor yang bisa menangkap siaran dari Malaysia. Radio model lama berbentuk roti bantal itu warisan kakek Halifa. Mungkin, bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada yang berasal dari lubang-lubang suling si penjaga kebun.
Apa pendapat lelaki itu saat melihatnya sekarang? Ia bukan lagi Halifa cengeng dan manja dulu. Ia kini tumbuh jangkung dan manis. Tanah rantau telah membesarkan otot-ototnya lewat kerja, meluaskan pikiran penghuni pulau kecil itu dengan pahit-getir pengalaman. Halifa tersenyum-senyum bangga. (hlm. 78)

Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun, menabur kotoran ayam dan kambing di atasnya. “Biar gembur, tanah perlu makan,” katanya pada Halifa kecil.
Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti musang yang mengeluarkan wangi pandan. Hembusan angin membawa aroma tubuh penjaga kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman. Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan. (hlm. 79)

Selain tentang Si Penjaga Kebun, dalam cerpen ini juga dikisahkan kenangan Halifa pada orang-orang lain dalam keluarganya sendiri. Orang-orang itu yaitu kakeknya, neneknya, ayahnya, ibunya, Yu Sur, Mang Cali dan adiknya Malida. Dengan Nenek dan Malida, dia terkenang kepada sebuah peristiwa lucu. Berikut kutipannya:
Seringkali sepulang sekolah, setelah bertukar pakaian dan makan siang, ia dan adiknya, Malida, berlari ke pantai untuk mencari kulit-kulit lokan dan siput. Mereka biasa menemukan umang-umang yang menghuni bekas rumah-rumah siput, mengeluarkan binatang-binatang tadi dari dalamnya, mengikat kaki-kaki tajam-lancip tersebut dengan benang, lalu memacu mereka berlomba lari. Nenek selalu mengomel panjang-pendek melihat kelakuan cucu-cucunya yang nakal, “Jangan kau siksa binatang, nanti di neraka kau dibuat begitu pula oleh mereka.” Apa iya? Mereka ‘kan begitu imut. (81-82)

Dia juga terkenang pada sebuah petuah bijaksana dari neneknya, agar ia sebagai perempuan bisa menjaga diri di negeri orang.
Nenek memberi nasihat tentang menjaga diri, “Kau yang punya lubang kunci dan jangan biarkan anak kunci masuk ke situ.” Halifa sempat terbahak, tapi perlahan-lahan ia paham. (hlm. 83)

Dengan ayahnya, Halifa terkenang masa-masa sulit ketika perusahaan tempat ayahnya bekerja ditutup. Dia juga terkenang pesan bijaksana ayahnya saat dia akan berangkat merantau.
Ayah mengirim Halifa merantau setamat sekolah menengah pertama. “Biar kau temukan nasibmu sendiri dengan berjuang di rantau,” kata ayah. “Pulau kecil membuat pikiran juga tak seberapa luas,” lanjut ayah, lagi. (hlm. 83)

