Monday, May 16, 2005

bahan seminar (dan up pertama yang disuruh revisi dengan cukuip tajam sehingga ku tak mau)

EFEK KATARSIS DALAM PEMBACAAN ATAS CITRAAN TERHADAP BUDAYA KORUPSI DI INDONESIA PADA CERPEN “TELEPON DARI ACEH” KARYA SENO GUMIRA AJI DARMA
Wemmy al-Fadhli
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pada perkembangannya, penelitian sastra pun mulai bergerak ke arah penelitian yang berorientasi pada pembaca. Hal ini mulai mendapat bentuk secara sistematik dan metodologik lewat tangan Jauss dan Iser, keduanya dari Jerman, pada sekira tahun ­’60-an (Junus, 1985). Berbeda dengan pendekatan struktural terhadap karya sastra, dengan bentuk yang paling radikalnya seperti yang dilakukan aliran New Criticism di Amerika atau juga Formalisme di Rusia, pendekatan pada pembaca ini mulai menyangsikan otonomi pemaknaan yang mutlak hanya didapat dari teks karya. Menurut pendekatan ini, karya sastra sejak terbitnya selalu mendapat beragam tanggapan dari pembacanya dan tanggapan dari pembaca tersebut adalah tidak sama (pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya) sepanjang masa atau dalam seluruh golongan masyarakat (Abdullah, 2003). Dan ini adalah fakta yang diketahui oleh semua orang (ibid). Sebab itu, pendekatan ini penelitiannya adalah berupa pemeriksaan proses pembacaan teks oleh pembaca dengan segala variable pembeda tersebut, berbeda dengan analisis struktural murni yang secara terbatas hanya berangkat dari otoritas penilaian terhadap apa yang terdapat pada teks. Pendekatan inilah yang dikenal dengan istilah resepsi sastra, atau ada juga yang menyebut dengan istilah estetika resepsi sebagai terjemahan dari rezeptionaesthetik.
Jauh sebelum konsep tentang resepsi sastra ini dikembangkan oleh Jauss dan Iser, Mukarovsky, yang dikenal dengan sistem semiotiknya guna mengembangkan kekakuan analisis struktural klasik terhadap karya sastra atau juga dikenal sebagai salah seorang tokoh pengembang pendekatan strukturalisme dinamik, pada tulisan-tulisannya sejak sebelum Perang Dunia Kedua juga telah menyinggung-nyinggung soal proses penerimaan pada pembaca ini (Junus, 1985). Selain itu juga bisa disebut sederet kritikus sastra lain yang juga menyinggung persoalan pentingnya peran pembaca, mulai dari Vodicka, Ingarden, Riffaterre, hingga Warning dan Segers yang telah mendapat pengaruh pemikiran Jauss dan Iser. Foulkes, salah seorang kritikus sastra juga, menyatakan bahwa penelitian karya sastra dalam rangka model semiotik mau tak mau harus mencurahkan perhatian penuh pada situasi pembaca sebab pembaca penting dari dua segi, sebagai subjek dan sebagai objek (Teeuw, 1984). Sebagai subjek, dialah yang membaca, menafsirkan, dan menilai karya sastra ; dalam proses interpretasi, dia selalu berada dalam tegangan antara textual structure, sebagai sesuatu sesuatu yang diberikan secara objektif di luar dirinya, dengan “persediaannya” yang subjektif untuk memasuki hubungan estetik dengan teks, yang sebagian ditentukan oleh konvensi-konvensi sastra, sebagian lagi oleh faktor-faktor di luar sastra (ibid). Hal terakhir tadi lah yang dimaksud oleh Foulkes dengan situasi pembaca sebagai objek: dia, sadar atau tak sadar, terkena berbagai pengaruh dan kekuatan sosial, politik, dan budaya (ibid).
Bagaimanapun, pendekatan resepsi sastra ini pun sebetulnya bukan terlepas sendiri dari jenis pendekatan yang lain, struktural misalnya. Seperti halnya dekonstruksionisme, pendekatan ini pun adalah bagian dari pengembangan terhadap dasar penelitian sastra yang berangkat dari stuktur otonom teks tersebut. Pengkajian stuktural dan (yang kemudian dilanjutkan dengan) pengkajian semiotik, dianggap sudah menggambarkan situasi total dalam upaya mengkaji teks sastra (Faruk, 1999), meski segala pertumpang tindihan tetap harus dikembalikan pada fokus pembatasan masing-masingnya. Resepsi sastra adalah bagian dari pengkajian semiotik tersebut (ibid), sebuah penelitian tentang sistem tanda-tanda yang seperti tak ada batasnya.
Model pendekatan dalam resepsi sastra ini menarik perhatian saya, apalagi setelah dihubungkan dengan posisi sastra dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan serta hasil kebudayaan manusia lainnya seperti yang sering disinggung Darma dalam berbagai makalahnya. Darma (1989) mengungkapkan bahwa di dunia ini kita bisa golongkan dua jenis kekuatan. Pertama, kekuatan.arus atas yang meliputi hal-hal semacam kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Kedua, kekuatan arus bawah yang meliputi unsur-unsur budaya seperti sastra dan filsafat. Secara langsung, nasib dunia memang banyak ditentukan oleh arus atas. Sesuai kodratnya, kekuatan arus bawah sering tak tampak dan kurang terasa sebab hakiki arus bawah adalah abstraksi. Namun Darma mengingatkan, mengabaikan kekuatan arus bawah berarti mengabaikan sebuah totalitas. Sekian banyak istana, kuil-kuil, dan benteng dari zaman Yunani Kuno sana memang telah runtuh, tetapi puisi-puisinya Homer tetap hidup dan (Darma mengutip perkataan Francis Bacon) akan tetap hidup. Marcuse (1977, lewat Marwoto “Seni dan Subversi”) pernah menyatakan bahwa seni memang tidak dapat mengubah dunia, tetapi ia dapat menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia yang dapat mengubah dunia.
Dan sarana yang digunakan oleh karya sastra, sebagai salah satu bagian dari kekuatan arus bawah dan juga sebagai bagian dari seni, untuk berhubungan dengan (dan juga mengubah) dunia tersebut adalah unsur amanat, atau moral, atau pesannya. Sudah umum anggapan bahwa karya sastra yang baik adalah yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan selalu membawa pesan kepada pembaca untuk berbuat baik (Darma, 1984) meski dengan segala perdebatan mengenai defenisi moral tersebut di belakangnya. Seperti juga filsafat dan agama, sastra juga mempelajari masalah manusia (ibid). Dengan cara yang berbeda-beda, sastra, filsafat, dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanitat, yaitu jiwa yang halus manusiawi dan berbudaya (ibid). Disinilah dapat kita lihat peran sastra bagi totalitas peradaban manusia.
Salah satu hasil dari amanat (pesan moral) sebuah karya sastra yang bernilai tersebut adalah efek katarsis. Hal ini, sejauh pengamatan saya, sebetulnya cukup sering disinggung dalam berbagai pembicaraan atas nilai-nilai yang didapat dari karya sastra terhadap pembaca, namun sepertinya masih jarang yang menuliskannya secara fokus dengan sistematika dan metodologi tertentu sebagai bagian dari penelitian ilmiah dan akademis terhadap nilai-nilai dalam karya sastra. Contoh efek katarsis ini kejadiannya dapat kita lihat pada peristiwa pertunjukkan drama tragedi (ibid). Pada pertunjukkan drama tragedi tersebut penonton dipersilakan untuk menikmati berbagai peristiwa-peristiwa yang sebetulnya tak dibenarkan oleh moral, yaitu berbagai adegan pembunuhan, penipuan, pengkhianatan, dan sebagai hal lainnya yang berhubungan dengan banjir darah, sementara pada akhirnya penonton akan dibawa ke titik kemuakan terhadap apa yang terjadi, setelah sebelumnya mereka dipuaskan untuk bersenang-senang menyaksikan (ibid). Pada titik tersebutlah penonton dibuat mengalami katarsis, “pembersihan” di dalam dirinya, dan pembersihan ini mendorong untuk tidak meniru terhadap apa yang baru saja disaksikan di atas panggung (ibid). Jadi katarsis sebetulnya berawal dari pancingan terhadap nafsu primitif penonton sendiri, yakni keinginan untuk menyaksikan adegan-adegan yang mengerikan, yang berlawanan dengan moral (ibid). Disinilah keunikan sarana estetik penyampaian pesan moral karya sastra, untuk menuju moral, penonton harus melalui proses menyaksikan adegan-adegan yang tidak sejalan dengan kepentingan moral (ibid).