Terhadap tokoh-tokoh lain penceritaan tidak dilakukan dengan intensif benar. Hanya dari hubungan Halifa dengan orang-orang tercintanya itulah tema utama cerita ini terintensifikasi. Kampung halaman yang telah sekian lama ditinggal pergi, dan tidak lagi ditinggali, telah menyisakan sejarah atas masa lalu. Di sela-selanya ada yang tersembunyi dan menambah manis kenangan ini. Keluarga, orang-orang yang dicintai dan mencintainya, memang telah taktampak lagi di depan kedua bola matanya tetapi akan tetap hadir pada mata hati.
3.4.6 Mencintai Buah Hati yang Diam-Diam Telah “Pergi” dalam Cerpen “Makam ke Empat”
Dengan sebuah toko tembakau kecil di sebuah pulau kecil dan desa yang juga kecil dus terpencil, tokoh Aku dalam cerpen ini membesarkan Paula, putrinya, beserta istrinya Elia dan mengirimkan putrinya ini bersekolah ke Jawa. Harapannya, dengan pendidikan yang lebih tinggi, Paula akan bisa menjadi orang sukses yang tidak hanya bertoko kecil sepertinya melainkan mempunyai toko besar sebagai pengusaha sukses dan kaya raya. Sebuah cita-cita yang mulia khas orang-orang tua. Wajar kiranya seorang tua berharap hal yang bagus-bagus dan indah-indah bagi seluruh keluarga dan turunannya.
Namun apa daya, sebuah “kesalahan” telah dilakukannya. Seperti yang dituduhkan tokoh Elia, kebiasaan tokoh Aku membacakan kisah-kisah silat Kho Ping Hoo diduga telah memotivasi Paula, putri mereka, untuk mengajak orang-orang melawan kaisar lalim (hlm. 132). Jangankan berharap Paula menjadi orang yang sukses dan terlihat terhormat di negeri ini, ia malah menjadi sosok yang dicari-cari karena kemungkinan aktifitasnya memberontaki sistem dan melawan penguasa.
Toples-toples kaca berisi berjenis tembakau berderet dalam rak kayu. Ada yang campuran. Ada yang murni. Rasanya beragam. Di desa ini orang-orang seusiaku senang mengisap tembakau rajangan yang dibungkus kertas marning. Bagiku, sigaret terasa kurang tajam. Aku juga menjual cerutu bermutu sedang sampai mahal. Pembelinya tak sebanyak tembakau rajangan, tapi selalu ada. Toko ini pula yang telah menghidupi keluargaku, termasuk membiayai kuliah Paula di Jawa. Aku ingin ia menjadi pengusaha besar, bukan pemilik toko kecil sepertiku. Kubiarkan ia meraih ilmu setinggi langit.
Biarkan bangau terbang, kata ibuku. Namun, air tanah yang kau minum rupanya menentukan jalan hidupmu. Paula memilih jalannya sendiri. Tetapi, mengapa harus jalan itu? Elia sempat menyalahkanku. Katanya, aku terlampau sering membacakan kisah-kisah silat Kho Ping Hoo pada anak kami dan sepak-terjang pendekar yang hebat membuat kanak-kanak terpikat, membekas sampai dewasa. Benarkah? (hlm. 126-127)

Suatu malam, ia pernah mengejutkan aku dan Elia. Kami mendengar suara-suara dari atas loteng. Bersama-sama kami mendaki tangga dan diam-diam menempelkan telinga di daun pintu. Terdengar laci-laci meja ditarik dan kertas-kertas disibak, kemudian dirobek-robek. Apakah ibuku sedang berbenah? Setahuku ibu selalu hadir tanpa suara. Bukan, bukan, ibu, bisikku. Elia juga sependapat. Ibu datang dalam sunyi, katanya.
Kami menguatkan hati untuk mengetuk pintu. Tiga kali. Tiga ketukan untuk permulaan. Tak berapa lama muncul raut mungil putriku. Istriku menangis. Aku terpaku. Kata Paula, ia sengaja pulang diam-diam dan masuk ke rumah lewat pintu samping yang tak dikunci (istriku kadang-kadang ceroboh. Lagipula di desa kecil ini, tak pernah ada orang yang kehilangan, kilahnya). Mengapa harus pulang diam-diam, tak minta dijemput? Dari mana ongkos pulangmu? Bulan lalu, kamu sudah pulang. Perasaanku tak enak. Paula menatap aku dan ibunya silih-berganti. “Aku sedang dikejar-kejar orang,” ujarnya, pelan. Kubalas dengan bergurau, “Dikejar pacar?” Wajah Paula justru menegang. “Kalau ada orang asing ke sini dan menanyakan aku, katakan saja Papa dan Mama tak kenal,” jawabnya, datar. Tak kenal bagaimana? Kamu adalah putriku, anak kami satu-satunya. “Aku juga tak akan menyebut-nyebut nama kalian kalau ada apa-apa,” balasnya, tak acuh. Istriku segera memperoleh firasat buruk. “Kamu melakukan apa, Nak?” Bibir Elia bergetar. Malam itu Paula tak mau bicara. Ia hanya menggeleng atau menunduk. Pagi-pagi ia meninggalkan rumah, menyeberang naik kapal pertama. Istriku menangis seharian. Aku sangat berharap putriku mau bicara. Tetapi, Elia melarangku memaksa Paula. Jangan kasar padanya. Ia putri kita satu-satunya. Baiklah. Aku juga tak mau disebut diktator. Para kaisar biasanya diktator. Aku bukan kaisar, kataku. Elia protes lagi. Jangan kau bawa-bawa kisah-kisah silat itu. Ya, sudah. Aku memilih diam. (hlm. 127-128)

Kata jalan itu sebagaimana yang dikutip di ataslah jalan yang dipilih Paula: mengajak orang-orang melawan kaisar lalim. Aktifitas inilah yang membuat Paula dikejar-kejar “orang” bukan dikejar-kejar pacar sebagaimana normalnya diharapkan oleh masyarakat yang tertib dan tunduk-tunduk saja pada apapun kemauan penguasa-penguasa lalim yang otoriter; sepertinya halnya kedua orang tua Paula, tokoh Aku dan Elia. Dua orang sederhana ini tentu tidak mengerti apa “maunya” putri mereka.
Ketika suatu kali tokoh Aku pernah mencoba bergurau lagi menyinggung persiapan seorang pacar bagi dirinya, Paula pernah memberikan jawaban yang sungguh mengagetkan dan barangkali sangat terdengar utopis di gendang telinga tokoh Aku yang awam kebaruan wacana. Berikut kutipannya:
Ia kini sudah dewasa. Apakah ia sudah punya pacar? Suatu kali ia mengagetkanku dengan pernyataan seram. Papa jangan harapkan aku menikah, karena pernikahan itu cuma cocok untuk orang-orang kaya. Hah? Dulu Papa dan Mama menikah dengan modal dengkul, Paula. Ia terdiam sebentar, kemudian menggamit lenganku. Dengarkan Papa, bisiknya, aku dan teman-teman sedang berupaya agar setiap orang bisa hidup makmur dan aman. Kalau itu sudah tercapai, aku akan kawin. Aku terbahak-bahak. Kamu bukan tukang sulap, Nak. Ia terkekeh-kekeh. (hlm. 131)

Barangkali hal inilah yang membuat Paula tidak mau melibatkan kedua orang tuanya. Inilah yang di awal cerita sempat dimetaforkan secara sarkastik lewat klausa namun, ia memunggungiku (hlm. 123). Apa peristiwa yang dihadapi oleh Paula, tokoh Aku tidak pernah tahu; baru pada akhir cerita, ketika pada akhirnya seorang kawan Paula memberitahukan perihal menghilangnya Paula, tokoh Aku mulai tahu aktivitas putrinya. Hal seperti inilah yang membuat tokoh Aku semakin merasa asing pada putri tunggalnya yang dengan bersusah payah dinafkahinya kuliah ke Pulau Jawa itu demi mencapai kesejahteraan dari segi ekonomi.
Ketika pada akhirnya mengetahui kemungkinan kematian putri mereka dan kemudian juga jadi tahu mengapanya, tokoh Aku dan Elia masih berusaha mencari-carinya. Setelah diupayakan namun tidak bertemu, barulah tokoh Aku menggali makam keempat—sebagaimana judul cerpen ini—bagi arwah putrinya yang jasadnya tidak tahu dimana rimba. Makam itu merupakan tanda bahwa mereka bagaimanapun harus menerima kepergian atau lebih tepatnya kehilangan putrinya tersebut dan dalam keharuan mereka pun—di akhir cerita—mesti melewati natal kelima tanpa Paula.
Sedikit banyaknya pada cerpen ini juga terlihat ketabahan orang tua Paula untuk merelakan menghilangnya putri mereka. Tokoh Aku dalam cerpen ini juga menyadari bahwa dialah yang mengajari putri semata wayangnya itu untuk kelak menjadi pendekar yang berjuang guna menegakkan yang benar.
Kenyatannya, sebagai manusia biasa, tokoh Aku dan Elia tentulah sangat sedih atas kehilangan putri mereka tersebut. Terlebih lagi kematian putri mereka ini penuh selaput misteri. Lebih-lebih pula yang menghilang dari mereka ini—dengan aroma intrik-intrik politik kekuasaan menyelubunginya—adalah seorang anak manusia berjenis kelamin perempuan. Bagaimana menyentuhnya perasaan manusiawi itu dan betapa perihnya rasa sakit hati kedua ayah bunda yang ditinggal anak satu-satunya ini bisa sangat dirasakan dari kutipan berikut ini:
Siang itu aku menyambut jam makan dengan perasaan aneh. Elia memanggang ikan hiu. Aku tak mau makan daging hiu. Siapa tahu putri kami dimakan hiu. Kata orang-orang, Paula dibuang ke laut dan mungkin dimakan hiu. Elia menghidangkan hiu panggang di meja makan, tapi aku cuma menyentuh sayur bening sawi. Air mata menggenangi sepasang mataku. Ada apa, tanya Elia. Tangisku makin keras. Ada apa, ia bertanya lebih lembut. Putri kita ada dalam hiu ini, bisikku, tersendat-sendat. Ia langsung tersedak, beranjak dari kursi, menangis di tepi bak cucian. Tak berapa lama ia kembali, meraih piring ikan di meja, lalu menuang isinya ke tong sampah. (hlm. 133)