Keunikan estetika karya sastra tersebut bisa bekerja disebabkan oleh berbagai faktor yang terkait sifat kemanusiaan. Para pemikir, seperti Ficino dan Pico, mengatakan bahwa Tuhan telah memberkati manusia dengan instink ke-humanitat-an, keinginan untuk menciptakan nilai-nilai yang baik, keinginan untuk memperbaiki dirinya, untuk tidak menjadi vulgar dan apalagi barbar (ibid). Faktor ini juga mendukung kemampuan manusia untuk bersimpati dengan apa yang terjadi dalam karya sastra dan juga empati (yaitu merasa secara langsung terlibat dalam karya sastra tersebut) (ibid). Hal ini juga terkait dengan konsep tentang manusia sebagai makhluk pembanding (homo comparativus) seperti yang dikemukakan Darma (1989). Dan kerja membandingkan adalah bagian dari proses mencari kebenaran. Terkait juga dengan resepsi sastra sebagai pengembangan terhadap analisis terbatas strukturalisme, Selden (1991) mengutip perkataan Bleich dari sebuah bukunya yang berjudul “Kritik Sastra Subjektif” (yang dikatakan Selden sebagai sebuah argumen yang canggih yang setuju dengan pergeseran dari paradigma objektif ke paradigma subjektif dalam teori kritik): “Kritik Sastra Subjektif mendasarkan diri pada perkiraan bahwa tiap motivasi yang paling penting bagi manusia adalah memahami dirinya sendiri.” Melalui kerja membandingkan dan lewat proses empatik tadi manusia pun mengidentifikasikan dirinya pada “manusia-manusia lain” yang dicitrakan oleh karya sastra.
Identifikasi terjadi jika pembaca menyatukan diri dengan tokoh-tokoh yang didenotasikan oleh teks dengan pikiran, perasaan, dan penalaman mereka (Zoest, 1991). Identifikasi tersebut timbul dikarenakan gambaran yang dihadirkan teks, bukan sebab, cuma karena, kenyataan yang berada di belakakangnya (bdk ibid). Seperti yang kita lihat pada peristiwa dalam pertunjukkan drama tragedi tadi, atau berbagai faktor humanitat manusia, tadi juga, wajar Zoest menyarankan agar interpretant teks sastra melancarkan himbauan yang kuat pada wilayah emosionil (afektif) pembaca (ibid). Dengan inilah kemudian efek katarsis diharapkan bisa terjadi pada pembaca karya sastra. Kemampuan karya sastra untuk berperan dalam totalitas peradaban umat manusia inilah yang menggoda saya untuk melibatkan diri dalam sebuah penelitian, kali ini, yang akan banyak berhubungan dengan apa yang diperbincangkan dalam pendekatan resepsi sastra. Untuk itu, saya bertemu dengan sebuah karya sastra yang memperbincangkan dengan sangat estetik sebuah “isu budaya” yang dalam masyarakatnya sedang selalu “hangat-hangatnya”. Karya tersebut adalah sebuah cerpen yang berjudul “Telepon Dari Aceh” karangan Seno Gumira Ajidarma dan isu budaya yang dibicarakan adalah mengenai korupsi, di Indonesia.
Mengenai budaya korupsi di Indonesia, saya kira bagi kita bukanlah “barang yang baru” lagi, bahkan hal ini telah jadi “lagu usang” rasanya. Beberapa kali republik ini selalu masuk ke peringkat teratas untuk urusan korupsi. Transparancy International, sebuah lembaga independen internasional, pernah memasukkan Indonesia sebagai negara paling korup bareng-bareng sama “adiknya” kota Jakarta sebagai kota paling korup di dunia (data ini didapat dari artikel Peter Rosler Garcia, seorang pengamat politik dan ekonomi internasional yang tinggal di Jerman, yang dimuat di Harian KOMPAS edisi 1 Maret 2005). Bagaimana awal mula budaya korupsi muncul di Indonesia telah dibicarakan panjang lebar oleh Kwik Kian Gie, seorang ekonom senior, dalam sebuah buku mininya yang berjudul Saya Bermimpi Menjadi Konglomerat (1995). Juga bagaimana sangat dahsyatnya akibat laku budaya bernama korupsi tersebut bagi negeri ini, terutama anak-cucu kita nanti, juga diuraikan dengan cukup rinci oleh Kwik dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan”. Yang perlu saya kemukakan disini dari kedua tulisan Kwik tersebut adalah bagaimana orang-orang yang melakukan korupsi tersebut, pada tingkatan paling parah, disebut Kwik sebagai telah “sakit jiwa”. Dan Kwik memberikan sekian argumen yang cukup kuat untuk simpulan yang diambilnya itu. Berikut saya kutipkan salah satu paparan Kwik tentang korupsi di Indonesia:
Kapitalisme dan liberalisme yang de facto berlangsung di negara kita, seperti halnya kapitalisme dan liberalisme abad ke-19 di Eropa, selalu mengandung ekses praktek-praktek yang merugikan rakyat banyak. Di Eropa, ekses-ekses tersebut sudah dapat dibendung dengan cukup memadai melalui keterbukaan dan berbagai peraturan dan pengaturannya. Di Indonesia para pelaku bisnis sedang asyik-asyiknya mempraktekkan semua trik dan akal-akalan kotor secara penuh, seolah-olah semuanya itu sah-sah saja dan penemuan barunya yang brilyan (Kwik, 1995).
Sebagaimana pola hubungan antara karya sastra dengan masyarakatnya seperti yang dibahas tadi, atau lebih fokusnya bagaimana peran karya sastra dalam menyampaikan kesadaran humanitat pada masyarakatnya, menanamkan (atau barangkali lebih tepat disebut mengingatkan) tentang nilai-nilai moral pada pembaca, saya berkeinginan dalam penelitian kali ini untuk melihat bagaimana ciri estetik karya sastra sehingga dengan unik ia mampu menyentuh jiwa humanitat pembacanya. Kwik, dalam simpulannya terhadap penyakit jiwa berupa perbuatan korupsi di republik ini tadi, pun menganjurkan kemampuan berpikir abstrak sebagai sarana menyadarkan para koruptor tersebut. Dan sastra, sebagaimana bidang-bidang lain yang menjadi – seperti diistilahkan Darma tadi – kekuatan arus bawah dunia, memang berkecimpung dalam berbagai abstraksi nilai-nilai. Suwondo (2003) mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi, instuisi, dan abstraksi kehidupan.
Sastrowardoyo (1992) menuliskan bahwa di Barat telah ada apa yang dinamakan sebagai Psycopoetry sebagai bagian dari Psychoterapy. Memang kebudayaan masyarakat Barat telah menjadikan terapi psikologi atau kejiwaan tak kalah pentingnya dibanding kesehatan fisik, dan, meski mungkin masih sangat minim, terapi kejiwaan lewat pembacaan dan penulisan puisi (yang merupakan salah satu genre karya sastra) merupakan salah satunya. Terapi puisi tersebut bertujuan memudahkan pasien untuk menjelajahi perasaan-perasaan dan sangkutan pikiran yang timbul dari sajak yang merangsangnya (ibid). Kembali ke seperti apa yang diteriakkan Kwik di atas, bahwa para koruptor tersebut sedang sakit jiwa, saya tambah tergoda untuk melakukan analisis kali ini. Terpikir sebuah kemungkinan tentang bacaan sastra yang menjadi sarana penyadaran, pada suatu hari nanti, di penjara-penjara yang, mudah-mudahan segera, dipenuhi para koruptor. Maka, sebab itulah kajian kali ini akan dilakukan.