Juga, rasa kehilangan ini telah menimbulkan semacam ilusi bagi tokoh Aku tentang kedatangan selalu putri tunggalnya itu di hari-hari selanjutnya tanpa Paula. Paragraf pertama cerpen ini telah menyodorkan bagaimana harapan seorang bapak, yang barangkali telah mustahil, mengental menjadi bayangan sebuah peristiwa.
Paula datang ketika lampu-lampu ruang telah padam. Tubuhnya memancarkan sinar putih. Lembut. Berpijar. Kuletakkan kotak cerutuku di meja dan bangkit perlahan dari kursi malas untuk menyambutnya. Namun, ia memunggungiku, meluncur di lantai, kemudian menghilang tepat di tengah lorong menuju dapur. Dan lantai licin yang kupijak tiba-tiba berperekat. Aku tertahan di atasnya, mirip tikus terjebak di perangkap berumpan. Kusaksikan Paula sirna. Kedua tanganku yang bersiap memeluknya tertahan di udara, menggantung kaku. Ia meninggalkan ruang lengang tanpa aroma. Ia meninggalkan aku. Datang dan perginya bagai tuah dari tongkat sihir, terbit dari tiada dan lenyap ke dalam tiada. Dibiarkannya kami menunggu selama sepuluh musim.
Ketika belum terbiasa dengan cara datang dan pergi Paula, aku sering berteriak-teriak memanggil namanya dan berharap ia berbalik serta menatapku. Tak sekalipun ia menggubris. Kedua telinganya bagai tersumbat besi tempaan. Tubuhnya meluncur lurus ke muka, sebelum lebur dalam udara. Namun, aku masih berharap.
Paula selalu datang ketika hanya pijar lampu bacaku yang menyala dan membuat gradasi cahaya, ketika temaram di sekelilingku benar-benar hilang di ujung lorong gelap-gulita.
Aku menyebut namanya, dengan tekanan dan perasaan beragam; haru, senang, cemas, putus asa. Namun, suara serak ini hanya dijawab oleh gemanya sendiri, diikuti desah napasku yang berat, letih. Setelah itu malam mendesakkan sebuah penyelesaian: aku harus tidur dan meninggalkan kursi malasku yang tegak lurus dengan lorong sebelum istriku muncul menjemput. Sayang sekali, aku bukan orang yang patuh, meski kutahu berjaga semalaman memicu asmaku kambuh. Aku lebih suka membiarkan istriku datang, bahkan sengaja menunggu. Ia selalu membujuk dengan berbisik, lalu menuntunku ke kamar kami. Bisikannya tak pernah kusimak, tapi kedatangannya menuntutku beranjak dari sini. Kalian akan melihat sepasang rongsokan manusia berjalan tertatih-tatih, menyerupai zombie. (hlm. 123-124)

Pilihan kata sinar putih yang merujuk pada tokoh Paula pada kalimat kedua paragraf pertama kutipan di atas atau paragraf Paula selalu datang ketika hanya pijar lampu bacaku yang menyala dan membuat gradasi cahaya, ketika temaram di sekelilingku benar-benar hilang di ujung lorong gelap-gulita (hlm. 124) seolah menjadi simbol dari doa tokoh Aku bagi kebahagiaan putrinya di alam baka berkat segala kebenaran dan kesucian yang diperjuangkannya dalam menumpas segala kelaliman dan borok-borok yang ditutup-tutupi oleh orang-orang yang dikarunia Tuhan dengan setetek ketek “sabit bermata dua” bernama kekuasaan, hak, dan kesempatan. Ada yang salah memilih jalan; semoga kembali ke kebenaran.











BAB IV
SIMPULAN

Setelah menganalisis enam dari dua belas cerpen dalam kumpulan cerpen KTMP karya LC, ternyata penulis berhasil menemukan intensitas garapan tema-tema kemanusiaan sebagai tema yang dominan dalam cerpen-cerpen tersebut. Variasi tematik yang digarap dalam keenam cerpen tersebut pun terlihat dapat mewakili wajah tematik kedua belas cerpen lainnya yang terdapat pada kumpulan cerpen ini.
Dalam cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” persoalan kemanusiaan yang digarap adalah tentang kehampaan jiwa seorang prajurit dalam menjalankan kewajibannya sebagai abdi bela negara. Terlihat dalam cerpen ini bagaimana pada berbagai kesempatan seorang serdadu dengan segala stereotipnya tersebut ternyata juga mempunyai perasaan manusiawi seperti manusia lain pada umumnya. Seorang tentara—bahkan kemudian menjadi seorang pembunuh profesional—ternyata juga bisa sedih, takut, jatuh cinta, dan ingin menumpahkan segala beban pikiran. Akan tetapi profesi sebagai prajurit terlihat membuat seorang sedadu mesti banyak menahan diri untuk mengungkapkan ekspresi pribadi; di samping dia juga bisa terlihat bangga dengan jalan hidupnya ini. Tegangan antara dua kutub inilah yang menghadirkan narasi menarik tentang sisi kemanusiawian tokoh Prajurit Yosef Legiman dalam cerpen ini.
Dalam cerpen “Makan Malam” perihal kemanusiaan yang digarap adalah mengenai perasaan sakit hati seorang ibu yang ditinggal sekian lama oleh suaminya. Semula seolah ada secercah harapan kembali berkobar saat datang kabar tentang kedatangan sang suami. Kenyataannya, kedatangan tersebut hanya kembali mengoyak luka lama. Tokoh Ibu dalam cerpen ini akhirnya mesti mengidap rasa sakit hati—yang tentu saja bukan berupa hidup berbahagia—untuk selama-lamanya.
Dalam cerpen”Pesta Terakhir” tema kemanusiaan yang dihadirkan adalah mengenai beban mental yang melanda seorang tua atas dosa pengkhianatannya pada kawan-kawan karib yang dicintainya. Pengkhianatan ini terutama didorong hasrat seksual yang begitu menggebu-gebu. Pemenuhan atas hal tersebut sempat mesti meminggirkan sikap setia pada kawan seperjuangan, namun tidaklah sampai menghilangkannya.
Cerpen “Balada Hari Hujan” terlihat jauh menusuk dan menelisik ke relung-relung terdalam sanubari seorang waria; sosok yang memiliki citra negatif di tengah masyarakat umum. Pada cerpen ini dieksplorasi perasaan-perasaan manusiawi seorang waria yang ternyata juga ada dan nyata. Waria ternyata juga punya harapan tentang masa depan yang lebih baik dan waria ternyata juga bisa sangat terluka bila cintanya didusta. Akhir yang sedih (sad ending) membuat pesan kemanusiaan dari cerpen ini terasa penuh duka, pedih, dan perih.
Cerpen kelima, “Lelaki Beraroma Kebun”, agak memperlihatkan nuansa sedikit berbeda dengan kecenderungan cerpen-cerpen lainnya. Cerpen ini tidak terlalu menonjol-nonjolkan manusia-manusia yang sakit perasaan. Hubungan antara tokoh Halifa dan Si Penjaga Kebun lebih bernuansa keharuan bukan rasa sakit dan kepedihan yang sampai berlebih-lebihan. Tampilnya unsur jarak-waktu membuat cerita sedih dalam cerpen ini lebih sublimatif.
Cerpen terakhir yang digarap disini, “Makan Malam”, kembali menggarap soal kepedihan jiwa manusia yang “terluka”. Uniknya, manusia sakit yang diangkat disebabkan oleh akibat kepedihan dari peristiwa lainnya. Sanksi politik bagi seorang pemrotes rezim yang berkuasa ternyata menghasilkan efek tambahan. Ternyata bukan hanya individu-individu yang memilih jalan hidup penuh onak dan duri—menentang para penguasa—yang akan menderita atas aksi-aksinya. Keluarga dan orang-orang yang dicintai serta mencintainya juga mesti menanggung “buah” dari itu semua.
Demikianlah hasil penelitian kali ini. Dari paparan penulis tentang aspek tematik cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini, terlihatlah betapa intensifnya LC dalam menggarap tema kemanusiaan dalam kumpulan cerpen KTMP ini. Ini terlihat sesuai dengan penghargaan dan apresiasi banyak pihak atas kumpulan cerpen ini. Dengan demikian, kumpulan cerpen KTMP karya LC ini bisa dikatakan telah berhasil sebagai sebuah karya sastra—setidaknya dari aspek penggarapan tema.