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Objek yang ingin diteliti disini adalah berkenaan dengan sarana estetik karya sastra yang dinilai mampu memberi gugahan emosionil sehingga bisa menghasilkan efek katarsis pada pembaca. Disini akan diteliti bagaimana kemampuan teks untuk menciptakan narasi fiktif dalam membicarakan budaya korupsi di Indonesia dengan mendaya gunakan sarana estetiknya tersebut. Berbicara mengenai sarana estetik, tentu, dalam pengertian sempit, penelitian juga akan berangkat dari hasil kajian stilistika. Sarana-sarana gaya bahasa yang dipergunakan dalam teks yang dibahas akan dilihat hubungan referensialnya dengan wacana dan konteks pembicaraan serta kemungkinan pengaruhnya pada pembaca. Sebab referensi sangat minim yang saya miliki tentang psikologi pembaca dalam penelitian sastra (barangkali juga teks referensi seperti ini memang sangat minim pula) maka pembicaraan mengenai pembaca akan masih sangat mengambang dan umum dan belum bisa masuk terlalu detail. Jika bertitik tolak dari sistematika penelitian resepsi Iser, maka secara terbatas penelitian kali ini akan menekankan pemeriksaan skema atau sudut pandang karya. Batasan yang dimaksud adalah hanya memeriksa sarana estetik karya yang dianggap berhubungan dengan wacana tentang budaya korupsi sebagai isu kontekstual yang menjadi bahasan. Langkah kedua Iser soal konkretisasi pembaca, seperti yang dikatakan tadi, akan dengan cukup terbatas pula selanjutnya dilakukan. Sehingga dengan fokus ini, meski pembicaraan tentang pembaca akan sangat general, tujuan penelitian yang ingin melihat kemungkinan karya sastra untuk menghasilkan efek katarsis pada pembaca bisa dicapai.
3. Tujuan Penelitian
a. Memeriksa dan menunjukkan sarana estetik yang digunakan teks yang dianggap memberi pengaruh yang berujung pada efek katarsis pada pembaca.
b. Menganalisis sarana estetik teks tersebut: melihat pemosisian (pewujudan) sarana estetik teks tersebut dalam kesatuan wacana naratif karya, memperlihatkan hubungannya dengan konteks pembicaraan, dan menyimpulkan keunggulan estetika yang dimiliki karya tersebut.
c. Memperkirakan pengaruh teks atau kemungkinan tanggapan pembaca (untuk menunjukkan keunggulan retorika yang dimiliki teks sastra).
4. Metode Penelitian
Berdasarkan penggolongan desain metodologi penelitian yang dilakukan Wuradji (dalam Jabrohim, 2003) maka penelitian yang akan saya lakukan kali ini lebih mendekati pengertian content analysis. Namun penganalisisan dokumen yang dilakukan dibatasi (juga ditambahi) dengan apa-apa yang telah dipaparkan dalam pembatasan masalah dan tujuan penelitian. Amanat, sebagai salah satu unsur intrinsik karya sastra, adalah landasan pertama penganalisisan yang dilakukan. Karena kaitan pembicaraan kali ini yang menghubungkan unsur amanat tersebut dengan efek pada pembaca, maka sedikit banyak analisis kali ini juga mempunyai pola seperti apa yang dilakukan dalam kerja penelitian resepsi sastra, cara kerja Iser utamanya. Untuk proses pemaknaan teks, sedikit banyak juga cara kerja dipengaruhi model analisis kajian semiotik mengenai sistem tanda, yang bagaimanapun diperlukan untuk menotalitaskan analisis terhadap sebuah teks sastra. Kajian stilistika berfungsi sebagai alat bantu klasifikasi terhadap sarana estetik yang digunakan teks. Satu hal yang kurang, sebagaimana telah disebutkan tadi, adalah landasan teoritik mengenai psikologi pembaca, sehingga barangkali pembahasan tentang tanggapan pembaca masih akan sangat subjektif.
Mekanisme kerja sendiri taka ada salahnya saya pikir untuk melakukan analisis teks seperti apa yang dilakukan Goldman, yakni secara dialektik (Faruk, 1999). Dalam kerangka strukturalisme genetik, metode dialektik bekerja dengan cara pemahaman bolak-balik antara struktur sosial dengan teks sastra yang diteliti (ibid). Analisis bisa berangkat dari teks yang selanjutnya diujikan pada kenyataan sosialnya, atau sebaliknya, dan hal ini berlangsung terus menerus hingga didapatkan koherensi total struktur teks yang dihadapi (ibid). Seperti penyesuaian yang dilakukan oleh Faruk dalam menggunakan metode tersebut pada kerangka semiotik (ibid), seperti itu jugalah yang musti dilakukan disini dan dalam kerangka penelitian kali ini. Namun secara sistematika penulisan, saya akan berangkat dari analisis terhadap sarana estetik teks sastra yang akan diuji dengan analisis konteks pembicaraan lalu tanggapan pembaca, hingga: didapatkan pemaknaan total(?)nya.

II. PEMBAHASAN
1. Paparan Sarana Estetik Teks, Posisi dan Korelasi Dengan Keseluruhan Karya, Acuan Terhadap Konteks, dan Kemungkinan Tanggapan Pembaca
Ada berbagai sarana estetik yang terdapat pada cerpen ini yang saya asumsikan mampu menggugah kesadaran pembaca – yang saya istilahkan efek katarsis – terhadap isu yang diangkat atau disikapi dalam teks, yakni mengenai perbuatan korupsi. Secara sempit, sarana estetik tersebut dengan cukup memadai telah dipelajari dalam studi stilistika. Disini pengertian “gaya bahasa” perlu lebih diperluas dengan analisis sarana estetik kesatuan-kesatuan wacana. Sementara sebab kajian yang akan banyak mengaitkan hasil analisis gejala kebahasaan teks tersebut dengan unsur konteks dan sikap pembaca, kajian disini, sekali lagi perlu ditekankan, bukanlah sekedar analisis murni gaya bahasa. Inilah yang membedakan bahasan kali ini dengan studi stilistika, apalagi dengan segala pembatasannya dan tujuan analisis seperti yang telah dipaparkan pada bagian pendahuluan. Bahasan kali ini akan dilakukan secara acak dengan berangkat dari unsur-unsur estetik yang terdapat pada satuan wacana teks, hubungan yang barangkali ada dengan satuan yang lain, mengaitkan dengan konteks wacananya, dan megirakan tanggapan yang mungkin ada bagi pembaca. Dari sini nanti, dibagian kedua, bisa dikirakan kesatuan efek estetik karya, secara keseluruhan, yang memungkinkan terjadinya pencerahan pada pembaca.
Sarana estetik yang utama dapat kita lihat pada penggunaan gaya ironi. Bagaimana bisa disebut sebagai yang utama, nanti akan jelas (serta dijelaskan) setelah detil pembahasan. Saya membagi dua jenis model pengironian disini: antar bagian teks dan antara teks dengan acuannya konteksnya. Bagian kedua paling cocok dengan pengertian ironi dalam studi sitilistika sebab disini apa yang dipaparkan teks akan terlihat ironis jika dibandingkan dengan realitas yang sebenarnya. Sedang pada bagian pertama, efek ironik yang muncul disebabkan oleh pertentangan, atau oposisi, antar satu bagian teks dengan bagian teks yang lain. Efek ironik yang ditimbulkan oleh pertentangan antar bagian teks ini dapat kita lihat pada perbedaan suasana yang kontradiktif antara suasana di ruang makan keluarga tokoh bapak yang seorang koruptor dengan keadaan mencekam pada peristiwa penemuan dan penggalian kuburan masal di Aceh. Efek ironik ini dibantu oleh berbagai sarana bahasa, semisal hiperbolisasi utamanya, yang dilakukan oleh pengarang untuk menggambarkan keceriaan acara makan-makan keluarga tersebut dan segala ke-serba bahagiaannya dibandingkan pada ke-serba suraman suasana penemuan mayat-mayat di Aceh.