DAFTAR PUSTAKA
Adesita, Syufra Malina. 2004. “Setting”. Terjemahan Bab 3 Literature: An Introduction to Fiction, Poetry, and Drama edisi keempat, X.J. Kennedy, 1987, London: Scott, Foresman and Company. Dalam Kornel no. 10. (hal.14-15).
Budianta, Melani. 2003. “Merekam Penulis Perempuan dalam Sejarah Kesusastraan” wawancara dalam Jurnal Perempuan no.30 (hal.100-107).
Budianta, Melani. 2004. “Jejak Lelaki, Kekerasan, dan Sunyi; Catatan Atas Cerpen Pilihan Kompas 2004” dalam Nurhan, Kenedi (ed.). Sepi Pun Menari Di Tepi Hari; Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004. Jakarta: Kompas.
Christanty, Linda. 2004a. “Pengalaman di Balik Penciptaan: Kuda Terbang Maria Pinto” dalam http://relawan.net/wmview.php?ArtID=459&page=1. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Christanty, Linda. 2004b. “Berpolitik lewat Cerpen” wawancara dalam http://www.vision.net.id/detail.php?id=3975. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Christanty, Linda. 2004c. “Sastra Bisa Mengungkapkan Kepedihan Terdalam” wawancara oleh Wimar Witoelar dalam http://www.balipost.co.id/Bali Postcetak/2004/6/14/rubrik.html. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Christanty, Linda. “Hidup di Dua Dunia” wawancara dalam Pikiran Rakyat, 14 Desember 2006 (hal.22).
Daery, Viddy AD. “Perjalanan Sastra Buruh Indonesia” dalam http://202.155. 15.208/detail.asp?id=211271 (Republika Online, 17 April 2005). Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Danujaya, Budiarto. 2000. “Realitas Koran Pada Sastra Koran” dalam Dua Tengkorak Kepala; Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: Kompas.
Darma, Budi. 1984. “Moral dalam Sastra” dalam Sejumlah Esei Sastra. Jakarta: Karya Unipress.
Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LkiS.
Hanafi, A. 1984. Segi-Segi Kesusastraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Herfanda, Ahmadun Yosi. “Peta Kecenderungan Cerpen Indonesia Terkini” dalam http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=249828&kat_id=3 64 (Republika Online, 28 Mei 2006). Diakses tanggal 2 Februari 2007.
Imran, Ahda. “Kesenian dalam RUAPdP” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2006/012006/14/khazanah/index.html (Pikiran Rakyat, 14 Januari 2005). Diakses tanggal 18 Desember 2006.
Imran, Ahda. “Penghargaan Sastra Khatulistiwa, Sebuah Soal” dalam http:/www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102006/08/khazanah/index.html (Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005). Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Irawati, Henny. 2004. “Pohon Sejarah” dalam Kornel no.10 (hal.24-25).
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-Esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kompas Cyber Media. 2004. “Cerpen Bertema Kemanusiaan” dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/22/pustaka/1037030.html. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Krampen, Martin. 1996. “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi” dalam Sudjiman, Panuti & Aart van Zoest (ed.). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Kurniawan, Eka. “Merayakan Pembacaan” dalam http://www.kompas.com/ kompas-cetak/0510/01/Bentara/2083130.html (Kompas Cyber Media, 1 Oktober 2005). Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Lilis A., Nenden. “Rigidnya Cerpen Gagasan” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2006/102006/21/khazanah/index.html (Pikiran Rakyat, 21 Oktober 2006). Diakses tanggal 28 Oktober 2006.
Luxemburg, Jan van. Mieke Bal dkk.. 1991. Tentang Sastra. Terjemahan Akhadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.
Mahayana, Maman S. “Inovasi Tematik-Stilistik Novel ‘Dadaisme’” dalam http://www.media-indonesia.com/newsprint.asp?Id=2004071023464677 &Jenis=c&cat_name=Tifa (Media Indonesia Online, 11 Juli 2004). Diakses tanggal 29 Januari 2007.