Salah satu oposisi yang cukup menonjol (dalam kerangka oposisi di atas) dan akan sangat menyentuh pembaca adalah antara tulang belulang ayam dan ikan, yang berserakan di meja makan, hasil santapan sang koruptor beserta keluarganya vs tulang belulang tengkorak manusia yang digali di Aceh. Disini, di satu sisi juga telah terjadi paralelisasi atau penyejajaran. Akibatnya, pembaca bisa saja berimajinasi dan menghubung-hubungkan bahwa seolah-olah koruptor bersama keluarganya yang sejahtera raya tersebut sedang menikmati hidangan mayat-mayat manusia yang menderita di Aceh sana. Ini didukung oleh fakta tekstual bahwa pengarang menggunakan kata `bagaikan ladang pembantaian` untuk menunjuk keadaan penuh serakan segala macam sisa-sisa santapan di meja makan keluarga koruptor tersebut. Sebuah metafor yang sangat dahsyat saya kira.
Kemudian ada simbol-simbol lain yang cukup menambah getaran metafor tersebut pada teks ini. Sewaktu tokoh koruptor menyedot otak kepala ikan, digambarkan oleh pengarang sebagai: bagaikan sedotan kilang-kilang minyak yang menembus lautan yang bergelora. Di akhir bagian pertama cerita bisa kita ketahui bahwa latar bagi rumah keluarga sang koruptor adalah Jakarta. Ini perlu saya tambahkan dengan fakta bahwa si koruptor tersebut adalah dari zaman orde baru, seperti dipaparkan di awal sekali cerita (oposisi yang menarik juga bukan?). Kemudian sebagaimana diketahui, salah satu isu penting dalam pemberontakan di Aceh terhadap pusat adalah penyedotan pusat terhadap kekayaan alam Aceh yang berupa kilang-kilang minyak, seperti kilang Arun di Lhoksumawe contohnya. Banyak kalangan yang menilai bahwa hasil eksplorasi terhadap milik Aceh tersebut amat minim yang dibagi kembali bagi kepentingan pembangunan di Aceh. Salah satu penyimbolan terhadap kenyataan ini adalah bagaimana kontrasnya kemegahan kawasan kilang Arun di Lhoksumawe tersebut dibanding rumah-rumah gubuk masyarakat miskin di sekitarnya. Sementara itu juga ada fakta mengenai operasi militer di Aceh yang tak sedikit harus dibayar dengan korban nyawa. Di Aceh ada yang dinamakan bukit tengkorak saking banyaknya yang mati (secara masal) di sana, di Aceh juga ada kampung janda sebab para istri tersebut telah kehilangan para suaminya. Oposisi pada realitas antara pusat atau Jakarta, atau bisa juga disimbolkan pada Orde Baru vs Aceh, dengan segala kekayaan alamnya yang disedot pusat serta para pemudanya yang harus mati ditangan orang-orang pusat ini menjadi sangat menggetarkan ketika disimbolkan oleh pengarang dengan peristiwa yang sangat ‘sadis’: seorang koruptor zaman Orde Baru menyedot dengan sangat nikmat otak kepala ikan bagai sedotan kilang minyak dalam samudera yang menggelora. Terakhir, metafor ini diperkuat ke-bergetarannya oleh sebuah fakta tekstual lagi bahwa gulai ikan tersebut merupakan masakan Aceh dan bahwa istri sang koruptor, ibu dari anak-anak sang koruptor, berasal dari Aceh (dan juga bahwa salah satu mayat yang ditemukan di Aceh tersebut adalah saudara kandungnya sang istri koruptor).
Hubungan-hubungan dan oposisi-oposisi yang disimbolkan dengan cantik oleh sebuah teks sastra inilah yang memberi kemungkinan penyentuhan sisi emosi pada seorang pembaca. Teks bukan sastra tentu tak dapat dengan seenaknya saja menghubung-hubungkan antara acara makan-makan gulai ikan dengan kegiatan politik dan ekonomi yang berupa eksplorasi oleh pusat terhadap sumber daya alam di daerah. Dengan penyimbolan yang saya kira cukup berhasil menghadirkan suasana sadis tersebut, pembaca akan mengalami guncangan pada sisi emosinya. Tentu ketersentuhan seorang pembaca juga akan terkait dengan wawasan faktual yang dimilikinya mengenai persoalan Aceh dan Jakarta tersebut. Tanpa pernah tahu bahwa di Aceh memang betul-betul ada kuburan masal, atau tak pernah punya pengetahuan akan ekses-ekses dari operasi militer disana, pembaca mungkin tak akan sanggup menghasilkan imajinasi seperti disebutkan di atas. Tapi bagaimanapun, sebuah teks sastra, seperti yang terjadi dalam cerpen ini, telah membawa fakta-fakta persoalan di belakangnya ke dalam sebuah tatanan nilai-nilai (moral) yang banyak berurusan dengan emosi pembaca. Minimal, dengan segala tingkat kemampuan mereferensikan teks oleh pembaca, teks sendiri telah membentuk sebuah nilai-nilai emotif berdasarkan fakta yang diceritakannya. Minimal, pembaca tetap bisa menhadirkan metafor sadistik tersebut sekedar berbekal informasi (cerita) dari teks. Hal ini juga terkait ciri genre sastra yang memberikan kemungkinan timbulnya imajinasi yang liar (berupa oposisi-oposisi ironistik di atas) pada pembaca.
Jenis ironi yang kedua, sebagaimana dikemukakan tadi, adalah antara teks dengan referensi pada realitas. Penggambaran kondisi keluarga koruptor yang selalu bahagia sentosa raya, sebagaimana disimbolkan oleh acara makan-makan yang sangat nikmat tersebut, tentu akan menimbulkan situasi miris bagi pembaca dengan segala citraan moral dan hukumnya atas seorang koruptor. Memang wajar, seorang koruptor yang kaya raya oleh sebab peraihan korupsinya hidup nikmat dan berbahagia seperti.apa yang terjadi pada cerita cerpen ini. Sejauh ini, dan dari segi ini, memang tak ada kontradiksi antara teks dengan referennya. Cuma, lebih jauh lagi kita bisa merasakan apa yang timbul dibenak pembaca ketika berhadapan dengan fakta cerita yang seperti ini, apalagi mengalami hiperbolatisasi (serta unsur-unsur estetik lainnya), sementara seorang pembaca telah memiliki seperangkat alat penilaian moral dan hukum tersebut (tentang dosa seorang koruptor). Berbeda citra yang timbul dari pengacuan seorang koruptor kepada keadaan yang kaya raya dengan pengacuan pada sangsi hukum dan moral yang mesti diterimanya. Akibat pemaparan teks yang serba indah tentang sang koruptor (yang penuh dosa) tersebut, sementara di satu sisi pembaca telah memiliki penilaian yang buruk – dan hendaknya juga terjadi sesuatu yang buruk – pada seorang koruptor, menghadirkan ketidak senangan pembaca. Jadi bentuk ironi yang terjadi disini adalah kontradiksi antara kehidupan mewah dan berbahagia keluarga sang koruptor vs apa yang menurut kaidah moral dan hukum semestinya terjadi padanya. Penjara tentunya. Apalagi di awal cerita dijelaskan bahwa sang koruptor tersebut berhasil lolos dari hukuman yang seharusnya menimpanya. Kemudian hal ini tentu juga terbantu oleh relasinya pada oposisi intern teks di atas tadi.
Ironisme juga dapat ditangkap pada oposisi antara suasana makan-makan di rumah keluarga sang koruptor tersebut (yang serba nikmatnya) vs materi omongan (atau sebut saja petuah) sang bapak (si koruptor) dihadapan keluarganya. Ini bisa dimasukkan ke oposisi intern juga, namun tidak dipisahkan oleh satuan perurutan cerita seperti bahasan pertama. Petuah panjang lebar si bapak kepada anak-anaknya tersebut, yang terdapat pada paragraf kedua cerpen ini, saya kira merupakan pusat gugahan emosionil pada cerpen ini. Kata-kata si bapak tersebut sarat dengan unsur satire, paradoks, penyimbolan, titik kunci maksud cerita, dan sebagainya, yang kesemua berpusat pada ironisme yang menjelaskan tujuan cerita. Inti oposisi yang timbul adalah bagaimana si koruptor, atau si bapak, mengakui dosa-dosanya di depan keluarganya. Pengakuan dosa yang biasanya diikuti oleh perenungan dalam cerpen ini tak terjadi. Suasana yang seharusnya getir dan penuh duka lara tak terjadi. Sambil terus mendengarkan kumandang dosa-dosa tersebut, seluruh anggota keluarga tetap berbahagia raya menikmati hidangan yang lezat-lezat dan terus dengan sarana hiperbolis digambarkan malah tambah semangat. Lebih dahsyatnya lagi, sang bapak itu pun setali tiga uang dengan yang lainnya, pelaku utama dosa itu pun tak kurang larut dalam menikmati kelezatan santapan mereka sekeluarga.
Dan penggambaran suasana di ruang makan yang penuh kebahagiaan tersebut pun dilakukan pengarang dengan sangat luar biasa. Dengan penggunaan diksi-diksi yang dengan sangat dibuat berlebih-lebihan meggambarkan kenikmatan yang tengah terjadi dalam acara bersantap tersebut, pengarang semakin membuat genting tegangan oposisinya dengan acara pengakuan dosa korupsi sang bapak. Dengan asumsi seperti sebelumnya, bahwa berdasarkan nilai-nilai moral dan hukum pembaca tentu menganggap sang koruptor tersebut harus disiksa atas dosa-dosanya pada negara (bagian ini kembali terjadi pengacuan eksternal), sementara kenyataannya cerita malah memaparkan situasi yang sangat kontras dibanding harapan tersebut, tentu akan timbul rasa muak pembaca terhadap kisah enak yang terjadi pada sang koruptor (dan keluarganya) tersebut.
Kemudian, satu hal lagi yang perlu dibahas terkait dengan sarana estetik berupa ironi ini adalah mengenai perwatakan tokoh bapak, atau lebih tepatnya sikap yang dimunculkan pada sang koruptor tersebut, selama membawakan isu tentang korupsi dalam cerpen ini. Seperti disebutkan sebelumnya, pusat kegetiran cerita ini (atau saya sebut juga dengan istilah titik kunci maksud cerita) terdapat pada paragraf dua yang merupakan uraian panjang lebar dari sang bapak tentang perbuatan korupsi yang dilakukannya. Paragraf yang berupa ujaran langsung dari sang bapak yang koruptor ini sangat kental nuansa satirenya. Banyak sekali unsur-unsur yang paradoksial sehingga menimbulkan ironi. Kalimat pertamanya saja sudah akan membuat pembaca miris sekalian geleng-geleng kepala. Kata bersyukur yang normalnya identik dengan amal baik, disini malah digandengkan dengan keberhasilan lolos dari jerat hukum. Ini juga terkait teknik pengarang memproduksi kesan ironistik pada pembaca terhadap keseluruhan teks. Maka, hal yang terkait watak si bapak yang menghadirkan kesan ironis, yang terdapat pada paragraf dua ini, adalah paradoksial atau pencampur adukkan jalan pikiran sang koruptor tersebut.
Pada paragraf dua ini dapat kita temukan pasangan-pasangan yang oposisional dari sebuah urutan alur jalan pemikiran. Pada ucapan-ucapan sang koruptor, atau dengan bahasa lain petuahnya kepada anak-anaknya, terjadi penggunaan secara bersama antara nilai-nilai yang sebetulnya bertentangan. Sebut saja kita beri kerangka moral yang berupa nilai-nilai positif vs nilai-nilai negatif. Pertama, perbuatan korupsinya dibenarkan oleh si bapak dengan alasan bahwa bagaimanapun itu semua demi keluarga. Tapi kemudian nilai positif yang berupa demi keluarga ini, yang lalu dikuatkan secara sejajar dengan anak-anaknya yang bisa sekolah keluar negeri, rumah yang mewah, mobil yang tak cuma satu, dan memiliki tabungan di bank, dipertentangkan lagi dengan kata-kata bahwa bunga bank tersebut sanggup membuat mereka (anak-anaknya) hidup ongkang-ongkang kaki. Hal terakhir ini kembali bernilai negatif, dan secara kualitatif, dengan berurutan, telah dimulai sejak kata memiliki rumah yang mewah. Berbeda dengan menyekolahkan anak keluar negeri yang bercitra positif.
Kemudian citra positif tokoh si bapak yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri ini bersambung dengan kata-kata demi kehormatan, kebesaran, dan keselamatan keluarga (sebagai kalimat penyokong atas alasan sang koruptor bahwa ia tak korupsi buat diri sendiri), dan pernyataan si bapak agar anak-anaknya sekolahlah yang bener. Namun lalu sederet citra positif ini beroposisi lagi dengan pernyataan berikutnya, yaitu saran si bapak agar dalam sekolah anak-anaknya tersebut tak perlu repot-repot menjadi pemikir sebab yang penting mereka mampu untuk bisa korupsi dengan lebih aman lagi. Sekolah hanya dijadikan sarana untuk anak-anaknya agar mampu melakukan korupsi dengan lebih canggih dan sistematik. Setelah itu timbul lagi nilai-nilai positif dalam ujaran sang koruptor tersebut ketika menyarankan agar korupsi tak perlu besar-besaran karena akan merugikan rakyat kecil. Ia juga menyarankan cucu-cucunya nanti untuk bisa berusaha (meski dengan modal korupsi yang telah ia kumpulkan) secara baik-baik (tak melanggar hukum seperti si koruptor) nanti. Ketegangan memuncak, semakin menghadirkan suasana ironis bagi pembaca dalam menyikapi tokoh si bapak yang koruptor tersebut, ketika sang kepala keluarga dari keluarga yang kaya raya dari hasil korupsi tersebut menutup ujaran, ya pengakuan, ya nasehat panjang lebarnya dengan kata-kata: biarlah Bapak yang menjadi tumbal, biarlah bapak menanggung dosa dan masuk neraka, yang penting anak cucu Bapak menjadi orang yang mulia. Dan sambil melahap segala santapan lezat dengan teramat nikmat, si bapak, sang koruptor, dan seluruh keluarganya terus beriang gembira.
Ketidak sejalanan jalan pikiran pada ucapan-ucapan sang koruptor ini dapat diklasifikasikan pada perannya sebagai koruptor, dengan segala citra jalan pikiran yang kotor, dan peran sebagai seorang bapak atau seorang kepala keluarga dengan segala citra positifnya. Perpaduan dua karakter yang yang memiliki nilai sangat bertolak belakang ini akan menghasilkan sebuah ironi bagi pembaca dan memperkuat berbagai ironisme sebelumnya. Disamping itu akan timbul pula simpati pada pembaca terhadap keadaan sang koruptor tersebut sebab diantara logika penjahatnya yang negatif ternyata toh tetap ada nilai-nilai positif sebagai seorang bapak padanya terselip.
Secara keseluruhan, gaya ironi memang merupakan sarana stilistik yang utama dalam cerpen ini. Baik sebab dominasinya secara kuantatif maupun kualitatif, juga perannya sebagai sarana penyampai maksud cerita atau yang akan menghasilkan sebuah amanat bagi pembaca, yang ujungnya nanti juga menyangkut datangnya efek katarsis pada pembaca. Namun sesungguhnya sarana-sarana stilistik yang lain juga berperan. Sebab dominasi gaya ironi dalam cerpen ini, sarana-sarana stilistik yang lain tersebut menjadi lebih berfungsi sebagai penguat efek ironik yang yang dihasilkan. Atau dalam bahasa lain, sebagai penjelasan atas apa yang di awal pembahasan saya tangguhkan tadi, sarana-sarana stilistik lainnya berperan untuk menyokong efek ironi. Sedikit banyak sebelumnya telah diperlihatkan bagaimana metafor dan hiperbol berfungsi menguatkan kesan ironi.
Metafor paling segar, sekaligus sangat sadistik, telah saya perlihatkan contohnya sebelum ini yakni mengenai korelasi tulang belulang daging santapan keluarga sang koruptor dengan puluhan (atau bisa jadi lebih) tengkorak manusia yang ditemukan di Aceh. Hiperbolisasi juga sangat kerap terjadi. Sebelumnya juga telah saya beri contoh pada peristiwa sedotan sang bapak terhadap otak kepala gulai ikan yang oleh pengarang dianggap ibarat sedotan kilang minyak di tengah samudera (sekaligus disini juga terjadi sebuah upaya pemetaforan). Hiperbolisasi yang sangat dominan adalah usaha pengarang untuk melebih-lebihkan gambaran suasana rumah sang koruptor, lewat penggunaan diksi-diksi yang sangat nakal dan humoris, guna semakin menegangkan oposisinya terhadap situasi yang berkebalikan di Aceh. Kemudian juga terdapat sarana (gaya bahasa) repetisi yang dapat kita lihat pada pengulang-ulangan kata makan di paragraf tiga, selesai wejangan panjang lebar sang koruptor, yang juga memiliki peran dalam membangun kekontrasan suasana. Sarana simbolisasi atau pelambangan juga terjadi ketika si bapak menyebut dirinya sebagai koruptor kelas teri atau ketika ia menyarankan anak-anaknya untuk lebih memilih menjadi tikus saja ketimbang seekor singa. Terakhir, paradoksial dan kontradiksi-kontradiksi yang dihadirkan sarana ironi dalam cerpen ini bertambah lengkap dengan penggunaan kata-kata formal dan berat, atau serius, vs kata-kata non-baku dan ringan secara bersamaan (hal yang sudah menjadi gaya Seno dalam karangan-karangannya). Semua sarana stilistik tersebut pada akhirnya mendukung gaya ironi sebagai style utama.
Demikianlah hal-hal yang relevan untuk dibahas sesuai batasan dan tujuan penelitian kali ini. Sebagai sebuah kajian yang utuh terhadap karya, apalagi mengacu pada defenisi analysis content sebagaimana dikemukakan pada bagian metodologi, memang hal tersebut tak terjadi disini. Masih ada hal-hal lain yang terdapat pada cerpen yang dibahas disini tak saya bahas. Sebagai contoh, di bagian akhir cerita terjadi sebuah hiperbolisasi berupa peristiwa hujan darah (yang menurut hemat saya, menurut daya rasa saya sebagai pembaca, di satu sisi mengurangi kedahsyatan karya ini sebab hal tersebut merupakan hiperbolitas yang sudah tak koheren lagi) atau bagaimana peristiwa telepon dari Acehnya sendiri tak saya singgung (kecuali sekilas mengenai fakta tekstual bahwa salah satu mayat yang ditemukan di Aceh adalah saudara kandung tokoh istri sang koruptor). Hal ini karena hal-hal tersebut saya pandang tak (minimal tak terlalu) relevan lagi bagi tujuan kajian kali ini. Satuan-satuan wacana dan estetik karya yang telah dibahas di atas saya pandang telah memadai untuk dikemukakan. Selanjutnya yang perlu dibicarakan adalah mengenai pembaca dan kemungkinan efek katarsis, sekali lagi, sebagaimana tujuan penelitian.
2. Pembaca dan Efek Katarsis
Pembahasan di atas telah menunjukkan bagaimana sarana ironi digunakan oleh teks cerpen yang dibahas dalam penyampaian pandangannya, penyikapannya, atau bicaraannya atas budaya korupsi yang menggejala dan sudah menjadi wacana umum di Indonesia. Dengan sarana estetika berupa gaya ironi, teks sastra (cerpen tersebut) telah menghadirkan sebuah cara penyikapan yang unik dalam membicarakan wacana realitas dan realistis di luarnya. Dan dengan cara unik tersebut pula, teks telah menghadirkan sudut pandang baru bagi seorang pembaca dalam upaya meyikapi dan memahami wacana real (tentang budaya atau perbuatan korupsi) tersebut. Sudut pandang baru tersebut tentu memberi peluang pula untuk hadirnya penyikapan serta pemahaman dengan nilai-nilai baru. Kemampuan memunculkan nilai-nilai baru dengan penghadiran sudut pandang baru oleh teks sastra (dengan segala ciri dan keunikan sifat estetiknya) inilah yang saya asumsikan mampu memberi pencerahan.
Sebagaimana efek katarsis yang terjadi pada drama-drama tragedi, yang bekerja melalui prosedur membawa penonton ke titik puncak rasa muak (sehingga akhirnya timbul penilaian buruk terhadap apa yang pada awalnya dianggap menyenangkan), seperti ini jugalah efek ironi pada cerpen yang saya bahas ini bekerja pada pembaca. Upaya hiperbolitisasi kesenangan dan kemakmuran keluarga sang koruptor akan membuat pembaca muak sebab referensi pada realitas memberi tahu pembaca bahwa sang koruptor tersebut semestinya menerima hal yang sebaliknya. Pembaca tentu tak akan menerima bahwa seorang koruptor yang semestinya meringkuk di sengsaranya kehidupan penjara malah sedang hidup dengan sangat damai, tentram, mapan, bahkan penuh kefoya-foyaan di tengah-tengah keluarganya. Bagaimana bisa diterima kesenangan hidup yang dilakoni sang koruptor dan keluarganya tersebut jika realitas memberitakan bahwa perbuatannya, yang dinikmati oleh segelintir orang dalam lingkup keluarganya tersebut, telah menyengsarakan kesejahteraan orang banyak, telah merugikan kepentingan negara, dan telah merusak sistem sosial yang semestinya normal berjalan. Telah membuat, seperti bunyi salah satu sajak Taufik Ismail, setiap bayi yang lahir menanggung hutang rupiah sepuluh juta. Lalu, silakan kau beri penataran juga, belum selesai mulutmu bicara, kau sudah dikencinginya.
Kemudian ironisme yang mengoposisikan sekaligus mengorelasikan antara peristiwa di Jakarta (atau acara makan-makan di rumah keluarga sang koruptor) dengan kejadian di Aceh (beserta detil oposisi tulang belulang dan segala konteks wacana di belakangnya) bisa diperkirakan akan sangat kuat secara emosionil menggugah perasaan pembaca. Bagaimana mungkin pembaca tak akan tersentuh dengan imajinasi sadistik bahwa seolah-olah sang koruptor, beserta keluarga besarnya (apalagi sang istri terkait dengan bagian kejadian di Aceh), dimetaforkan sedang menyantap tubuh-tubuh tertindas orang Aceh di meja makannya. Dan peristiwa bersantap ria ini digambarkan sangat serba hiperbolis pula. Betapa akan sangat mualnya pembaca. Begitu juga, kemualan pembaca akan bertambah, pada paradoksal yang terjadi antara suasana bersantap yang serba ceria dengan materi omongan sang koruptor yang berupa acara pengakuan dosa korupsinya. Juga pada ketidak konsistenan nilai-nilai dalam materi pembicaraan, yang berupa petuah seorang bapak kepada anak-anaknya tersebut. Disini logika berpikir yang jahat sebagai seorang koruptor bercampur aduk dengan petuah bijak dan positif sebagai seorang bapak atau sebagai seorang kepala keluarga.
Efek pencerahan pada pembaca, yang berawal dari kemuakan terhadap laku yang ditampilkan oleh ironisme cerita, ini dapat diterangkan lewat proses identifikasi. Dalam menghadapi cerita pembaca akan meleburkan dirinya, sebagai subjek non-fiksional (dan berada di dunia realitas), ke dalam kisah dan tokoh-tokoh pada teks fiksi. Pembaca dimungkinkan untuk menjadikan tokoh sang bapak atau sang koruptor, yang merupakan pusat cerita, sebagai citraan dari dirinya sendiri. Tingkatan kepekatan pencitraan ini tentunya dipengaruhi dan ditentukan oleh sekian faktor yang menjadi latar belakang pembaca sendiri. Salah satunya pembaca sebagai seorang yang juga koruptor misalnya. Namun sekian faktor tetap akan saling tumpang tindih mempengaruhi intensitas pencitraan diri pembaca. Pembaca dengan latar belakang sebagai seorang koruptor pun bisa dilemahkan proses identifikasi dirinya terhadap tokoh dalam teks disebabkan kondisi psikologisnya yang memiliki tingkat kemampuan berempati yang rendah atau latar belakang pemikiran yang sangat kuat memandang perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang sama sekali tak salah. Maka sekian faktor latar pembaca sendiri akan saling berperan dalam menentukan proses identifikasi ini.
Bagaimanapun analisis kali ini belum mengompetensikan diri untuk membicarakan sekian kerumitan latar belakang pembaca secara detail. Pembicaraan tentang pembaca disini masih sangat bersifat umum. Salah satu landasan teoritik yang dapat saya pergunakan dalam tataran yang masih umum tersebut adalah sisi humanitat manusia. Dengan, sekali lagi, segala tingkatan dan varian dari sisi humanitat (atau kemanusiaan) manusia tersebut, bisa diperkirakan bahwa selalu ada tempat buat seorang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya pada cerita tersebut. Dan dengan analisis umum ini pula telah bisa disimpulkan tentang beberapa faktor yang menunjang identifikasi tersebut, serta efek pencerahan sebagai hasilnya, yakni meliputi latar belakang sosial dan ideologi (pemikiran) pembaca serta tingkat kemampuan melibatkan diri secara emosionilnya.
Kemampuan berempati seorang pembaca dan tingkat kedalaman ketersentuhan emosionilnya sudah tentu akan mempermudah ketergugahannya pada ironisme yang dihadirkan cerita tersebut. Yang berefek pula selanjutnya pada kemampuannya untuk menemukan nilai-nilai pencerahan yang dihadirkan oleh teks. Sedangkan mengenai latar sosial-pemikiran pembaca, yang bagaimanapun dipengaruhi oleh sisi humanitat pada dirinya, pengaruh cerita dapat dilihat dari sudut pandang baru serta wawasan baru yang dihadirkan teks. Dengan sudut pandang baru tersebut, pembaca dibawa juga oleh teks ke arah pencerahan pada dirinya. Seseorang barangkali sebelumnya tak memiliki pikiran bahwa korupsi ada hubungan juga dengan orang-orang yang ditindas rezim penguasa. Butuh pemaparan panjang secara non-fiksional untuk fakta tersebut. Dan teks sastra dengan cantik mengemasnya. Secara singkat dan estetik, sarana ironi yang digunakan cerpen tersebut langsung menyentuh emosi pembaca.
Pengenalan pembaca akan kemasan teks sastra ini, selain pengetahuan akan konvensi tentang genre sastra, juga menyangkut wawasan kontekstual dan daya analisis wacana pembaca. Sebagaimana pembahasan konteks cerita di atas, oposisi-oposisi dan relasi-relasi dalam sarana ironi teks (bagian acuan teks pada realitas) cerpen tersebut bukanlah tanpa landasan konteks realitas di belakangnya. Namun segala kerumitan kontekstual dibelakangnya tersebut disederhanakan oleh teks ke dalam bentuknya yang estetik. Dalam bahasa lain bisa kita sebut pemadatan, yang sebagaimana dipaparkan tadi juga: lebih efektif menyentuh sisi emosi pembaca. Dan kehadiran estetik teks tersebut di satu sisi membantu pembaca menguraikan dan memahami latar konteks di belakangnya. Di sisi lain, pembaca untuk memahami teks membutuhkan referensi kontekstual pula. Dengan wawasan akan konteks tersebut pulalah pembaca melakukan proses konkretisasi atas skema atau pandangan yang dihamparkan teks. Dan faktor ini juga mempengaruhi proses identifikasi dan, selanjutnya, pencerahan pada pembaca. Namun, bagaimanapun, walau seorang pembaca menghadapi teks dengan sarana kontekstualnya (wawasan pembaca) yang minim sekalipun, cerita tersebut tetap mempunyai daya gugah terhadap pembaca dengan sekedar berangkat dari fungsinya yang memberikan informasi baru pada pembaca.
Kembali mengenai sisi humanitat manusia, terkait pengaruh teks cerpen tersebut pada pembaca, ada baiknya sekarang kita perhatikan bagian pembahasan tentang inkonsistensi perwatakan sang koruptor. Pertumpang tindihan nilai-nilai, positif dan negatif (yang bisa dikorelasikan secara sistematik pada peran sang tokoh sebagai seorang bapak dan sebagai seorang koruptor), tersebut sesungguhnya memberi kesan tersendiri pula pada pembaca. Selain kontradiksi yang dihadirkan, tapi juga terkait sarana ironi yang digunakan, inkonsistensi ujaran sang koruptor tersebut sesungguhnya memberikan kesan bahwa seburuk-buruknya manusia tetap saja masih ada nilai-nilai kebaikan yang masih tersisa padanya. Jadi analisa ini berangkat dari sudut pandang yang berbeda dengan pencitraan negatif terhadap inkonsistensi perwatakan sang koruptor. Sebab adanya sisi humanitat pada sang koruptor, maka penilaian pembaca tak akan sepenuhnya buruk padanya. Sebagian ucapan-ucapannya yang positif akan membuat pembaca terharu akan posisinya.
Kalimat terakhir pada bagian tersebut, yang sebelumnya telah saya sebut sebagai puncak ketegangan (ironi cerita) dan saya pikir sangatlah mengharu-birukan (meski di sisi lain kesannya sangat konyol penuh humor), bisa kita sebagai contoh yang memuncak untuk hal ini. Betulkah ada orang yang memang sudah merelakan diri untuk masuk neraka? Apalagi itu semua buat orang lain (atau bisa dibaca: cucu-cucunya) yang nanti bakal hidup mulia? Apakah para cucu tersebut tak akan merasa bersalah dengan pengorbanan (bahkan saya pikir ini sangat jauh lebih dari sekedar berkorban) kakeknya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan beruntun memberondongi pembaca. Betapa tingginya rasa pengorbanan sang koruptor. Sampai titik ini, yak, empati pembaca akan timbul. Namun lebih jauh timbul pertanyaan: betulkah sang koruptor tersebut mau begitu? Semuanya cukup dijawab bahwa beginilah ironisme dan paradoksal yang dihadirkan teks sastra, yang memang lebih berfungsi untuk mengaduk-aduk emosi pembaca.
Kesatuan utuh dan akhir cerita tak selalu mampu menghapus efek emotif terpisah dari satuan-satuan estetik di dalamnya. Meski pembaca, pada penilaian akhir menganggap apapun perkataan positif yang diucapkan sang koruptor adalah kebohongan, tetap saja teks yang telah membuat sang koruptor juga mampu berpikir positif, memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, telah membekas dalam kesan pembaca. Dan segala tebaran kesan dari teks tersebut kemudian dikristalkan oleh pembaca ke dalam kesatuan pemaknaan. Hal yang dapat kita lihat pada pemeriksaan resepsi sastra: teks memberikan pengaruhnya pada pembaca, namun tetap pembaca menyelesaikan penilaian dengan horison penerimaannya sendiri. Sebab kajian kali ini yang lebih menekankan bagaimana sarana estetik teks akan mempengaruhi pembaca, pembahasan juga telah memperlihatkan bagaimana sudut pandang yang diberikan oleh teks sendiri cukup kuat guna membentuk nilai-nilai pemaknaan pada pembaca.
Selanjutnya, untuk lebih mengukuhkan hasil analisis ini dari segi keilmiahan yang terukur lewat sebuah sistematika, saya mengajukan konsep sintagmatik-paradigmatik Saussure sebagai alat pengujinya. Dengan menggunakan konsep koherensi dan korelasi sintagmatik (yang tetap tak bisa dilepaskan dari konteks acuan teks atau wacana pembicaraanya) bisa kita ukur apakah cerpen tersebut masih akan memiliki daya gugah yang sama seandainya terjadi penggantian pada salah satu konstituennya. Sebagai contoh, andai kata tulang tulang makanan di meja makan tak dikorelasikan dengan mayat-mayat di Aceh. Lalu lakukanlah pengujian dari segi diferensiasi paradigmatik. Apakah sentuhan emosionil cerita yang sangat sadistik pada contoh tersebut masih akan terasa andai satuan wacana mayat-mayat di Aceh diganti dengan hal lain. Contoh yang saya kemukakan ini, sementara, saya pikir cukup guna dipaparkan dalam analisis kali ini. Pengujian atas koherensi-korelasi sintagmatik dan, secara, diferensiasi paradigmatik atas contoh tersebut saya anggap sudah mewakili pengujian atas satuan-satuan estetik lainnya. Dan, sebab, bagaimanapun pengujian ini dikembalikan pada tujuan analisis kali ini yang membicarakan kemampuan memberi pencerahan oleh teks, dengan sarana estetiknya (yang berupa gaya ironi), pada pembaca, kemampuan untuk memberikan efek katarsis, pencerahan yang berawal dari kemuakan.
Terakhir, saya kira penelitian teks sastra dengan pendekatan pada pembaca ini cukup penting untuk disemarakkan. Dalam analisis terhadap teks media sendiripun (yang tidak lebih multi-interpretable dibanding teks sastra) telah ada model pendekatan analisis wacana kritis yang mulai memperhitungkan peran penafsiran teks oleh pembaca (Eryanto, 2001). Analisis kritis ini sebagai alternatif yang diajukan bagi kekurangan dalam tradisi analisis wacana positivistik dan formalistik (ibid). Kemudian mengenai pembaca ini kita memang sedang berhadapan dengan kenyataan rendahnya selera sastra masyarakat (Jatman, 1985). Justru disini pulalah tantangan bagi karya sastra untuk membentuk selera masyarakat tersebut (ibid). Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Pratt (Teeuw, 1984) tentang assertion (pernyataan). Di satu sisi ada assertability yaitu sifat sebuah pesan yang menarik dikarenakan relevansi persoalannya, yang kedua ada tellability yaitu kemenarikan pesan sebab kebaruan dan keluar biasaannya. Seandainya teks sastra sangat tidak menarik sebab kerumitan bagi pembaca mengenal relevansi persoalan yang dibicarakannnya, setidaknya lewat sebuah kebaruan, lewat keunikan sarana estetiknya, teks sastra akan menjadi sesuatu yang menarik bagi pembaca.


III. SIMPULAN
Dengan menggunakan sarana stilistik berupa ironi, hiperbolisasi, metafor, dan sebagainya, terlihat bagaimana cerpen yang dianalisis kali ini mempunyai keunggulan pengaruh tekstual dengan serangan “halus”-nya terhadap sisi reaktif emosionil pembaca. Kekuatan pengaruhnya tersebut ditunjang oleh kemampuan teks mengatur relasi-relasi koheren maupun kontradiktif antar unit satuan wacana dan pemilihan referensi kontekstual yang dimungkinkannya untuk dimaknai oleh pembaca. Dengan pengecualian pembicaraan terhadap unsur-unsur lain dalam teks yang tak dibahas disini, cerpen tersebut terlihat cukup memiliki kepaduan afektif yang memadai guna memberikan efek pencerahan pada pembaca. Memang, sekali lagi, masih terdapat kekurangan pembahasan tentang ragam penyikapan pembaca. Dari upaya generalisasi terhadap posisi pembaca tersebut dapat dilihat faktor-faktor yang menentukan tingkat efektifitas keterpengaruhan pembaca oleh teks yakni: kemampuan mengenal sarana estetik teks sastra, wawasan tentang wacana yang dibicarakan teks, kondisi psikologis berupa tingkat kemampuan berempati dan hal-hal lain terkait keterlibatan emosional seorang individu, dan latar belakang pembaca yang membentuk penyikapannya terhadap teks (semisal ideologi yang dianut).
“Kita ini manusia sampah,” kata Bambang Q-Anees dalam sebuah artikelnya yang berawal dari keprihatinan terhadap musibah longsoran sampah yang menelan korban jiwa di sebuah TPA “strategis” di Jawa Barat. Dengan renungan dan penalaran filosofisnya Anees sampai pada kesimpulan bahwa musibah tersebut sebetulnya mengingatkan kita, manusia, bahwa kita tak kalah busuknya(!) dibanding sampah-sampah tersebut. Eksistensi sesuatu yang baik justru lebih mencolok jika dikonfrontasikan dengan hal yang sebaliknya (Nurgiyantoro, 2000). Sastra yang adiluhung tidaklah membuat kita menjadi seorang narkisus, tetapi malah menampilkan betapa bobroknya makhluk bernama manusia (Darma, 1984). Sebab itulah diperlukan rasa mual terhadap diri sendiri seperti yang terjadi pada Fanton Drummond dalam Olenka. Sebelum menuju pencerahan. Sebab apa? Sebab kita ini memang manusia sampah! Maka, iqra!­ Berkacalah…eh, bacalah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Imran T.. “Resepsi Sastra: Teori dan Penerapannya”. Dalam Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Darma, Budi. 1984. “Moral Dalam Sastra”. Dalam Sejumlah Esei Sastra. Jakarta: Karya Unipress.
---------. 1989. “Konstelasi Sastra: Homo Comparativus”. Dalam Wahyudi, Ibnu (ed). Konstelasi Sastra. Kumpulan makalah-makalah yang disajikan pada Pertemuan Ilmiah II Hiski di Denpasar.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS.
Garcia, Peter Rosler. “Indonesia Tahun 2020”. Dimuat dalam KOMPAS 1 Maret 2005.
H.T., Faruk. 1999. Hilangnya Pesona Dunia: Sitti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial Kolonial. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Jatman, Darmanto. 1985. Sastra, Psikologi, dan Masyarakat. Bandung: Alumni.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia.
Kian Gie, Kwik. 1995. Saya Bermimpi Jadi Konglomerat. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. . Teori Pengkajian Fiksi.
Q-Anees, Bambang. “Kita Ini Manusia Sampah”. Dimuat dalam Pikiran Rakyat 26 Maret 2005.
Sastrowardoyo, Subagyo. 1992. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yoyakarta: Hanindita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
van Zoest, Aart. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi Dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Wuradji. 2003. “Pengantar Penelitian”. Dalam Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.