Mohammad, Goenawan. 2000. “Kenapa Menulis Cerita Pendek?” dalam Nurhan, Kenedi (ed.). Dua Tengkorak Kepala; Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: Kompas.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; Dari Strukturalisme Hingga Posstrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip. 1998. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Saidi, Acep Iwan. 1996. “Posisi Perempuan dalam Karya Sastra” dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/04/21/0006.html (Republika Online, 21 April 1996). Diakses tanggal 31 Mei 2006.
Saini KM. 1990. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa.
Sambodja, Asep. 2002. “Merekonstruksi Sejarah Sastra Indonesia” dalam http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=10303 57707. Diakses tanggal 9 Januari 2007.
Sambodja, Asep. 2005. “Djenar dan Paradoks Masyarakat Kita” dalam http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0402 /bud2.html. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Sawitri, Cok. 2003. “Mencari ‘Karya Sastra’ yang menguntungkan Perempuan”. Dalam Jurnal Perempuan no.30 (hal.55-63).
Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sinar Harapan Online. 2004. “Khatulistiwa Literary Award 2004 Hasilkan Pemenang Kembar” dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/13/ hib01.html. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Soeratno, Siti Chamamah. 2003. “Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Suara Karya Online. 2006. “Wanita dalam Sastra” dalam http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=137985. Diakses tanggal 8 Mei 2006.
Sudjiman, Panuti. 1987. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suharjana, Agus. 2000. Pergeseran Makna Cinta dalam Kumpulan Cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta; Telaah Struktural dengan Penekanan pada Aspek Tematik. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Universitas Padjajaran.
Sukiman, Chusnato. “Ruang Fiksi di Media Gaya Hidup” dalam http://www.republika. co.id/koran_detail.asp?id=193015&kat_id=364 &kat_id1=&kat_id2= (Republika Online, 3 April 2005). Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Graemedia Pustaka Utama.
Supadjar, Darmadjati. 2003. “Petunjuk Penelitian Sastra dengan Metode Pendekatan Tematis – Filosofis” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Susmana, A.J. “Terbang Kemana ‘Kuda Terbang Maria Pinto’?” dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/27/Buku.html (Kompas Cyber Media, 27 Juni 2004). Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Suwondo, Tirto. 2003a. Studi Sastra; Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Suwondo, Tirto. 2003b. “Analisis Struktural: Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian Sastra” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1994. Indonesia; Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tjahyadi, Indra. 2005. “Sastra yang Berangkat dari Lamunan” dalam http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0115/bud2.html. Diakses tanggal 19 Juli 2005.
Utomo, S Prasetyo. “Generasi Cerpenis Pasca-Seno Gumira Ajidarma” dalam http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=60132&kat_id=102&kat_id1=&kat_id2 (Republika Online, 13 Januari 2002). Diakses tanggal 2 Februari 2007.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Wijaya, Putu. 2002. “Sastra Sebagai Refleksi Kemanusiaan” dalam http://www.ba hasa-sastra.web.id/putu.asp. Diakses tanggal 10 November 2006.
http://andreasharsono.blogspot.com/2005/01/literary-journalism-course-vii.html. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
http://www.pantau.or.id/contributor.php?act=detail&id=6. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
http://ubudwritersfestival.com/ilist.php?id=L. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
http://www.republika. co.id/koran_detail.asp?id=182197&kat_id=102. Diakses tanggal 2 Februari 2007.

No comments: